Posesif (2017)

(sumber)

Menonton film Posesif (2017) di bioskop adalah pengalaman yang tidak diduga. Bagi penggemar film indie tanah air, nama Edwin tentu tidak asing di telinga. A Very Slow Breakfast (2003) adalah film yang saya simpan baik-baik file unduhannya karena menontonnya pertama kali di masa SMA membuat saya seakan meledak. Sarat makna dan bertutur dengan cerdas. Tidak salah kalau dikatakan bahwa saya mendapat panggilan untuk menonton film ini hanya karena nama Edwin. Itupun setelah mengetahui bahwa filmnya dinominasikan di FFI.

Di balik poster cheesy dan isi film yang bisa ditebak lewat judulnya, pendekatan filmis di Posesif menjadikan film ini lebih dari yang saya duga. Cerita standar yang bisa ada kapan saja ini menjelma menjadi film yang bercerita dengan baik juga simbolik. Dipilihnya cabang olahraga lompat indah sebagai cabang olahraga yang digeluti Lala (diperankan Putri Marino) si pemeran utama serasa menggambarkan kondisinya yang harus terjun bebas ke dalam pengenalan akan arti cinta secara mendadak. Jujurnya, saya beberapa kali melihat trailer Posesif di bioskop tapi tidak merasa ada yang spesial dari beberapa menit cuplikan filmnya kecuali adegan Lala berputar di dalam air yang menurut saya sangat mencuri perhatian. Adegan tersebut ternyata bermakna sangat dalam ketika melihat keseluruhan filmnya. Lala yang mulai menjadi atlet lompat indah karena mengikuti jejak ibunya yang sudah meninggal, menemukan rasa hangat dan sosok Ibunya dalam olahraga tersebut.

Edwin sering menghembuskan nafas film lewat pemilihan lagu, seperti lagu I Just Called to Say I Love You – Stevie Wonder dalam Babi Buta yang Ingin Terbang (2012) yang seakan menghipnotis penonton setelah film selesai. Kali ini, lagu Dan – Sheila on 7 menjelma menjadi lagu yang bermakna baru. Dalam lagu tersebut, Eross Candra menggunakan kata ‘melukai’ dan ‘menyakiti’ secara kiasan tetapi penyelipan lagu ini di film Posesif malah membalik arti kata tersebut menjadi harfiah.

Ketika akhirnya credit title filmnya keluar, saya membutuhkan waktu beberapa menit untuk berusaha sadar dan memproses banyak hal yang sudah terjadi. Dialognya sendiri biasa saja dan banyak adegan yang seakan ‘ditambahkan’ agar sesuai dengan genre dan target umur filmnya. Pun dengan begitu, Posesif tetap mampu menjadi film Indonesia terbaik yang saya tonton di bioskop tahun ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.