On Fuel Price Hike

Do you ever think why Jakarta got jammed every day? Got counts on the number of personal vehicle dancing towards town? Or do you already lost count, like mine? For people already experiencing Jakarta for years, it is a need to own a personal vehicle because the public transportation that supposed to help us doesn’t give any hope. The high number of criminalities and the heat got the most of it, I do realize that having a personal vehicle to facilitate your activities would make the travel more convenience. You don’t have to deal with the insanity of angkot driver who will do, basically, anything to achieve his wants. Stop his vehicle everywhere he wants, or driving like there is no tomorrow. You don’t have to deal with the impossible queue at TransJakarta or what sorcery that made people who stand behind us already got the bus ahead.

The vast growing technology supposed to help us to have a better life, but along the way, got mixed up with consumerism. The price of having a personal vehicle increased each and every day, yet the demand got higher. The city planner/developer/government (or whoever I don’t know) see the chances even clearer. They support this act by building more highways. Hiding behind the reason ‘the solution to traffic is to build more roads’, they gave more tangled problems by encouraging people to buy more vehicle. The result? Look around for yourself.

By April 1, 2012 Indonesian government planned to raise the price of petrol fuel prices. Thus they said that subsidiary of fuel prices will be diverted to build more infrastructure and fund the education/health projects. Or so they said. The demonstration to prevent the act risen up. In fact, the debate and pro-cons have been happen all month. One of the infamous debates took place on Metro TV. Some might say, it just political matters. Some say, it is time to bring down the president that he doesn’t take side with the citizen anymore.

In my opinion, I support the raise of petrol fuel prices. The mean fact is, if you can’t afford it, just don’t buy it. Many personal vehicle use subsidized fuel to accommodate their fuel needs, while subsidized fuel basically aimed for low income communities. But it is a core problem also to provide fuel with different prices (subsidized and non-subsidized) in same place without running any authority. Indonesia is the country where chances are being dug and slipped. It is just a common instinct to buy cheaper stuff where no one telling us the rule. Admit it, Indonesia is not ready to be a country to run by such morale and awareness. (For more interesting information, you can read the timeline of @MuhammadAssad and @gm_gm with hashtag #BBM)

Read more

lifeaftercollege #4

ketika kata-kata finansial terucap-ucap tanpa tahu apa artinya (dan sebenarnya, tidak ingin pernah tahu)

Buat saya yang tidak pernah menabung sampai lulus kuliah, dan terbiasa menghabiskan uang bulanan yang tersisa untuk beli komik, kehidupan seperti sekarang terbilang menyeramkan. Karena dengan pendapatan yang dihasilkan sendiri, otomatis pengaturan keuanganpun harus dilakukan sendiri. Saya sadar saya impulsif, alhamdulillah-nya impulsif saya bukan karena barang, tapi impulsif jajan (apa lebih parah? :P). Jadi pengeluaran impulsif saya termasuk kecil-kecil tapi kalau dihitung menggunung.

Ada juga beberapa teman-teman saya yang mengeluh bahwa mereka kesulitan menabung padahal pengeluarannya hanya seputar makanan, ongkos, dan sedikit beli-beli saja. Sebenarnya sedikit beli-beli ini yang masalah, apakah benar sesedikit itukah beli-beli kamu? Trik kecil yang saya pelajari dari Angga semasa kuliah (yang sangat berguna sekarang) adalah mencatat SEMUA pengeluaran SETIAP HARI. Yang dimaksud semua adalah sekecil2nya pengeluaran tersebut, dari mulai makan, belanja, bayar parkir, beli permen, dll. Untuk bulan-bulan awal, coba klasifikasikan pengeluaran menjadi beberapa kelas besar, transport, makan, atau bahkan untuk main (khusus saya sih namanya Anggaran Main). Jadi kamu bisa tahu kemana sebenarnya sebagian besar uang kamu pergi.

Setelah tahu berapa kira-kira pengeluaran ‘pokok’ yang kamu keluarkan setiap bulan. Coba dilihat sebelah mananya pengeluaran kamu yang bisa dihemat. Dari situ kamu bisa menentukan seberapa besar yang bisa kamu tabung setiap bulan.  Besarnya persen yang ingin kamu tabung itu tergantung dengan target dan kemampuan yang dapat kamu capai. Tips dari saya sih, berusalah untuk REALISTIS. Jangan terlalu pelit untuk membelanjakan pendapatan kamu, karena siapa sih yang tidak ingin membeli flats shoes idaman ataupun DVD compilation Star Wars yang sejak dulu dimimpi-mimpikan :P Tapi jangan juga menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak terlalu penting atau tidak terlalu kamu butuhkan (saya menyebut barang-barang ini dengan nama “barang lucu tidak berguna”).

Menurut buku yang saya baca sih, untuk usia fresh graduate, menabung 10 % dari pendapatan kamu sudah sangat baik loh (bayangkan jika pendapatan kamu 1.000.000/bulan, kamu cukup menabung 100.000). Terlihat kecil bukan, nah harusnya kita bisa menabung lebih besar dari itu. Untuk hitungan saya yang bekerja di Jakarta dan punya rumah di Jakarta (yang berarti tidak perlu mengeluarkan uang kost atau uang makan) harusnya saya bisa menabung hampir setengah dari pendapatan saya. Tapi kalau menurut saya, ini saatnya untuk menyisihkan sebagian uang untuk membantu orang tua. Cobalah mulai menyisihkan sebagian kecil untuk membantu membayarkan yang kecil-kecil, biasanya sih orang tua yang masih dalam usia kerja bakal menolak dan menyuruh kamu untuk menabungkan saja uangnya. Tapi trik saya sih bilang saja untuk minta ‘disimpankan’ sama mereka :D

Kalau kamu kesulitan untuk menabung karena tergoda untuk menyicil barang-barang yang terlihat “kapan lagi kalau bukan sekarang?” ataupun karena sifat impulsif yang tidak dapat dikendalikan :P, cobalah untuk membuat rekening lain khusus untuk tabungan. Di beberapa bank tersedia tabungan rencana ataupun tabungan dana pensiun yang ‘secara paksa’ mendebet beberapa persen (yang besarnya kamu tentukan sendiri)  dari rekening kamu ke rekening tabungan kamu yang lain.

Setelah punya simpanan yang cukup ‘aman’ (biasanya saya menetapkan batas, berapa banyak yang harus tersisa di tabungan), kamu mungkin bisa mencoba untuk berinvestasi. Banyak bentuk investasi yang sedang naik daun sekarang, di antaranya reksadana dan investasi emas. Yang manapun yang kamu pilih, sebaiknya diikuti dengan pengetahuan yang baik pula. Jenis investasi yang paling aman untuk para investor pemula, mungkin bisa dimulai dari investasi emas (saya biasa mengecek LogamMulia untuk harga emas, dan Goldgram untuk pengetahuan mengenai emas).

Salah satu buku yang benar-benar mencerahkan hidup saya adalah buku ini. Untuk Indonesia yang Kuat menjabarkan banyak hal yang sebelumnya tidak pernah saya pikirkan (ya iyalah, saya ngertinya ya habis kerja, cari duit, nabung sampe menggunung, yang ternyata tidak cukup sampai di situ). Buku ini berhasil bikin takut dan jleb jleb jleb sampe ke dasar dasar :)) Ligwina Hananto, sang penulis buku ini, juga bisa ditemui di Planning a Better You (salah satu kolom di Kompas.com yang membahas tips tips keuangan yang mudah dimengerti, saya rekomendasi sekali kolomnya) dan website QM Financial (konsultan financial milik Ligwina yang  website-nya menyediakan kalkulator yang bikin jleb jleb jleb untuk menghitung dana pensiun, dana pendidikan untuk anak, dll).

Intinya sih ada beberapa yang masih menganut paham “belum waktunya untuk menabung” atau “masih banyak waktu di hari esok”, semuanya tidak ada salahnya. Semua hal memang perlu niat untuk memulai, dan saya sih tidak mau suatu saat terbangun dan merasa menyesal karena harusnya bisa mulai lebih awal. Pada akhirnya, semua orang selalu mengharapkan financial freedom kan?

PS: Jangan lupa juga untuk menyisihkan uang kamu untuk berzakat. Karena sebagian dari yang kamu punya sekarang adalah titipan milik orang lain yang membutuhkan. Investasi inilah yang insyaallah akan berlipat ganda, beranak pinak, dan tidak akan pernah habis bunganya :)

Dari Kampus Gajah, Untuk Indonesia

//December 02, 2010//

I’ve made this post some while ago in the beginning of my 4th year as a college student. I think, I just rambling at a lot of things. Some materials was already published before in this blog, I think.

Kota Bandung. Kampus Gajah. Kebanyakan orang mengaitkan Bandung dengan kampus ini, kampus gajah, Ganesha, Institut Teknologi Bandung. Para orang tua berlomba menyuruh anaknya ikut bimbingan belajar agar bisa menginjakkan kakinya di kampus ini. Untuk merasakan duduk di salah satu bangkunya, di kampus yang katanya bertitel World Class University. Para orang tua itu akan membanggakan anak-anak mereka di jamuan makan, atau di kala senda gurau bersama teman sekantor. Kehadiran anak-anak itu di kampus gajah mungkin bukan keinginan mereka semata, keinginan orang tua, kerabat, atau tuntutan zaman. Tetapi nyatanya, mereka telah duduk di sana, di salah satu bangku kampus paling prestigus di Indonesia.

Sama seperti sebutan World Class University. Kelas dunia (mungkin) adalah impian semua orang. Tapi berapa orang yang berpikir untuk benar-benar mencapai kelas dunia? Pada kenyataannya, kebanyakan dari kita memilih diri kita sendiri dibanding orang lain. Lulus kuliah, kerja di perusahaan minyak, membangun keluarga sejahtera, membahagiakan orang tua, jika ada uang lebih—(mungkin) beramal kepada korban gempa. Hidup memang seakan ditujukan kepada diri sendiri, dan hanya dirinya sendirilah pusat di mana bumi berputar. Yang penting adalah diri kita, dan (mungkin) teman-teman kita. World Class University mungkin hanya ambisi para “petinggi” kampus yang bergelar Rektor dan perangkatnya, Wakil Rektor dan staf-stafnya, ataupun Wali amanat dan senat akademik.

Ambisi ini memaksa kita semua untuk berpacu dalam kesemuan sebuah titel, menggoda para orang tua pada kebanggaan yang tak berujung, dan membuat para mahasiswa berteriak lebih kencang, “Untuk kebebasan, untuk Indonesia yang lebih baik!”.

Sebuah bangsa dibangun oleh para pemudanya. Presiden Sukarno pernah berkata, “Beri aku sepuluh pemuda, akan aku guncang dunia”. Mungkin inilah yang menyebabkan para mahasiswa berteriak kepada semua tindakan pemerintah, mengomentari semua peraturan atasan atau rektorat, menyebut diri aktivis kampus, beberapa menulis di blog mereka tentang perubahan, dengan kata-kata sulit yang hanya dimengerti aktivis kampus lain. Tapi apakah mereka mengerti dengan semua isi teriakan itu? Akankah mereka melakukan hal yang sama dengan isi semua teriakan itu, atau justru akan melakukan hal yang serupa dengan para “petinggi” ketika mereka telah mendapatkan posisi yang sama? Orang bilang, jadilah ideal selama kamu bisa menjadi ideal. Tapi akankah ke-ideal-an itu menipis seiring bertambahnya usia dan meningkatnya gaji yang dibayar ke rekening bank kita?

Kita mengharapkan seseorang yang ada di atas untuk bisa menginspirasi. Ketika celaan-celaan dialamatkan kepada para “petinggi”, mungkin kita hanya melihat dalam satu dimensi. Kita tidak berdiri di belakang para “petinggi” itu, untuk melihat keseharian mereka. Mereka tidak tahu, seberapa besar kerja keras dan peluh yang dikeluarkan untuk orang-orang yang benar-benar berjuang untuk memajukan bangsa. Banyak orang berlomba untuk menjadi pemimpin, menjadi pemenang di sebuah pertarungan. Sebutan Rektor hanyalah sebuah posisi, kata rektor terpilih hanyalah embel-embel. Puluhan paper dimasukkan, menyerukan sinergisasi, membangun bangsa melalui riset dan teknopreneurship, lalu tentu saja (lagi-lagi)World Class University. Kata-kata diketik, berbagai pidato diserukan, interaksi publik dilakukan. Apa yang berubah? Para mahasiswa masih asyik dengan kesibukan mereka, masih stress karena UTS dan tugas. Tidak ada pencerdasan masyarakat yang terjadi.

Kita mungkin tidak secerdas dan tidak berkapasitas otak sebesar mereka yang berani menjadi calon Rektor. Kita mungkin tidak pernah bisa berpikir sejauh itu, karena ketika kita mendapat pertanyaan, “Apa yang akan kamu lakukan jika kamu jadi Rektor?”. Jawaban yang keluar hanya pikiran dangkal yang lagi ‘in’, “Saya akan adakan arak-arakan di setiap wisuda”, “Saya akan perbanyak hari libur”. Beberapa yang lumayan ber-IP tinggi akan menjawab, “Saya akan membuat banyak paten di bidang teknologi”, “Saya akan memperbanyak riset di bidang teknologi”. Bagi kita yang tidak punya visi misi sehebat itu, sederhanakan semua pikiran itu. Tidak ada “petinggi” tanpa “bawahan”, begitupun sebaliknya. Tidak ada ITB tanpa rektorat dan mahasiswa. Kedua elemen inilah yang akan memajukan bangsa. Tanpa keduanya, perubahan tak akan terwujud. Persetan dengan keidealismean mahasiswa, toh kita tak bisa ada tanpa rektorat. Jadi, ketika ada yang bertanya lagi, “Apa yang akan kamu lakukan jika kamu jadi Rektor?” Mungkin kita akan menjawab, “Saya akan berkaca, memperbaiki diri dan memperbaiki mahasiswa. Bersamanya, saya akan membangun bangsa.

Pernahkan kita membayangkan, ketika umur kita mencapai setengah abad (umur mayoritas para calon rektor), apa yang akan kita serukan saat itu? Saya mungkin bisa berharap, isi teriakan kita boleh berubah, tapi ada satu hal yang harus kita bakar di dalam hati. Sebuah nama. Indonesia.

Dalam salah satu debat Capres 2009-2014, dibahas tentang jumlah pengangguran terdidik Indonesia yang mencapai 50.3 % sedangkan jumlah wirausahawan hanya ada di tingkat 2 %. Hal inilah yang harusnya membuat kita bertanya kepada diri sendiri.

Apa yang bisa kita lakukan?

Klise. Semua orang pasti (atau harusnya) pernah memikirkan kalimat ini. Kita tidak harus jadi ekstrimis nasionalis yang biasa berteriak-teriak membela rakyat dan membawa bendera merah putih di segala kesempatan untuk bisa disebut bangsa Indonesia. Kita mungkin hanya warga biasa yang suka menonton bulutangkis dan ikut berteriak “Go Taufik. Go Indonesia!”. Yang mengutuk kebiasaan pemukulan wasit dan kemacetan sehabis pertandingan Persib. Ataupun meludah kepada warga Malaysia, tanpa tahu alasannya. Tapi, semua itu tidak pernah menjadi sangkalan bahwa kita semua adalah bangsa Indonesia.

Apa yang bisa saya lakukan untuk Indonesia?

‘Potensial’ adalah semangat yang harus dijunjung dan ‘kaya’ adalah kata untuk bangsa kita. Cukup butuh kesadaran, untuk tahu bahwa kita harusnya punya BANYAK untuk maju. Cukup butuh kesadaran, untuk yakin bahwa kita harusnya BISA untuk membuat segalanya lebih baik. Jangan menutup diri untuk sekedar mengutuki keadaan tanpa berbuat apa-apa. Rumput tetangga memang selalu lebih hijau. Tetapi, apakah yang lebih hijau adalah yang lebih baik?

Apa itu Indonesia? Hanya sekedar tempat berpijak? Ataukah tanah ini merupakan alasan dan inspirasi untuk terus berjuang? Jika kita berteriak, “Go Taufik. Go Indonesia.”, apa yang ada di benak kita? Untuk apa kita berteriak sekuatnya untuk membela Taufik Hidayat? Ia hanyalah salah seorang manusia yang kebetulan tinggal di Indonesia, dan kebetulan punya bakat bulutangkis, dia bukan saudara atau famili. Apa untungnya kita berbondong-bondong datang ke Istora Senayan hanya untuk berteriak sampai tenggorokan kering dan suara perlahan hilang. Mungkinkah semua suara dan semangat kita ditujukan untuk tanah ini? Untuk rasa bangga yang tak pernah hilang. Untuk bendera merah putih yang tidak pernah kita bawa, tapi kita kibarkan di hati. Kemenangan Taufik berarti kemenangan Indonesia. Ya, cukup butuh kesadaran untuk merasa yakin bahwa kalau satu dari kita bisa berbuat banyak, kenapa kita tidak?

Semua di antara kita ada seseorang, dan kita patut bangga berpijak di tanah ini. Inspirasi. Yang kita butuhkan adalah inspirasi untuk menyadarkan kita semua. Nasionalisme adalah bahan pokok untuk memajukan bangsa kita. Mari, wahai para mahasiswa, para orang-orang yang menganggap diri ideal, sadarilah! Dunia tidak akan berubah dengan teriakan sok tahu, atau data-data kesalahan. Buatlah solusi, tanpa tuntutan omong kosong dan kontrak politik. Kita akan memulai dari tangan kecil ini. Kita akan meraih gemerlap kemenangan, bukan atas nama kita—yang mungkin hanya akan berakhir di batu nisan yang kemudian memudar. Tapi untuk tanah tercinta, satu-satunya tempat untuk menumpahkan darah dan keringat. Satu nama. Indonesia.

 

Tugas Akustik – Akustik pada Bioskop

Bioskop Kampus, Riwayatmu Kini…

Prisanti Putri / 13306013

(ditulis untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Akustik semester II / 2008-2009, Dosen : IGN Komang Merthayasa)

 

[http://www.acousticsbydesign.com/venues/cinema-acoustics.htm]Film adalah gambaran kehidupan. Siapa yang tidak setuju bahwa menonton film seperti melihat secuil kehidupan dengan bumbu imajinasi. Bioskop telah mempertemukan film dan penonton, antara hasil rekaman kenyataan masyarakat dengan masyarakat yang direkamnya, dalam sebuah ruang. Itulah mengapa menonton film di bioskop merupakan sebuah pengalaman magis. Sensasi yang berbeda dihadirkan ketika ketika lampu bioskop dimatikan. Rangkaian gambar disajikan satu persatu, kitapun diajak memasuki sebuah dunia baru, meninggalkan semua rutinitas yang terjadi di luar ruang bioskop itu, dan melangkah ke sebuah ruang tanpa batas. Setidaknya, Itulah perasaan saya setiap kali menonton film di bioskop.

ITB beruntung mempunyai sebuah tempat untuk memutarkan film. Itulah mengapa Ruang 9009 yang ada di depan Aula Timur kemudian dinamakan Bioskop Kampus. Di tahun 1960-an, Bioskop Kampus menjadi tujuan utama masyarakat Bandung yang menginginkan hiburan berupa film. Karena saat itu, Bioskop Kampus memutarkan film yang sama dengan yang sedang diputar di bioskop-bioskop besar Bandung namun dengan harga sangat murah atau bahkan gratis. Kala itu, romantisme menonton film di Bioskop Kampus mungkin tidak akan dapat ditemukan di tempat lain. Bunyi gebrakan meja oleh penonton akan terdengar riuh ketika rol film berikutnya telat diputar. Suasanapun semakin ricuh ketika layar bioskop penuh dengan tulisan “Maaf, tunggu film”.

Tetapi, seiring berkembangnya zaman, bioskop-bioskop besarpun mulai dijadikan pilihan utama. Harga tiketnya semakin terjangkau dan penonton memilih untuk memperoleh kenyamanan menonton yang lebih baik. Tengok saja jaringan Bioskop 21 yang kemudian merambah pasar dengan Cineplex XXI dan The Premiere-nya. Ataupun kemunculan jaringan bioskop baru Blitz Megaplex yang hanya dalam kurun waktu 3 tahun berhasil menyaingi pasar pemutaran film di Indonesia. Kenyamanan yang dihadirkan oleh kedua jaringan raksasa ini tidak saja dari sisi komersil, tetapi juga dari segi kenikmatan menonton film itu seutuhnya.

Bioskop Kampus 9009

Ruangan 9009 berfungsi ganda. Biasanya ruangan ini digunakan sebagai ruang kelas dengan papan tulis besar yang ada di depan. Jika ingin digunakan sebagai bioskop, maka tinggal menggeser papan tulisnya dan di belakangnya telah terbentang layar putih besar. Yang paling mengkhawatirkan dan alasan utama mengapa bioskop ini mulai ditinggalkan orang adalah dari segi akustik dan kenyamanan menontonnya. Bandingkan dengan studio bioskop besar yang punya kursi merah empuk, Bioskop Kampus hanya punya kursi kayu panjang yang berderit ketika kita ingin pindah tempat. Dari segi tata suaranyapun, hanya ada speaker besar yang ditempatkan di depan, dengan kualitas yang sangat terpuruk. Tirai yang dipasang sekedarnya digunakan untuk menutupi cahaya yang masuk dari luar, tetapi malah sering sekali adanya bocor cahaya.

Tetapi, sisi historis ruangan ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan. Usaha pemugaran Bioskop Kampus baru saja diinisiasi. Dan mungkin, saya bisa berangan-angan, seperti apa hebatnya ruangan ini jika pemugaran itu selesai dilakukan. Sebelum semuanya terjadi, mari menilik dapur suara bioskop dan dari mana suara-suara menggelegar di studio bioskop bisa terjadi.

Tata suara dan akustik pada Bioskop
“Nothing is more beautiful than silence except the sounds of nature and music”

Film adalah media audio-visual, maka suara atau audio haruslah mendapat porsi 50% dari film tersebut. Sejak ditetapkannya standar sound untuk film pada tahun 1930 oleh The Academy of Motion Picture Arts and Sciences, film seperti mendapat nafas baru. Para pembuat filmpun mulai memikirkan bagaimana instalasi suara pada bioskop. Mereka tidak hanya berkutat pada bagimana merekam suara pada filmnya, tetapi juga bagaimana suara pada film itu akan terdengar oleh penonton di dalam bioskop.

5.1 Channel Surround [http://en.wikipedia.org/wiki/Dolby_Digital_5.1_Surround_Sound]Setelah itu, berturut-turut teknologi suara untuk bioskop semakin berkembang. Dari 4 channel, bertambah menjadi 6 channel. Tidak berhenti di 6 channel, tahun 1970, lahirlah teknologi suara Dolby’s A Type yang pertama kali dipraktekkan pada film ‘Clockwork Orange’.

 

[http://www.lenardaudio.com/education/]Teknologi Dolby yang digunakan sekarang ini adalah teknologi Dolby Digital di mana suara surround sudah bisa dinikmati dengan total di sekeliling bioskop. Dolby Digital 5.1 Channel Surround adalah yang paling umum digunakan. Terdapat 5 speaker dan 1 subwoofer yang dipasang. .1 channel menandakan subwoofer yang digunakan untuk menghasilkan low-frequency Effect (LFE).

Pemasangangannya kurang lebih seperti di bawah ini, 2 channel dipasang di kiri kanan depan, 1 channel di tengah depan, 2 channel surround di kanan dan kiri, juga 1 channel LFE. Standardnya, speaker kanan dan kiri depan bersudut 30° dari speaker depan, dan speaker surround yang ada di kanan kiri membentuk sudut 120°.

Prinsip dasar peletakan speaker yang digunakan untuk menghasilkan aliran suara yang konsisten di semua tempat dalam bioskop kurang lebih seperti di bawah ini. Speaker yang ada di belakang layar diletakkan mengarah ke bagian ruangan yang terletak 2/3 kedalaman ruangan. Sedangkan tinggi speaker berada di 1/3 dari tinggi ruangan. Speaker surround terdekat dari layar, minimal berjarak 1/3 dari kedalaman ruangan.

 

[http://www.lenardaudio.com/education/]tampak atas [http://www.lenardaudio.com/education/]tampak samping

Gedung konser pada umumnya tidak memiliki surround sound, karena suara dari arah yang berbeda dengan panggung akan menimbulkan gangguan dalam menikmati bunyi. Oleh karena itu, penonton konser lebih suka tempat duduk yang dekat dengan panggung. Berbeda dengan gedung bioskop, surround sound justru merupakan elemen penting untuk membuat susasana spasial dalam ruangan yang tentunya tidak bertabrakan dengan suara dari speaker yang ada di depan. Dikatakan bahwa total energi yang berasal dari surround speaker haruslah mengimbangi speaker yang ada di depan. Posisi speaker harus diarahkan ke arah yang berlawanan dari tempat speaker berasal sehingga speaker dapat menghasilkan minimum perbedaan kekuatan antara dinding dan kursi penonton sebesar -3 dB.

[http://www.lenardaudio.com/education/]

Suara yang dihasilkan dari surround speaker tidak boleh terdengar sama dengan suara yang berasal dari speaker depan. Maka dari itu, waktu delay dari speaker surround terhadap speaker yang ada di depan biasanya adalah 1 ms untuk jarak 340 mm. Berarti, suatu ruangan bioskop dengan panjang 34 m akan mempunyai waktu delay sebesar 100 ms atau 1/10 s.

Selain teknologi suara, baik tidaknya akustik ruangan bioskop sangat mempengaruhi terdengarnya suara dari film.
George Augspurger seorang ahli akustik mengatakan bahwa dalam akustik ada 3R yang harus diperhatikan
1.Room resonance (resonansi ruang)
2.Early reflections (refleksi)
3.Reverberation time (waktu dengung)

Absorpsi merupakan hal terpenting dalam objektif perancangan sebuah bioskop. Berbeda dengan gedung konser di mana suara harus dipantulkan sebanyak mungkin, maka pada gedung bioskop suara justru harus diserap sebanyak mungkin. Pada gedung bioskop, pantulan suara harus diminimalisasi. Penyerapan suara biasanya disiasati dengan pemasangan kain tirai pada dinding samping kiri dan kanan, serta dinding pada bagian belakang. Selain itu bahan jok dan sandaran kursi harus dipilih yang tidak menyerap suara, tetapi tetap membuat penonton nyaman. Prinsipnya, dalam keadaan kosong atau diduduki, diusahakan agar tingkat penyerapan suara sama. Waktu dengung adalah rentang waktu antara saat bunyi terdengar hingga melenyap. Gedung bioskop dianggap baik ketika memiliki waktu dengung sekitar 1,1 detik.

[http://www.lenardaudio.com/education/]Kebanyakan pemasangan tirai pada dinding berhasil mengabsorpsi suara dengan frekuensi tinggi, tetapi kurang memperhatikan frekuensi rendah. Oleh Karena itu, diberlakukan prinsip 1/4 λ. Bahan penyerap suara yang digunakan harus diletakkan sejauh 1/4 λ dari frekuensi terendah yang diserap. Pada contoh di bawah ini, jika frekuensi terendahnya adalah 42 Hz, maka bahan penyerap suara sebaiknya diletakkan pada jarak 2 meter dari dinding. Untuk materialnya, dapat digunakan rock wool (fibreglass) yang dikatakan merupakan material dengan kemampuan absorpsi yang cukup tinggi. Material ini dikatakan dapat membuat sebuah ruangan hampir mendekati ruangan anechoic, dengan harga yang cukup murah.

[http://www.lenardaudio.com/education/]Hal yang harus diperhatikan lainnya adalah penghitungan Critical Distance atau Jarak kritis. Jarak kritis merupakan batas jarak di mana suara langsung yang berasal dari speaker dan suara pantul memiliki energi yang sama. Jarak kritis ini berbeda-beda di segala frekuensi. Semakin tinggi tingkat absorpsi suara di ruangan tersebut, maka semakin jauh pulalah jarak kritisnya. Desain ruangan akustik yang baik diusahakan memiliki Critical Distance sejauh mungkin dari sumber suara.

[http://www.lenardaudio.com/education/]Selain itu, ada standard kenyamanan sistem audio yang disebut THX. Speakernya sistem satelit, artinya speakernya tersebar di seluruh ruang bioskop itu. Untuk mendapatkan efek suara optimal sistem akustiknya juga harus mendukung. Jadi aliran suara bagi penonton yang duduk di depan maupun di belakang bisa merata. Selain itu Di Indonesia sendiri, bioskop yang sudah mendapat akreditasi THX adalah Blitz Megaplex dan The Premiere. THX pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Holman dari LucasFIlm. Eksperimen ini dibuat dikarenakan George Lucas yang menginginkan Star Wars (1983) ditayangkan di bioskop-bioskop dengan standar kenyaman menonton yang cukup baik. THX menyatakan standar kualitas bangku penonton, jumlah air-conditioning, sistem teknologi (surround) dan tata letak (akustik) speaker. Sekarang ini, Holman yang juga merupakan pengajar di University of Southern California sedang mengembangkan teknologi 10.2 channel surround sound. Sistem 10.2 ini menggunakan 12 speaker di 10 lokasi pemasangan dan 2 subwoofers untuk menciptakan kualitas suara yang dikatakan ada di luar batas imajinasi kita.

[http://www.lenardaudio.com/education/]Bioskop Kampus tidak akan mencapai standar THX tentu saja, hal ini disebabkan oleh fungsi gandanya sebagai ruang kelas itu. Harapan saya, justru dengan pemugaran yang nanti akan dilakukan, fungsi gandanya tidak berubah. Dengan melihat contoh Gedung Konser Usmar Ismail rancangan Prof. Soegijanto, justru dualisme fungsinyalah yang menjadi keunggulan gedung tersebut. Sama halnya dengan ruangan ini, fungsi ganda inilah yang membuat ruangan ini menjadi unik. Untuk efek absorpsi yang lebih diperlukan oleh bioskop ketimbang ruang kelas, mungkin tirai di kiri kanan ruangan dapat dimanfaatkan. Tirainya dipanjangkan sampai ke bawah dan dipasang sesuai kebutuhan. Jika akan digunakan untuk ruang kelas, tirainya dibuka. Dan jika ingin dipakai untuk ruang pemutaran, maka tirainya dipasang. Bangkunya mungkin digunakan bangku kelas yang mejanya bisa dilipat, mirip dengan bangku di ruang auditorium Sabuga. Sehingga penonton masih mendapat kenyamanan ketika menonton dan ruangan masih dapat digunakan sebagai ruang kelas. Sistem pencahayaan buatannya ada dua, di mana tingkat keterangan lampunya dapat dibuat sesuai kebutuhan. Di mana ruang kelas yang membutuhkan tingkat pencahayaan lebih terang, diimbangi dengan beberapa lampu downlight yang lebih redup untuk kepentingan pemutaran dan diskusi film. Tata akustiknya disesuaikan, dilengkapi dengan speaker surround seperti studio bioskop pada umumnya. Tidak usah berlebihan, 5.1 sudah sangat mewah. Karena jika dipasang dengan jumlah speaker 6 atau 7, kemungkinan untuk ketidakmaksimalan penggunaan tata suaranya sangat besar.

Sayapun berangan-angan memasuki ruang 9009, tanpa membawa soft drink dan pop corn di tangan. Saya kemudian duduk di salah satu bangkunya. Menikmati sebuah perjalanan ke dunia baru di ruang tersebut. Romantisme menonton di Bioskop Kampus mungkin hanya tinggal kenangan. Tapi saya boleh berharap, mungkin suatu saat, Bioskop Kampus akan kembali penuh dengan deretan orang yang mengantri masuk, tiket-tiket yang disobek, dan riuh tawa ketika film dimulai.

 

Sumber:

– Lenard Audio InstituteBlitz MegaplexLiga Film MahasiswaLos Angeles Film School,Forum KompasWikipedia