Tanggal 21 April kemarin, seperti biasanya, masyarakat Indonesia merayakan Hari Kartini. Waktu kecil dulu, saya terbiasa merayakan hari tersebut dengan memakai baju daerah, kemudian berubah menjadi kebaya atau rok semasa kuliah dan bekerja. Di tahun-tahun tersebut, saya merasa tidak memaknai Hari Kartini yang sesungguhnya karena saya pikir, hari tersebut hanya gimmick belaka. Sama seperti hari simbolis lainnya, hari tersebut dijadikan beberapa toko (termasuk toko saya) untuk meraup keuntungan lewat iming-iming diskon. Saya juga tidak pernah (dan belum tertarik) membaca buku Habis Gelap, Terbitlah Terang selama ini. Tapi, selalu ada yang menggelitik di setiap tahunnya. Hari Kartini tidak pernah luput dari perdebatan.
Kenapa Kartini?
Pertanyaan tersebut selalu ada setiap tahunnya. Selalu dibahas dengan cara yang berbeda, tapi intinya selalu sama: “Apa yang membuat Kartini mendapat hari tersendiri di kalender dengan segala privilege yang dimilikinya?“. Kartini tidak mengangkat senjata. Kartini lahir di keluarga berada. Kartini hanya menulis surat. Sementara itu, beberapa orang akan membela Kartini dan mengatakan bahwa di usianya yang sangat muda dan budaya Jawa yang sangat ketat, pemikiran Kartini sangat maju pada zamannya. Jika dilihat lebih dekat, tidak ada yang benar-benar salah.
Fenomena ini sedikit banyak merefleksikan kenyataan yang tidak pernah lepas dari kehidupan wanita sehari-hari, bahkan masih relevan sampai hari ini. Akan selalu ada wanita yang mempertanyakan kenapa wanita tersebut lebih berhak daripada yang lain. Harus ada kesalahan, harus ada celah, harus ada kesempatan untuk menjatuhkan.
Saya tidak ingin mempersalahkan hari simbolis. Saya ingin berusaha melihat dari pandangan yang lebih luas. Saya ingin berusaha menerima bahwa wanita dan seluruh manusia, akan mempunyai privilege dan disadvantage-nya masing-masing. Dan tidak sebaiknya, kita mempertanyakannya atau menganggapnya enteng karena sesungguhnya, kita tidak menjalaninya.
Selepas hari Kartini, mungkin saya akan mencemooh satu atau dua wanita lainnya karena membaca artikel di internet. Suatu hari, mungkin saya akan menganggap enteng pengalaman hidup orang lain hanya karena saya merasa pengalaman hidup saya lebih buruk dari itu. Pada saat itu, saya akan kembali membaca tulisan ini dan berusaha memandang semua hal dengan lebih bersih, bahwa tidak ada salahnya untuk merayakan semua pengalaman hidup. Tidak ada salahnya untuk menerima dengan tulus kehidupan yang saya jalani ini, tanpa menyeret kehidupan orang lain di dalamnya.