Naik Kereta Keliling Jawa

Setelah tahun lalu tanpa sengaja mendapat link tentang perjalanan keliling Jawa dengan kereta, saya cukup terobsesi untuk mengadakan perjalanan yang sama. Sebenarnya niatan untuk melakukan perjalanan ini sudah ada beberapa waktu sebelumnya ketika membaca Traveler Indonesia dengan liputan utama yang sama. Akhirnya dengan sisa field break yang belum diambil dan long weekend pertama di tahun 2012, saya kesampaian juga naik kereta keliling Jawa.

Hal yang pertama direncanakan tentu saja rute perjalanan. Kereta apa yang digunakan dan jadwal yang tepat sehingga waktu 3 hari yang saya punya tidak terbuang percuma. Cara termudah mengefisienkan waktu adalah mencari kereta malam sehingga menghemat uang penginapan dan ‘tau-tau sampai’ :P. Saran saya sih untuk yang berminat lewat Jalur Utara, wajib hukumnya mencari jadwal kereta pagi/siang, too good to be missed. Awalnya saya sudah merencanakan untuk menaiki 6 kereta, dengan rute Jakarta – Bandung – Malang – Surabaya – Banyuwangi – Surabaya – Semarang – Jakarta. Tapi karena waktu yang tidak memungkinkan dan karena kehabisan tiket (padahal saya beli hampir sebulan sebelumnya), akhirnya cuma kesampaian naik 4 kereta saja. Sempat ganti rencana mendadak di loket karena kehabisan tiket Argo Sindoro (Semarang Tawang – Gambir) untuk pulang, untungnya teringat Fajar Utama yang berhenti di Stasiun Pasar Senen. Rute yang dipilih akhirnya Bandung – Surabaya – Banyuwangi – Surabaya – Semarang – Jakarta. Dengan kereta yang dipilih Argo Wilis – Mutiara Timur – Mutiara Timur – Gumarang – Fajar Utama.


Sayang sih tidak sempat ke Gambir (karena banyak hal yang tidak memungkinkan, akhirnya saya memilih naik travel saja dari Jakarta ke Bandung). Beberapa inspirasi perjalanan dan info-info seputar perjalanan saya dapatkan dari para suhu pencinta sepur di Semboyan35. Tentang apa itu Semboyan no 35 ataupun pendapat saya tentang transformasi PT KAI dan kereta api Indonesia sebagai salah satu moda transportasi mungkin akan saya bahas di post lain (terlalu banyak yang ingin saya bahas tentang topik yang satu ini).

Pemberhentian pertama, Bandung.

Stasiun Bandung lebih dikenal dengan nama St. Hall. Didirikan lebih dari seratus tahun lalu, sekarang ini stasiun Bandung juga merupakan salah satu pusat persimpangan angkot Bandung karena banyaknya jumlah angkot yang melewati tempat ini.

Sempat berkunjung ke Madtari untuk makan Indomie Jumbo-nya yang lagendaris dan langsung berangkat untuk naik kereta pertama yang akan membawa saya ke Surabaya. Total waktu perjalanan dengan Argo Wilis hampir mencapai 12 jam (kereta eksekutif satu-satunya yang dipilih karena waktu perjalanan yang lama).

Sesekali turun melihat keadaan stasiun yang dilewati, melihat perubahan dialek para pedagang yang menawarkan Mijon dan Mison. Terjebak di antara rombongan perjalanan kantor yang mau jalan-jalan ke Jogja dan sempat sok-sok nggak liat salah seorang client di kantor yang entah kenapa tiba-tiba naik dari Jogja dan hebatnya satu gerbong.

Perjalanan saya diiringi hujan, tapi pemandangannya tetap luar biasa. Saya yang gampang ketiduran ketika bersandar hampir tidak sempat (oke, beberapa kali) tidur sangking terpananya dengan sebagian kecil keindahan yang tanah ini miliki. Ini harta. Terlalu gemerlap untuk dilewatkan.

Berangkat dari Bandung jam 07.00 dan sampai di Surabaya Gubeng (hampir tepat) jam 18.30.

Perjalanan saya selanjutnya akan menggunakan kereta Mutiara Timur yang berangkat jam 21.30. Saya punya waktu kurang lebih 3 jam untuk jalan-jalan. Ada 1 tempat yang memang sudah saya incar, Restoran Kapin yang pernah direkomendasikan mati-matian oleh Bondan Winarno. Restoran Kapin yang terletak di Jalan Pasar Wetan itu punya menu nasi goreng mewah bernama Nasi Goreng Widodo. Untuk yang berminat baca ulasan Pak Bondan, sila ke sini. Saya memilih naik taksi karena sudah cukup malam, dan waktu yang saya punya cuma sebentar. Salahnya, saya memang tidak tahu apa-apa tentang kota ini dan cukup kaget ternyata sepanjang jalan Pasar Wetan isinya hotel remang dan billboard gambar telanjang yang cukup bikin heboh. Saya akhirnya mengerti kenapa waktu pertama kali menyebutkan mau ke Pasar Wetan, Pak Supir Taksi langsung nanya, “Mau cari hotel?” Cih.

Ketika sampai di tempatnya, (haha, bolehlah ketawa dulu) benar-benar di luar dugaan. Dengan ulasan sehebat itu, Kapin ternyata sepi pengunjung (saya berkunjung hari Jumat sekitar jam 7 malam). Hanya ada saya dan 1-2 pengunjung lain di situ. Restorannya tertutup dan cukup mewah walau ukurannya lumayan sempit (saya kira awalnya bentuknya seperti restoran kaki lima macam Madtari). Pelayannya memakai Cheongsam yang bikin ragu ini restoran halal atau nggak. Makin ngeri ternyata restorannya menyediakan hidangan Ibab (harap baca dari belakang). Sempat mau bubar jalan, tapi merasa sayang karena sudah jauh-jauh dan sempet mimpi-mimpi makan nasi goreng ini. Pake bismillah akhirnya pesan juga Nasi Goreng Widodo (yang ternyata ada juga saingannya Nasi Goreng Purnomo, katanya bedanya pake taburan ikan asin lagi di atasnya). Rasanya? Nggak bohong, ini memang enak. Dibanderol Rp 85.000 untuk porsi sedang dan Rp 160.000 untuk porsi besar, nasi goreng ini cukup untuk 2-3 orang untuk porsi sedangnya. Daging kepitingnya besar-besar, empuk, dan super banyak. Dicampur lagi dengan daging ayam (semoga benar ayam) dan seafood yang menggiurkan. Sempat kecewa sama spring roll ayamnya dan karena nggak habis kemudian disedekahkan kepada seorang bapak yang tiduran di pinggir jalan.

Kereta saya selanjutnya berangkat dari Stasiun Gubeng ke Banyuwangi. Karena takut tidak sempat kalau pergi naik taksi lagi ke Stasiun Gubeng (Surabaya punya banyak jalan 1 arah yang membuat rute perjalanan jadi memutar-mutar), saya memutuskan untuk berjalan kaki saja ke Stasiun Semut yang letaknya cukup dekat.

Stasiun Semut adalah tempat parkirnya kereta Mutiara Timur, menjadikan saya bisa langsung naik dari Stasiun ini walaupun tiket saya berangkat dari Stasiun Gubeng. Sempat melewati Tugu Pahlawan dan menyebrang jalan besar yang cukup horor. Jalan-jalan besar Surabaya di jam 8 malam sudah sepi, walaupun cukup banyak kendaraan yang lalu lalang. Cukup aneh karena terakhir kali saya ke Surabaya (sewaktu site visit ke Ujung Pangkah di bulan Desember), suasana malam hari sungguh ramai walaupun bukan waktu weekend. Sekitar jam 20.30 saya sampai di stasiun Semut dan diberi tahu bahwa kereta akan diberangkatkan sekitar jam 21.15 menuju Stasiun Gubeng.

Duduk di kursi bisnis di kereta kedua ini, saya kembali terperangkap dengan rombongan ibu-ibu dan bapak-bapak suatu paguyuban yang mengikuti pertandingan tenis untuk usia lanjut di Bali. Semuanya dipersenjatai raket tenis dan tikar untuk tidur di lantai selama perjalanan. Suasana malam semarak sekali dengan obrolan-obrolan rombongan tersebut, tapi sejam kemudian suasana langsung senyap. Sepanjang perjalanan hujan dan tidak ada kerlip lampu yang menemani. Benar saja, saya terlelap dan tiba-tiba sampai di stasiun terakhir di rangkaian daerah operasi kereta api pulau Jawa, Banyuwangi. Rombongan ibu dan bapak paguyuban kembali bersemangat ketika sampai, padahal jam masih menunjukkan pukul 04.30. Saya sendiri sempat mandi dan bersih-bersih menunggu pagi. Sarapan di depan stasiun sambil sesekali memperhatikan orang-orang yang lewat.

Banyuwangi cukup populer di kalangan backpacker yang mau ‘jalan susah’ menuju pulau dewata (dan tidak tergiur dengan tawaran promo pesawat terbang yang makin banting harga). Terlihat juga dari jumlah pengunjung asing (yang kulitnya tersengat lengkap dengan baju barong dan topi pantai) yang menaiki Mutiara Timur kembali ke Gubeng bersama saya. Mutiara Timur pagi berangkat jam 08.00 dan kali ini, akhirnya bisa menikmati pemandangan yang semalam saya lewati. Peradaban terlihat semakin maju ketika kereta mendekat menuju Surabaya. Tergugah ketika memperhatikan stasiun-stasiun kecil dengan pegawai yang dapat dihitung jari, yang kesepian, yang melambaikan tangan.

Sekitar jam 15.00 saya sampai kembali di Stasiun Gubeng. Kali ini saya harus ganti stasiun menuju Stasiun Pasar Turi, untuk melanjutkan perjalanan dengan Gumarang ke Semarang. Merasa ditipu sama tukang taksi Cipaganti (yang walaupun punya layar TV untuk penumpang di kedua kursi depan) yang meminta dibayar borongan, akhirnya di-iya-kan saja tawaran harga si Pak Supir dengan syarat harus diantar ke restoran penyelamat bangsa, KFC. Harus KFC. Setelah membeli paketan KFC dan memberikan satu gelas penuh Pepsi ke Pak Supir Cipaganti akhirnya saya melihat Stasiun Pasar Turi dan kembali duduk di kereta bisnis pada pukul 17.10. Oh iya, KFC di Surabaya saya nobatkan sebagai KFC paling enak di bilangan Jawa Timur (entah lapar atau gimana, tapi rasanya super sekali) :P

Di pukul 21.20 akhirnya saya tiba di Stasiun Semarang Tawang. First impression? Uwowowowow (maaf, norak). Langit-langit yang tinggi, dinding, lagu yang menyambut pelan. Stasiun ini luar biasa. Semarang Tawang merupakan salah satu stasiun kereta api tertua dan juga terbesar di Indonesia. Langit-langitnya yang tinggi menunjukkan jelas ciri bangunan yang dibuat di zaman pendudukan Belanda. Tujuan awal saya adalah mengunjungi Pasar Semawis yang kabarnya mencapai puncak keramaiannya di waktu Tahun Baru Cina (Imlek). Tapi ternyata hujan turun cukup lumayan dan saya mengurungkan niat karena kemalaman (kabarnya pasar Semawis tutup di jam 23.00). Karena kereta saya selanjutnya berangkat pukul 08.00, saya sempat terpikir untuk ke Simpang Lima dan mencari warung 24 jam atau tidur di stasiun sampai pagi, tapi akhirnya saya memutuskan untuk menginap.

Hotel Rahayu  muncul lumayan awal di daftar hotel murah untuk wisatawan Semarang. Rate-nya cukup terjangkau dari Rp 70.000 – Rp 250.000. Bersih dan recommended untuk yang pengen numpang tidur. Jumlah kamarnya cukup banyak dan mereka menerima tamu sampai malam (kecuali kamarnya habis, ya iyalah). Dikasih teh hangat, handuk, dan sabun, fasilitas ruangannya AC dan TV. Letaknya dekat dengan Stasiun Poncol, tepatnya di Jl Imam Bonjol.  Dari stasiun sampai ke hotelnya bisa naik becak. Saat itu, hujan sudah rintik-rintik. Sempat melewati warung kaki lima yang depannya ditutup baligo dan bertuliskan Karaoke. Di sebelahnya berjajar warung serupa bertuliskan “Menjual Ular” tapi terdengar suara dangdut super kencang dan di sebelahnya terlihat wanita dengan tank top dan celana pendek duduk di pinggir jalan. Tsk.

Sesudah tidur goler goler dengan AC, besoknya saya segar kembali dan langsung berangkat ke Stasiun Tawang lagi. Sarapan di depan Stasiun seharga 5000 perak dan beli jajan di Indomaret paling keren. Stasiun Tawang, saya janji saya pasti akan kembali lagi ke sini. Ketika masuk ke area penantian kereta, disambut oleh suara sekelompok pemusik yang menyanyikan beberapa tembang Jawa yang menyejukkan hati. Untuk kesekian kalinya di perjalanan ini, saya terpana dan kembali dimabuk keindahan.

Kereta terakhir saya, Fajar Utama, yang akan kembali membawa saya ke ibukota berangkat jam 08.00 tepat. Kali ini saya tidak terjebak rombongan, dan kali ini saya melewati Jalur Utara. Jalur ini dikenal dengan keindahan pesisir pantainya yang luar biasa. Menikmati pemandangan pantai dan  angin sepoi di kereta bisnis memang candu.

Suasana ibukota langsung terasa dengan kehadiran para pemulung botol minum dan pengemis yang naik dari Stasiun Bekasi. Perjalanan saya pun berakhir ketika kereta mendarat di Pasar Senen. Mengembalikan kesadaran, mengembalikan apa yang bahkan tidak pernah hilang.

Kamu tahu, tanah ini tetap menyimpan jutaan rahasia dan harta yang tidak pernah habis. Kamu dan saya, mungkin belum bisa menghitung segalanya sekarang, ataupun mungkin nanti. Keteraturan dan kemapanan tanah tetangga akan selalu ada, akan selalu berkembang hebat, membuat decak kagum dan menarik hati. Tapi keindahan ini, hanya kita yang punya. Hanya kita yang bisa melahirkan. Sudut ini menjadi jawaban, atas apa yang dirindukan, atas apa yang menjadi alasan.

Ya, biarkan saya tetap menjadi anakmu.

Tanah ini membuat kita mengangkasa di masa lalu, apakah boleh kalau sekarang giliran kami? Kali ini, biarkan kami yang menjadi sayap, membuat tanah ini mengangkasa. Ke tempat mana yang seharusnya berada.

Terlampir salam,
pencinta tanah dan rel Indonesia. Serta semua yang berdiri di atasnya.

7 thoughts on “Naik Kereta Keliling Jawa

    1. Ayo ipeeh, nanti kalo udah jalan2 cerita2 juga. Nabung dulu Peh, soalnya paling beratnya di tiketnya. Kalau gak tepat waktu belinya keburu abis dan dapet yg mahal. Terus usahain perginya pas weekdays aja biar tiket gak ngelonjak. Yang terpenting adalah niat, Peh.

  1. wow,keren..
    Saya jg ada rencana keliling jawa dengan kereta api..
    Dari semarang-jakarta-bandung-jogja-solo-surabaya-semarang..
    Klo blh tau, mbak hbs ongkos berapa?

    1. Halo Niken, waktu itu saya habis sekitar 600-an kalau tidak salah. Tapi tiket kereta harganya bisa tentatif sekali. Saya dapat segitu karena pesannya agak telat jadi kereta2 yang diincar sebenarnya agak meleset. Karena sekarang tiket sudah bisa dipesan H-90 dari hari keberangkatan, sebaiknya kamu pesan jauh-jauh hari. Karena kemungkinan mendapat tiket promosi menjadi lebih besar. Harga tiket bisa jadi lebih murah 1/5-nya kalau dapat harga itu. Selalu tanyakan tiket ini sebelum memesan, ya.

      Hindari long weekend dan hari libur sebisa mungkin. Pilihan kelas kereta juga jadi pertimbangan, sekarang sudah ada kereta Ekonomi AC yang harganya cenderung lebih murah. Jadi untuk menekan harga semurah-murahnya, harus pintar2 berstrategi di pilihan rute dan kelas kereta :D

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.