Kamu, Kata Kerja

Dunia kerja (dan wawancara kerja) itu banyak faktor X-nya. Attitude dan skill jadi takaran yang bobotnya tidak pernah jelas. Yah, semacam suka tidak suka.

Turnover di dunia oil&gas pada umumnya dan EPC pada khususnya sangat tinggi. Tenaga kerja hilir mudik, resignapply, secepat cahaya. Karena kerjaannya cenderung sama di setiap perusahaan, kultur dunia kerja EPC itu “the highest bidder win“. Pernah denger dong kata-kata “If you want loyalty, go hire a dog“? Hal itu terbukti benar adanya, para buruh yang sudah experienced kebanyakan ngikut ke yang tawarannya paling menjanjikan. Loyalty-nya ada di profesi, bukan perusahaan. Walaupun ada yang bilang, beberapa faktor semacam lokasi kerja, project yang menantang, ataupun suasana kerja juga penting, ujung-ujungnya semua bermuara ke uang. Sedikit sekali yang nggak memegang prinsip ini, dan kebanyakan, orang yang masuk golongan ini:

1. Nggak terlalu serius ataupun nggak butuh-butuh amat untuk berkarir di bidang ini.
2. Visi karirnya pengen ke management, bukan profesional.
3. Orang hebat, mungkin.

Ya lagi-lagi, semacam suka tidak suka tapi itu kenyataannya.

Perusahaan EPC pada dasarnya adalah perusahaan yang terbangun oleh tim multi disiplin. Core keilmuan disiplin tersebut pastinya beda-beda, dengan bobot pekerjaan dan tingkat kesulitan yang berbeda-beda antar satu project dan project lainnya. Hal semacam ini, kadang bikin rasis. Semuanya pengen dianggap bobotnya paling besar, semuanya pengen pekerjaannya dianggap paling rumit. Padahal kalau salah satu aja nggak berfungsi, ya bubar project-nya. Dan kalau dipikir lagi, karena latar belakangnya beda-beda ya susah bandinginnya. Walau ada yang bilang kesulitan suatu disiplin bisa dilihat dari besar rata-rata gaji yang dibawa pulang disiplin tersebut (yang katanya sih, salary rata-rata terbesar masih dipegang oleh para Process Engineer dan Piping Engineer).

Dunia kerja itu kotor. Industri oil & gas itu kotor. Permainan uang dan kepentingan (sekelompok orang) itu masih terlalu sulit untuk dipahami.

Semua yang ada di artikel ini (sayangnya) banyak benarnya :P

Saya masih karyawan remahan yang belum berhak diberi kesempatan untuk menilai baik/buruk dan benar/salah, jadi saya cuma ingin bilang jangan terlalu mudah mengatakan ‘keluar’. Keluar dalam artian apapun. Di usia yang masih muda ini dan lingkup industri yang itu itu saja, kita harus menjaga sikap dan kata-kata kita. Dan yang paling penting, menjaga pikiran dan visi, jangan terlalu gampang bilang benci ini benci itu, berhenti saja, cari yang lain saja. Harus ada alasan yang kuat dan tanggung jawab yang besar dibalik semua kata. We still have to live with the responsibility, whatever your definition of responsibility is.

PS: Random dan menurut saya.

Kamu, dan Gelar-Gelar Hebat

Kalau dua tahun yang lalu ditanya: “Habis kuliah mau apa?”, saya pasti jawab: “Sekolah lagi”. Nyatanya, hidup nggak segampang menulis motivation letter, dapat beasiswa keluar negeri, dan posting foto jalan-jalan seantero negara Eropa setiap minggunya.

Ketika wawancara untuk masuk S2 di ITB, teman saya pernah ditanya kenapa dia ingin melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi, yang berakhir dengan ceramah singkat berintikan: jangan ambil kuliah S2 sebagai alasan untuk tidak bekerja/ketika kita tidak dapat pekerjaan. Ada juga yang melihat peluang S2 sebagai ajang ‘cuci nilai’. Ketika ijazah S1 kita tidak punya embel-embel cumlaude, atau IPK di transkrip, ataupun cuma mentok di angka 2.xx/3.0x, ada urgensi untuk memperbaiki diri. Alasannya mungkin karena kita tidak lagi harus berhadapan dengan mata kuliah Kalkulus Dasar 1A atau karena kita sudah tahu ‘rahasianya’ dalam berkuliah. Intinya dimana ada kemauan, di sanalah ada jalan.

Setelah dipikir, meneruskan kuliah lagi bukan perihal mudah. Memang sih, segampang itu dengar kisah sukses teman-teman dengan beasiswa hebatnya, “Si ini dapet beasiswa ke sini lho”, “Si itu sebentar lagi mau berangkat ke sana, lho”. Tapi kita juga harus tahu bahwa ada orang-orang yang tidak sehoki itu dengan urusan beasiswa (walaupun ada yang bilang asal surat-surat diurus dengan benar, besar kemungkinannya aplikasi beasiswa kita diterima). Kuliah S2 pun membutuhkan biaya yang tidak sedikit (jika pada akhirnya kita memutuskan untuk kuliah dengan biaya sendiri). Di ITB sendiri, kuliah S2 per semesternya sekitar + 8 juta rupiah (yang katanya dibilang murah). Bagi saya, walaupun tanpa uang masuk, jumlah itu adalah 4x lipat dari uang semester S1 saya. Belum lagi dengan biaya bulanan semacam kost atau uang makan. Yang artinya, kalau saya tidak berusaha mencari beasiswa atau mencari kerja untuk menunjang keuangan saya, orang tua/penanggung biaya kita harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk setidaknya 1-2 tahun. Beban lagi? Tentu.

Buat kamu yang mau melanjutkan kuliah di luar, ada juga yang bilang, “Cari tambahan saja, gaji pencuci piring di luar negeri sudah lumayan besar, kok.” Oh ya, silahkan. Kalau tidak pernah kerja keras dengan pekerjaan ‘semacam itu’, nanti tidak ada yang bisa diceritakan ke anak cucu, kan? Tapi ingat juga, kuliah itu intinya belajar, saya sudah cukup melihat orang-orang dengan kondisi macam ini yang akhirnya menyerah di tengah jalan karena tidak bisa membagi konsentrasi. Mau magang ke organisasi sosial yang lebih established? Sejauh yang saya tahu intern di organisasi sosial di luar negeri itu kebanyakan tidak digaji. Organisasi sosial lho, tau kan kenapa namanya sosial? Tapi memang kesempatan, pengalaman dan network yang kamu dapat pasti akan setimpal dengan resiko yang harus dihadapi.

Belum lagi ketika kita harus bertarung dengan anggapan, “Is it worthed?” Untuk beberapa perusahaan, ada yang melihat gelar S2 sebagai jaminan untuk lonjakan karir di masa depan. Bahkan katanya, kalau punya gelar S2 jabatan manajer sudah pasti ada di depan mata. Walaupun, pendapat saya ini masih berkisar di ‘katanya’. Organisasi idaman saya United Nation masih menggaris bawahi kriteria second degree university sebagai salah satu pertimbangan rekruitmen. Bahkan hanya untuk program internship, yang notabene tidak digaji. Artinya, pendidikan tinggi masih dianggap jaminan untuk memperoleh pekerjaan baik (yang sama artinya dengan gaji yang melambung). Tapi ada juga perusahaan yang tidak memperhatikan tambahan kata Master di belakang nama kita dan menetapkan bahwa kita sama saja dengan fresh graduate yang tidak punya pengalaman apa-apa (dalam kasus kalau kita langsung melanjutkan pendidikan setelah lulus). Yang berujung pada, buat apa dong lanjut kuliah kalau hasilnya sama saja.

Sama halnya juga seperti offering kerja, kalau ada hal yang belum sreg dengan keinginan kita, misalnya ingin kuliah di negara tertentu tapi biayanya kurang memadai, ataupun dapat beasiswa di jurusan yang belum tepat, sebaiknya jangan cepat-cepat memutuskan. Yang namanya salah jurusan, cukup menjadi kosa kata jenjang Sarjana saja. Kalau bilang “Tapi kan sayang, sudah dapat di luar nih!”, saya cukup percaya kesempatan pasti akan datang jika kita mau mengusahakannya. Lebih sayang lagi bukan jika nantinya hal itu malah jadi penghambat kita untuk meneruskan pendidikan.

Saya tidak semata-mata nyinyir. Saya masih punya keinginan untuk punya gelar Master. Saya selalu bangga dan kagum dengan teman-teman yang mampu meraih beasiswa ke luar negeri, terlebih lagi yang MAU melanjutkan sekolah dan berkutat lagi dengan buku diktat dan ujian. Tapi menurut saya, S2 bukan ajang keren-kerenan. Bukan ajang bangga-banggaan. Tapi keinginan keras untuk mau menambah pengetahuan dengan tujuan jelas, yaitu memanfaatkan ilmu yang didapat sebaik-baiknya. Menurut saya, sayang jika jauh-jauh S2 di bidang perminyakan misalnya, tapi kita berakhir menjadi bankir. Ataupun sayang jika mahal-mahal kuliah lagi di bidang entrepreneurship tapi ketika pulang langsung dipinang dan menjadi ibu rumah tangga tanpa punya usaha apa-apa. Ilmu-ilmu yang lebih berharga dari uang sebesar apapun juga itu malah menguap tanpa dimanfaatkan dengan benar.

Kalaupun sayang, tapi tenang saja, kita masih dapat pengalamannya kok (plus ratusan foto facebook berlatar alam luar negeri) :P

Intinya, setelah melewati fase iri-liat-yang-lain-sekolah-lagi-dan-bisa-jalan-jalan-ke-luar-negeri, saya justru menyarankan melanjutkan kuliah S2 yang amat sangat kepada:

  1. Semua yang punya dana lebih, baik itu dari orang tua maupun hasil mendulang emas setelah beberapa tahun bekerja.
  2. Semua yang masih penasaran dengan suatu bidang kejuruan/ilmu dan ingin menerapkannya dengan baik di masyarakat.

Batas kabur antara penting/tidaknya S2 itu memang bergantung kepada masing-masing individu (ugh, klise). Apapun alasan kita menginginkan kuliah lagi, pastikan memang ini yang benar-benar kamu inginkan. Pikirkan juga, “Setelah ini apa?”. Ingatlah kata-kata Uncle Ben, “With great power, come great responsibility”. Ilmu itu kekuatan yang sangat besar, lho.

Jangan lupa juga masih ada juga yang namanya sekolah kehidupan. Sekolah dimana hal-hal yang ada di buku tidak sepenuhnya terpakai. Sekolah dimana ada hal-hal kotor yang ingin kita jauhkan dalam kehidupan berkeliaran di setiap langkah. Saya doakan yang terbaik untuk semua orang hebat yang tidak pernah berhenti belajar. Berjanjilah untuk bisa membangun hal-hal besar di kemudian hari :)

Selamat berpuasa bagi yang menjalankan.

PS: Akhir bulan ini, kakak saya akan melanjutkan kuliah di jurusan yang super keren di seberang sana—International Construction Management FTW.

Memanggil Para Engineer

Setelah hampir setahun berupaya menjadi yang namanya Engineer, saya masih selalu merasa kekurangan semangat moral. Saya tahu bahwa semua pekerjaan halal yang dijalankan dengan ikhlas pasti ada rantai manfaatnya untuk rakyat banyak, termasuk kerja di perusahaan minyak dan gas luar negeri misalnya. Walaupun sering dicibir karena katanya nggak nasionalis, tidak dianya bahwa bidang migas berkontribusi besar bagi bangsa Indonesia. Soal KKKS yang katanya nggak adil ataupun mafia-mafia minyak yang katanya merajalela, kita kesampingkan sedikit dulu, ya (btw, artikel menarik!).

Akhirnya beberapa waktu yang lalu, saya menemukan sebuah hal yang menarik, yang sepertinya lumayan bisa diterapkan di Indonesia. Jadi, ternyata di suatu penjuru dunia ini ada sebuah organisasi non profit bernama Engineers without Borders (EWB), bukan Electronic Workbench tapi ya :)) Modelnya mungkin kayak Doctors without Borders yang bekerja secara independen untuk menghadapi masalah-masalah kesehatan di berbagai belahan dunia. Sama halnya dengan EWB, mereka berusaha menghubungkan para engineer dengan berbagai keahlian untuk menanggulangi masalah-masalah untuk meningkatkan harkat hidup bagi yang kurang beruntung dengan solusi-solusi teknik.

Seperti dikutip dari website-nya Misi dari si EWB ini adalah:

Engineers Without Borders – International facilitates links and collaboration among its member groups toward improving the quality of life of disadvantaged communities worldwide through education and implementation of sustainable engineering projects, while promoting new dimensions of experience for engineers, engineering students, and similarly motivated non-engineers. 

Di beberapa negara sudah terbentuk cabang-cabang dari EWB ini seperti EWB USA, Canada, Australia, dll yang bekerja independen maupun berrnaung di bawah EWB International.

Bagaimana dengan Indonesia? Pas dicari ternyata EWB Indonesia sudah punya Facebook page-nya yang isinya… KOSONG. Tapi ada 13 jempol yang sudah nge-like :))

Buat yang males baca bagian About page dari link di atas (saya lampirkan di bawah), intinya EWB Indonesia belum terbentuk walaupun sudah ada beberapa proyek yang dikerjakan EWB di Indonesia. Proyek-proyek di Indonesia sebelumnya di-handle oleh EWB Australia, proyek terakhir yang tercatat di Indonesia adalah proyek pengadaan air bersih yang dilakukan di Tenganan, Bali di tahun 2008. Tapi saya cari-cari belum ada berita terbaru lagi seputar proyek ini, apakah sudah selesai atau malah terbengkalai. Karena beberapa teman ada yang menginfokan bahwa proyek ini katanya nggak jadi-jadi. Pages facebook di atas belum tahu siapa yang bikin dan tujuan awalnya dibuat untuk menjadi forum diskusi antara para engineer untuk memberi solusi-solusi keteknikan pada bangsa. Walaupun pages tersebut belum berhasil menjalankan niatannya.

Hal ini mungkin sepaham dengan salah satu artikel yang saya baca akhir-akhir ini, yang menyatakan bahwa Indonesia masih banyak kekurangan sarjana teknik. Mirisnya, ketika artikel ini mulai di-share banyak orang, komentarnya selalu sama: “Masih kurang ya jumlah Sarjana Teknik, padahal kan masih banyak yang nganggur.

Pendapat saya sih, kalau semua orang hanya mau kerja di bidang minyak, gas, atau tambang, ya jelas lapangannya sedikit. Akhirnya kebanyakan lulusan teknik ini bekerja di bidang-bidang lain yang sedikit menyimpang dari background keilmuannya. Entah kerja di bank, advertising, marketing, dan lain-lain. Tapi kembali lagi, tidak ada yang salah dengan pekerjaan apapun yang dipilih selama hal itu dapat bermanfaat bagi kita dan orang lain. Jalan hidup orang toh siapa yang bisa ngatur selain Tuhan. Walaupun kadang saya masih merasa sayang sama ilmu yang minimal empat tahun ditimba dan akhirnya hanya berbuah selembar ijazah (padahal saya juga sempet kepikir untuk nggak berjalan di jalur ini sih :P).

Saya nggak semata-mata ingin menjalankan/membuat EWB cabang Indonesia tapi mengajak untuk melakukan gerakan dan ide semacam ini untuk berkontribusi (ciyeee) terhadap masyarakat. Toh EWB itu cuma soal nama. Saya sempat menyebarkan tentang hal ini di milis kantor dan angkatan, beberapa diskusi menghasilkan ide-ide yang menarik untuk diterapkan.

Salah satu ide kasar yang terbentuk adalah pengadaan jalur irigasi ataupun air bersih, maupun pembangunan sekolah-sekolah hemat energi di wilayah-wilayah terpencil. Jadi walaupun kita para engineer tidak sehebat para Pengajar Muda (seperti teman saya Vivin dan Syakur) yang pemberani, kita bisa turut mendukung pendidikan Indonesia lewat pengadaan fasilitas misalnya. Hasil dari proyek yang sudah dikerjakan nantinya bisa menjadi template dasar untuk pengerjaan proyek-proyek lainnya (hasil setahun di EPC ya ujung-ujungnya template, dong :P). Teknologi-teknologi yang digunakan nggak perlu susah-susah dipikir. Laboratorium-laboratorium sempit yang ada kampus kita itu gudangnya teknologi, yang menurut saya, banyak yang belum mendapatkan tempat untuk perwujudan nyatanya. Yang namanya engineer seyogyanya adalah yang mampu menerapkan teknologi menjadi siap pakai dan tepat guna, kan?

Sekarang ini, saya dan beberapa teman sedang mencoba menghubungi beberapa nomor kontak EWB Australia dan  dan para engineer inspiratif lainnya untuk sekedar sharing soal pengalamannya memulai membangun organisasi-organisasi tersebut. Nah, kalau ada teman-teman yang tertarik untuk diskusi, memberi pendapat dan ide maupun membantu kita membuka jalan untuk masuk ke dunia tersebut (misalnya baiknya kita menghubungi siapa dan dimana nomor kontaknya), bisa menghubungi saya lewat e-mail: prisanti.putri@gmail.com. Saya masih anak baru di dunia engineering jadi kalau ada yang salah kata, tolong kasih tahu saya, ya. Akhir kata, apapun background pendidikan kalian, saya senang jika ada yang punya visi yang sama untuk membangun negeri ini :)

Read more

Thousand Reasons to Have That Fire

Life nowadays feels like going to a casino with no chance of winning double. Choices are scattered here and everywhere.  Yet, just few who is lucky enough to got a 21 worth of card.

First, I have a confession to make. I read a self-help book. I will let you laugh for a moment then I will continue to live :)) I don’t know why but I was just so curious what is it about Rene Suhardono, the famous career coach? Then I decided to take home his book. I’m not going to tell you the detail of the content here. You know, I judge people based on their writing. Because you can tell so much more by reading how they present themselves in words.  You can even guess in what mood they were writing (I’m not lying, sometimes it shows). So, reading Rene’s words is like seeing the example of people who is happy about things they’re doing. Rene is the living proof that you can find a job that followed your passion. Like I said, if you have passion big enough, like love, passion will find a way.

Couple of days ago, I had a conversation with some friends. A topic that you heard so often when you hit age like mine—life between job and passion. I’ve wrote some passage about life after college, about finding a job according to your passion. In other days, I wrote sentences that job and passion never crossed line anyway. I guess, I’m still trying to find the answer.

Along the way, time taught me to be wiser.

On that conversation with my friends, we happen to talk about one of my senior who got a really cool job as a Lighting Designer (amazing portfolio by the way). I have to admit, they are people who is fortunate and lucky enough to get a job on things they love (for that, I should really take a bow to each and every one of them). But, how about people who are not fortunate enough to have that kind of job?

Bravo, a friend of mine once told me about Nadia Mahatmi’s way of thinking. I’ve met Nadia in LFM, she is a Visual Communication Design student, graduated cumlaude on top of her class. According to Bravo, Nadia doesn’t really like design that much despite the fact that she has a talent for it. After graduated, she decided to become a teacher, which is her dream ever since. Bravo retold her sentence that surely became one of the most amazing things I’ve ever heard: if you have to do something that you don’t like, it doesn’t mean you have to be doing it badly.

Dang, what have I done? I got the point where you have to be responsible for your choices. That is why, no matter how bad my decision was, I always try to make the best of it. Hearing that thing, make me ashamed of myself. Admit it, you do have a moment to make excuses that the reason why you’re doing something so lousy is because you don’t enjoy doing it.

Finally, I found my answer.

The key is to hold on to your passion, wherever you are, whatever you’re doing right now. I just want all of you to remember: just don’t ever dim the fire. Don’t let anything take the passion out of you. The word passion might be a tricky part. For instance, you can misunderstand it as hobby. As for me, it is a fire that keeps you alive. Quoting from my favorite reality show, fire represents your life. Once it is snuffed, you are dead.

PS: On some other conversation I had, I’ve been asked by my friend about do I really wanted to be an engineer. I answered lightly, that if I have to choose where I want to work at, it would always be United Nation :)). My friend gave me this answer: “Hey, we wouldn’t get any younger.”. Then so what, I might not be younger, but I can always be young.

PSS: Yes, I do still wanted to become an engineer :D

The Essential Question

Couple of weeks ago, I went to Bandung to attend April Graduation. Where two of the gentlemen, Angga and Praba, shared one of their best moments. Unfortunately, I came late (stupid decision really, traffic was hard, rain came hard) so I didn’t take picture with the two of them. But I met with some of my friend who graduated, gave some chocolate and card.

Then later that night, I went back to Jakarta with Ijul and Lukman. On our way home, so many conversations went up. Some were pretty emotional. Some were honest with a lot of sigh. Some were daily jokes. Alongside the road with Coldplay song, we went miles above the cloud.

This was the one that really struck me.

Each and all of us have dreams, or simply some things that you really want to achieve. It could be high between the stars, or something humble beneath the ground. I have mine, you might be. People sometimes wanted something. He/she fights so hard to get it, but life sometimes harder, and sometimes things went unplanned. What would you do if you realize that there is no chance to get that something?

The essence of a dream is to know what the purpose of it. By understand the purpose, wherever ground you’re standing on, theoretically you will always get that something. Maybe in a different reality. All roads lead to Rome. The solution of climate problem is not only by becoming a ministry of environment or starting a green campaign. The real heroes are the common people reducing their carbon footprint in their households, the people who switch off the lamp in daylight. 

Have you really got yours? Let’s do this homework first, then someday share me the story :)