Di balik gegap gempitanya Asian Games yang baru saja berakhir, bulan Agustus kemarin media nasional juga sempat dipenuhi oleh putusan kasus Meiliana yang mengeluhkan suara azan yang dianggap sangat keras. Kejadian ini berlanjut dengan adanya kerusuhan warga di Tanjung Balai, Sumatera Utara dan berakhir dengan perusakan tempat ibadah dan tempat-tempat pelayanan publik lainnya. Berita ini menyita perhatian publik karena Meiliana yang seorang keturunan Tionghoa mendapat putusan pengadilan yang lebih berat daripada pelaku perusakan tempat ibadah yang memakan kerugiaan materiil yang cukup besar. Petisi untuk mengubah putusan pengadilan terhadap Meiliana saat ini sudah mencapai lebih dari 200.000 tanda tangan. Baca juga hasil penelitiaan PUSAD tentang kasus ini di sini.
Salah satu hal yang menyita perhatian saya setelah membaca pemberitaan tentang kasus ini adalah digunakannya speaker dan amplifier bermerek TOA sebagai salah satu bukti yang diajukan jaksa. Pengajuan bukti ini, menurut saya, sama sekali tidak berhubungan dengan pembuktian maupun berpengaruh pada putusan kasus. Tetapi, kedua barang ini dapat kita teliti untuk mendalami suatu aspek penting di kasus ini.
How loud is too loud?
Sebagai pendahuluan, walaupun sekarang lebih sering menjadi admin toko dan bekerja di depan Adobe Illustrator, saya pernah bekerja sebagai engineer dan memiliki background pendidikan sebagai Sarjana Fisika Teknik. Salah satu bidang keilmuan yang ada di kuliah saya tersebut adalah Fisika Bangunan. Dimana di dalamnya mencakup sub-studi Akustik yang mempelajari tentang sifat-sifat suara dan getaran, serta aplikasinya dalam kehidupan. Dalam penerapannya sehari-hari, ilmu Akustik dapat digunakan untuk merekayasa ruangan agar dapat memenuhi mutu standar (contoh: gedung konser) ataupun merekayasa suara agar dapat memenuhi kondisi yang diinginkan (contoh: speaker di dalam bioskop).