2009 in 500 Words

//December 24, 2009//

Waaah, sudah hampir tahun 2010 rupanya. Hmm, hmm, 2010. Tahun yang mengharuskan gue untuk lulus kuliah :P But there’s just so much beautiful memories on 2009. Why should rush it to 2010?

Tahun 2009 buat gue adalah tahun yang menyegarkan!

The Writing Experience

Tahun kemarin, gue berjanji menulis lebih banyak review film, and I did it! Tahun 2008 adalah tahun pertama gue mencoba menulis review film karena janji sama Tangkas buat bikin review Iron Man. And here I am, the non-stopping-writing-engine. Haha… Omong-omong tentang menulis, gue benar-benar melanjutkan kembali kesukaan gue untuk menulis di tahun ini. Dan entah kenapa, jadi banyak yang suka sama tulisan-tulisan gue (apa gue yang terlalu PD?) Tapi entah kenapa setiap ada yang bilang suka sama tulisan gue, gue jadi lebih semangat untuk menulis lagi. Coba kita lihat. Gue sudah menulis review:

Billy Elliot, Mary and Max, Avatar, UP, Harry Potter and the Half Blood Prince, Inglourious Basterds, 17 Again, Transformer, This is It, LANJUT, Gan!

Wew, lumayanlah ya… Yang gue seneng banget, tahun ini gue mencoba ikutanNanowrimo. Website ini istilahnya adalah writing project yang mengharuskan kita menulis sebanyak 50.000 kata selama satu bulan yaitu bulan November. Gue sudah lama banget mengidam-idamkan untuk ikutan acara ini, sayangnya memang gue belum punya banyak waktu untuk menulis, jadi gue akhirnya menyerah di tengah November. Novel yang gue tulis adalah interpretasi dari film yang pengen gue bikin, yaitu kumpulan cerita pendek berjudul The Tale of Rainbow—Cerita Pelangi. Tapi tahun depan gue pasti ikutan lagi, and that’s just my wish for next year.

The Movie-Watching Experience

Tahun kemarin gue menargetkan nonton lebih banyak film di bioskop. Karena tahun 2008 kemarin gue sadar bahwa gue tidak terlalu banyak ikutan nonton bareng atau sejenisnya, jadi tahun ini akhirnya gue berhasil menonton 18 film di bioskop! Mungkin ada yang bilang itu jumlah yang sedikit, tapi gue mengalami peningkatan secara kuantitas di tahun ini. Film pertama yang gue tonton di tahun 2009 adalah Pintu Terlarang dan yang terakhir adalah AVATAR.

The Unbeatable Journey

Tahun ini adalah tahun pertama gue menjabat sebagai Fungsionaris LFM-ITB. Not much to tell actually, because I don’t want to spoil this one too much. I found light, I found passion, I found (many) children, and too much story to tell. But not today, I promised to write it in April 2010. Hihi ;P

Mangasi Napitupulu. Well yeah, it’s thirty. Why does it feel like seconds? Jangan terlalu banyak makan lagilah kita, bahaya.

The Random Fact

I’ve got my Oktomat! Gue KP di Medco E&P. Gue untuk pertama kalinya ke luar negeri! Waktu itu Kuliah Kerja (Kulker) ke Batam dan Singapura. Tapi ke Singapuranya cuma kamuflase untuk jalan2 semata. Gue jadi tim kampanye Cakahim di himpunan dan mendesign sebuah poster kampanye ala Facebook yang norak tapi banyak yang suka. Sayang Cakahim yang gue dukung nggak menang. Gue menambah tingkat kegaulan dengan punya Tumblrplaying with rainbow. Gue bertemu dengan kakak pengajar Invite34 tercinta, Billy Christian. Huooo, luar biasa!!! Never imagined anything like it before! :)

WOW! Isn’t that a year to remember?

The Bob Lennon – Endoh Kenji

/December 23, 2009//

Semua orang pasti punya tokoh favorit, idola nama kerennya. Ada yang mengidolakan atlet, artis, politikus, Albert Einsten, Mother Theresa, Michael Jackson, dan banyak lagi. Banyak juga yang pasti mengidolakan tokoh komik. Gue suka sekali baca komik, bahkan sampai sekarang. Tapi mungkin bacaan kesukaan gue masih berasal dari para pengarang komik zaman lama macam Naoki Urusawa, Eiichiro Oda, Akira Toriyama, CLAMP dll. Di setiap komik, gue pasti punya tokoh kesukaan, macam Hanamichi dari Slam Dunk, Nobita dari Doraemon, Sawamura-nya Harlem Beat, Luffy dan Zoro dari One Piece, dll. Kali ini, gue mau memperkenalkan salah seorang tokoh idola gue, namanya Endoh Kenji dari serial 20th Century Boys.

Buat para pembaca 20th Century Boys, pasti udah taulah, ya. Soalnya dia adalah tokoh utama di seri ini. Dia adalah seorang pahlawan tanpa tanding. Dia memegang gitar layaknya senapan mesin, dan berhasil menyelamatkan dunia. Endoh Kenji adalah idola gue.

Kenapa? Entah. Di awal cerita, Kenji digambarkan sebagai anak laki-laki biasa yang menggemari music rock tahun 70-an macam Rolling Stone, T-Rex, CCR, dll. Kenji punya segudang imajinasi dan banyak mimpi setinggi langit, yang pada akhirnya tidak bisa diwujudkannya. Kenji bercita-cita jadi musikus terkenal, punya band dan tampil di TV. Tapi pada akhirnya, ia berhenti dari band dan membuka MiniMart. Dia terus gagal dan lari dari masalah. Dia orang biasa yang harus tunduk pada tuntutan zaman dan lilitan hutang. Seiring bergulirnya cerita, Kenji ‘diharuskan’ menyelamatkan bumi, dia pun bangkit dan tidak ada lagi yang mampu menandinginya. Dia selalu mengorbankan dirinya sendiri buat keselamatan banyak orang-orang yang bahkan sebenernya rela mati demi dia. Yang hebat dari Kenji adalah entah kenapa, dia mampu menarik banyak orang. Dia mampu membuat banyak orang percaya padanya. Hanya dengan kepercayaannya, dia mampu menggerakkan banyak orang dan hanya dengan sebuah lagu, ia membuat orang-orang kembali berharap.

Kenji mungkin memang orang biasa, tapi Naoki Urusawa (pengarang komik ini) bisa saja membuat tokoh ‘sekuat’ ini (Kenji gk punya kekuatan aneh2 macam bisa melar atau punya senjata laser, dia diceritakan sebagai ‘manusia biasa’). Luar biasa, luar biasa. Hal inilah yang membuat gue suka sekali sama Kenji, ada satu kalimat yang gue inget, “Orang yang akan bertahan hidup adalah orang yang punya keinginan untuk bertahan hidup.”. Kalau ada yang sempat, coba saja baca komiknya, pasti kalian gk cuma jatuh cinta sama jalan ceritanya yang luar biasa tapi juga suka sama penokohan setiap karakternya yang gk biasa.

Hmm, tahun 2010 sudah di depan mata. Kalau boleh mempunyai harapan, gue pengen seperti Endoh Kenji! :D

Trivia: Dalam serial ini, Kenji membuat sebuah lagu, yang diberi judul Bob Lennon (singkatan dari Bob Dylan dan John Lennon). Di Jepang, rekaman lagu ini dijadikan bonus untuk setiap pembelian komiknya. Lirik aslinya ditulis dalam bahasa Jepang, ini lirik bahasa inggris-nya:

The sun goes down, and I can smell
curry cookin’, somewhere.
How long will we have to walk
before we get home?
Will the croquettes from my favorite shop
still taste the same,
waiting for me?

Night comes down upon the earth,
and I’m hurryin’ home.

They say
the ogres will be laughing next year.
And I say
let ’em laugh all they like.
I’ll keep talkin’ about
five or ten years in the future.
And fifty years later, If I’m still with you.

Night comes down upon the earth,
and I’m hurryin’ home.

Well the rain may fall

and the storms may come
And the spears may fall.
Let’s all go home.
They can’t stop us.
Nobody has the right to stop us

Night comes down upon the earth,
and I’m hurryin’ home.
Night around the world,
the entire world is hurrying home.
And I pray that these days will
continue for you,
forever and ever.

SIMCITY

//December 19, 2009//

Neil Gaiman is an amazing writer. He is genius! His writing is like a river from a waterfall, it is rich and full of passion.

Neil Gaiman is the man who responsible of the amazing Stardust, Coraline, Mirror Mask, and many beautiful works (now you know who I’m talking about, right?) . More of his writing can be found on here. I want to share this lovely essay he wrote for the game SIMCITY. I love the essay because it is deep and full of imagination. I really do hope I’ll write like this someday (finger crossed).

SIMCITY

By Neil Gaiman 

Cities are not people. But, like people, cities have their own personalities: in some cases one city has many different personalities — there are a dozen Londons, a crowd of different New Yorks.

A city is a collection of lives and buildings, and it has identity and personality. Cities exist in location, and in time.

There are good cities — the ones that welcome you, that seem to care about you, that seem pleased you’re in them. There are indifferent cities — the ones that honestly don’t care if you’re there or not; cities with their own agendas, the ones that ignore people. There are cities gone bad, and there are places in otherwise healthy cities as rotten and maggoty as windfall apples. There are even cities that seem lost — some, lacking a centre, feel like they would be happier being elsewhere, somewhere smaller, somewhere easier to understand.

Some cities spread, like cancers or B-movie slime monsters, devouring all in their way, absorbing towns and villages, swallowing boroughs and hamlets, transmuting into boundless conurbations. Other cities shrink — once prosperous areas empty and fail: buildings empty, windows are boarded up, people leave, and sometimes they cannot even tell you why.

Occasionally I idle time away by wondering what cities would be like, were they people. Manhattan is, in my head, fast-talking, untrusting, well-dressed but unshaven. London is huge and confused. Paris is elegant and attractive, older than she looks. San Francisco is crazy, but harmless, and very friendly.

It’s a foolish game: cities aren’t people.

Cities exist in location, and they exist in time. Cities accumulate their personalities as time goes by. Manhattan remembers when it was unfashionable farmland. Athens remembers the days when there were those who considered themselves Athenians. There are cities that remember being villages. Other cities — currently bland, devoid of personality — are prepared to wait until they have history. Few cities are proud: they know that it’s all too often a happy accident, a mere geographical fluke that they exist at all — a wide harbour, a mountain pass, the confluence of two rivers.

At present, cities stay where they are.

For now cities sleep.

But there are rumblings. Things change. And what if, tomorrow, cities woke, and went walking? If Tokyo engulfed your town? If Vienna came striding over the hill toward you? If the city you inhabit today just upped and left, and you woke tomorrow wrapped in a thin blanket on an empty plain, where Detroit once stood, or Sydney, or Moscow?

Don’t ever take a city for granted.

After all, it is bigger than you are; it is older; and it has learned how to wait…

Now you know why I love Neil Gaiman.

Inglourious Basterds

//December 17, 2009//

 

Inglourious Basterds
A Little Something You Can’t Take Off

 

Quentin Tarantino adalah sebuah nama ikonik yang terus melekat di hati saya, bersanding sejajar dengan Tim Burton, Sofia Coppola, dan Nia Dinata. Ketika film dengan ejaan ngaco ini muncul, saya memutuskan untuk HARUS menontonnya.

Inglourious Basterds tetap punya ciri khas Tarantino, dilantunkan dengan sebuah chapter untuk setiap babak ceritanya. Tetap dengan scoring yang membuat takjub karena selalu dapat menyampaikan getar maksud scene tersebut. Deretan castnya luar biasa, Brad Pitt bermain watak lagi, Eli Roth terlihat sangar sekaligus memancing tawa. Pujian terbesar tentu saja dialamatkan kepada Christoph Waltz yang memerankan Colonel Hans Landa tanpa celah. Karakter ini tidak akan pernah semenarik itu tanpa cara membaca jeda dialog yang tepat, gerak kepala yang terangkat tinggi, dan senyum kemenangan milik Waltz.

Tarantino kembali menggoreskan luka di pikiran para penontonnya, membuat kita semua berdecak kagum, bertepuk tangan, berteriak dan tertawa bersama film ini. Ia menghina para Nazi dengan menggambarkannya secara komikal. Lihat saja bagaimana Hitler berteriak histeris mendengar para pasukannya tengah diteror oleh pasukan misterius bernama The Basterds, ataupun Joseph Goebbels orang nomor dua Nazi yang gila dengan pujian. Tarantino kembali mengubah darah dan tembakan menjadi indah, dan kata-kata kasar menjadi pujian.

Satu-satunya hal yang membingungkan sayadari Inglourious Basterds adalah, saya merasa justru tidak ada tokoh sentral di film ini. Semuanya berakhir sejajar. Aneh memang, karena The Bride (Uma Thurman, Kill Bill) telah menjadi karakter terhebat sepanjang masa, saya berharap mendapatkan peran itu dari Capt Aldo Raine (diperankan brilian oleh Brad Pitt). Tapi mungkin, justru Shosanna (Melanie Laurent) yang mendapatkan kehormatan untuk berada di panggung utama. Saya tidak menangkap kenapa judulnya dipersembahkan untuk The Basterds kalau pada akhirnya mereka tidak mendapat peran terbesar tersebut.

Apapun itu, saya mungkin akan menunggu kelanjutan film ini (kalau Tarantino kembali membuatnya). Karena seperti Capt. Aldo Raine bilang, this film will give you something you can’t take off. As for me, it is the traumatic sensation that keeps banging your head as the scenes go from the opening to the credits. Another outstanding beautiful film, another standing applause.

Trivia: Kalau Anda memperhatikan bagian credit title di akhir film, Anda akan menemukan bahwa urutan nama cast yang biasanya ditaruh di awal credit title justru ditaruh di akhir credit setelah nama para crew film ini. Quentin Tarantino telah memberikan penghargaan yang luar biasa besar untuk para filmmakernya.

 

The Last Three

//December 17, 2009//

Every now and then, we’d like to make achievement on New Year’s Eve. Some were actually done well enough, but some were actually never had a start. So, as the years passed, we stop making wish list that we address it as a ‘resolution’. In my opinion, it is good to have something you keep in mind, something you want so determined that you even publish it to other people and public’s eye. But it is the end of the year, and I’m not here to give you any of my achievement for next year. I’m here to give you all promises, I would like to have on this very three months ahead of me.

I grew up, wanting to take care of people. And for your humble information, here I am. Taken care of many (as I write many, it is really written as many) people. It is almost 9 months, and I learn more than I can think of. So, for this very next three months, my last three months, I’d make promises I can’t say OFF. I would like to go far, I will leave all my comfort everything, my very sweet everything. And I will start at this very moment.

I promise myself to get up earlier and come earlier to the place I have to be taken care of.

I promise myself to greet every people I have to be taken care of, and it is without exception.

I promise myself to be cheerful, modest, and sociable as I can be. I won’t be moody, gloomy, or making sad faces to anyone.

I promise myself to be compassion and high-spirited to every activity I attended. I will love all activity I ttended like it is my own event I loved it so bad that I cannot live without it.

I promise myself to give a lot of THANK YOUs and SORRYs to every people I have to be taken care of.

I promise myself to take give my health a top priority that I cannot let my health to be an obstacle to anything I would do the next three months.

I promise myself to control all anger, profanity and bad words come from my mouth to anyone or anything.

I promise myself not to disappoint anyone about all my act and behavior.

And I promise myself to do harder to anything I will do for the following three months.

The last three, and I’ll make it all worth.