Kamu, Kata Kerja

Dunia kerja (dan wawancara kerja) itu banyak faktor X-nya. Attitude dan skill jadi takaran yang bobotnya tidak pernah jelas. Yah, semacam suka tidak suka.

Turnover di dunia oil&gas pada umumnya dan EPC pada khususnya sangat tinggi. Tenaga kerja hilir mudik, resignapply, secepat cahaya. Karena kerjaannya cenderung sama di setiap perusahaan, kultur dunia kerja EPC itu “the highest bidder win“. Pernah denger dong kata-kata “If you want loyalty, go hire a dog“? Hal itu terbukti benar adanya, para buruh yang sudah experienced kebanyakan ngikut ke yang tawarannya paling menjanjikan. Loyalty-nya ada di profesi, bukan perusahaan. Walaupun ada yang bilang, beberapa faktor semacam lokasi kerja, project yang menantang, ataupun suasana kerja juga penting, ujung-ujungnya semua bermuara ke uang. Sedikit sekali yang nggak memegang prinsip ini, dan kebanyakan, orang yang masuk golongan ini:

1. Nggak terlalu serius ataupun nggak butuh-butuh amat untuk berkarir di bidang ini.
2. Visi karirnya pengen ke management, bukan profesional.
3. Orang hebat, mungkin.

Ya lagi-lagi, semacam suka tidak suka tapi itu kenyataannya.

Perusahaan EPC pada dasarnya adalah perusahaan yang terbangun oleh tim multi disiplin. Core keilmuan disiplin tersebut pastinya beda-beda, dengan bobot pekerjaan dan tingkat kesulitan yang berbeda-beda antar satu project dan project lainnya. Hal semacam ini, kadang bikin rasis. Semuanya pengen dianggap bobotnya paling besar, semuanya pengen pekerjaannya dianggap paling rumit. Padahal kalau salah satu aja nggak berfungsi, ya bubar project-nya. Dan kalau dipikir lagi, karena latar belakangnya beda-beda ya susah bandinginnya. Walau ada yang bilang kesulitan suatu disiplin bisa dilihat dari besar rata-rata gaji yang dibawa pulang disiplin tersebut (yang katanya sih, salary rata-rata terbesar masih dipegang oleh para Process Engineer dan Piping Engineer).

Dunia kerja itu kotor. Industri oil & gas itu kotor. Permainan uang dan kepentingan (sekelompok orang) itu masih terlalu sulit untuk dipahami.

Semua yang ada di artikel ini (sayangnya) banyak benarnya :P

Saya masih karyawan remahan yang belum berhak diberi kesempatan untuk menilai baik/buruk dan benar/salah, jadi saya cuma ingin bilang jangan terlalu mudah mengatakan ‘keluar’. Keluar dalam artian apapun. Di usia yang masih muda ini dan lingkup industri yang itu itu saja, kita harus menjaga sikap dan kata-kata kita. Dan yang paling penting, menjaga pikiran dan visi, jangan terlalu gampang bilang benci ini benci itu, berhenti saja, cari yang lain saja. Harus ada alasan yang kuat dan tanggung jawab yang besar dibalik semua kata. We still have to live with the responsibility, whatever your definition of responsibility is.

PS: Random dan menurut saya.

Kamu, dan Gelar-Gelar Hebat

Kalau dua tahun yang lalu ditanya: “Habis kuliah mau apa?”, saya pasti jawab: “Sekolah lagi”. Nyatanya, hidup nggak segampang menulis motivation letter, dapat beasiswa keluar negeri, dan posting foto jalan-jalan seantero negara Eropa setiap minggunya.

Ketika wawancara untuk masuk S2 di ITB, teman saya pernah ditanya kenapa dia ingin melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi, yang berakhir dengan ceramah singkat berintikan: jangan ambil kuliah S2 sebagai alasan untuk tidak bekerja/ketika kita tidak dapat pekerjaan. Ada juga yang melihat peluang S2 sebagai ajang ‘cuci nilai’. Ketika ijazah S1 kita tidak punya embel-embel cumlaude, atau IPK di transkrip, ataupun cuma mentok di angka 2.xx/3.0x, ada urgensi untuk memperbaiki diri. Alasannya mungkin karena kita tidak lagi harus berhadapan dengan mata kuliah Kalkulus Dasar 1A atau karena kita sudah tahu ‘rahasianya’ dalam berkuliah. Intinya dimana ada kemauan, di sanalah ada jalan.

Setelah dipikir, meneruskan kuliah lagi bukan perihal mudah. Memang sih, segampang itu dengar kisah sukses teman-teman dengan beasiswa hebatnya, “Si ini dapet beasiswa ke sini lho”, “Si itu sebentar lagi mau berangkat ke sana, lho”. Tapi kita juga harus tahu bahwa ada orang-orang yang tidak sehoki itu dengan urusan beasiswa (walaupun ada yang bilang asal surat-surat diurus dengan benar, besar kemungkinannya aplikasi beasiswa kita diterima). Kuliah S2 pun membutuhkan biaya yang tidak sedikit (jika pada akhirnya kita memutuskan untuk kuliah dengan biaya sendiri). Di ITB sendiri, kuliah S2 per semesternya sekitar + 8 juta rupiah (yang katanya dibilang murah). Bagi saya, walaupun tanpa uang masuk, jumlah itu adalah 4x lipat dari uang semester S1 saya. Belum lagi dengan biaya bulanan semacam kost atau uang makan. Yang artinya, kalau saya tidak berusaha mencari beasiswa atau mencari kerja untuk menunjang keuangan saya, orang tua/penanggung biaya kita harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk setidaknya 1-2 tahun. Beban lagi? Tentu.

Buat kamu yang mau melanjutkan kuliah di luar, ada juga yang bilang, “Cari tambahan saja, gaji pencuci piring di luar negeri sudah lumayan besar, kok.” Oh ya, silahkan. Kalau tidak pernah kerja keras dengan pekerjaan ‘semacam itu’, nanti tidak ada yang bisa diceritakan ke anak cucu, kan? Tapi ingat juga, kuliah itu intinya belajar, saya sudah cukup melihat orang-orang dengan kondisi macam ini yang akhirnya menyerah di tengah jalan karena tidak bisa membagi konsentrasi. Mau magang ke organisasi sosial yang lebih established? Sejauh yang saya tahu intern di organisasi sosial di luar negeri itu kebanyakan tidak digaji. Organisasi sosial lho, tau kan kenapa namanya sosial? Tapi memang kesempatan, pengalaman dan network yang kamu dapat pasti akan setimpal dengan resiko yang harus dihadapi.

Belum lagi ketika kita harus bertarung dengan anggapan, “Is it worthed?” Untuk beberapa perusahaan, ada yang melihat gelar S2 sebagai jaminan untuk lonjakan karir di masa depan. Bahkan katanya, kalau punya gelar S2 jabatan manajer sudah pasti ada di depan mata. Walaupun, pendapat saya ini masih berkisar di ‘katanya’. Organisasi idaman saya United Nation masih menggaris bawahi kriteria second degree university sebagai salah satu pertimbangan rekruitmen. Bahkan hanya untuk program internship, yang notabene tidak digaji. Artinya, pendidikan tinggi masih dianggap jaminan untuk memperoleh pekerjaan baik (yang sama artinya dengan gaji yang melambung). Tapi ada juga perusahaan yang tidak memperhatikan tambahan kata Master di belakang nama kita dan menetapkan bahwa kita sama saja dengan fresh graduate yang tidak punya pengalaman apa-apa (dalam kasus kalau kita langsung melanjutkan pendidikan setelah lulus). Yang berujung pada, buat apa dong lanjut kuliah kalau hasilnya sama saja.

Sama halnya juga seperti offering kerja, kalau ada hal yang belum sreg dengan keinginan kita, misalnya ingin kuliah di negara tertentu tapi biayanya kurang memadai, ataupun dapat beasiswa di jurusan yang belum tepat, sebaiknya jangan cepat-cepat memutuskan. Yang namanya salah jurusan, cukup menjadi kosa kata jenjang Sarjana saja. Kalau bilang “Tapi kan sayang, sudah dapat di luar nih!”, saya cukup percaya kesempatan pasti akan datang jika kita mau mengusahakannya. Lebih sayang lagi bukan jika nantinya hal itu malah jadi penghambat kita untuk meneruskan pendidikan.

Saya tidak semata-mata nyinyir. Saya masih punya keinginan untuk punya gelar Master. Saya selalu bangga dan kagum dengan teman-teman yang mampu meraih beasiswa ke luar negeri, terlebih lagi yang MAU melanjutkan sekolah dan berkutat lagi dengan buku diktat dan ujian. Tapi menurut saya, S2 bukan ajang keren-kerenan. Bukan ajang bangga-banggaan. Tapi keinginan keras untuk mau menambah pengetahuan dengan tujuan jelas, yaitu memanfaatkan ilmu yang didapat sebaik-baiknya. Menurut saya, sayang jika jauh-jauh S2 di bidang perminyakan misalnya, tapi kita berakhir menjadi bankir. Ataupun sayang jika mahal-mahal kuliah lagi di bidang entrepreneurship tapi ketika pulang langsung dipinang dan menjadi ibu rumah tangga tanpa punya usaha apa-apa. Ilmu-ilmu yang lebih berharga dari uang sebesar apapun juga itu malah menguap tanpa dimanfaatkan dengan benar.

Kalaupun sayang, tapi tenang saja, kita masih dapat pengalamannya kok (plus ratusan foto facebook berlatar alam luar negeri) :P

Intinya, setelah melewati fase iri-liat-yang-lain-sekolah-lagi-dan-bisa-jalan-jalan-ke-luar-negeri, saya justru menyarankan melanjutkan kuliah S2 yang amat sangat kepada:

  1. Semua yang punya dana lebih, baik itu dari orang tua maupun hasil mendulang emas setelah beberapa tahun bekerja.
  2. Semua yang masih penasaran dengan suatu bidang kejuruan/ilmu dan ingin menerapkannya dengan baik di masyarakat.

Batas kabur antara penting/tidaknya S2 itu memang bergantung kepada masing-masing individu (ugh, klise). Apapun alasan kita menginginkan kuliah lagi, pastikan memang ini yang benar-benar kamu inginkan. Pikirkan juga, “Setelah ini apa?”. Ingatlah kata-kata Uncle Ben, “With great power, come great responsibility”. Ilmu itu kekuatan yang sangat besar, lho.

Jangan lupa juga masih ada juga yang namanya sekolah kehidupan. Sekolah dimana hal-hal yang ada di buku tidak sepenuhnya terpakai. Sekolah dimana ada hal-hal kotor yang ingin kita jauhkan dalam kehidupan berkeliaran di setiap langkah. Saya doakan yang terbaik untuk semua orang hebat yang tidak pernah berhenti belajar. Berjanjilah untuk bisa membangun hal-hal besar di kemudian hari :)

Selamat berpuasa bagi yang menjalankan.

PS: Akhir bulan ini, kakak saya akan melanjutkan kuliah di jurusan yang super keren di seberang sana—International Construction Management FTW.

lifeaftercollege #4

ketika kata-kata finansial terucap-ucap tanpa tahu apa artinya (dan sebenarnya, tidak ingin pernah tahu)

Buat saya yang tidak pernah menabung sampai lulus kuliah, dan terbiasa menghabiskan uang bulanan yang tersisa untuk beli komik, kehidupan seperti sekarang terbilang menyeramkan. Karena dengan pendapatan yang dihasilkan sendiri, otomatis pengaturan keuanganpun harus dilakukan sendiri. Saya sadar saya impulsif, alhamdulillah-nya impulsif saya bukan karena barang, tapi impulsif jajan (apa lebih parah? :P). Jadi pengeluaran impulsif saya termasuk kecil-kecil tapi kalau dihitung menggunung.

Ada juga beberapa teman-teman saya yang mengeluh bahwa mereka kesulitan menabung padahal pengeluarannya hanya seputar makanan, ongkos, dan sedikit beli-beli saja. Sebenarnya sedikit beli-beli ini yang masalah, apakah benar sesedikit itukah beli-beli kamu? Trik kecil yang saya pelajari dari Angga semasa kuliah (yang sangat berguna sekarang) adalah mencatat SEMUA pengeluaran SETIAP HARI. Yang dimaksud semua adalah sekecil2nya pengeluaran tersebut, dari mulai makan, belanja, bayar parkir, beli permen, dll. Untuk bulan-bulan awal, coba klasifikasikan pengeluaran menjadi beberapa kelas besar, transport, makan, atau bahkan untuk main (khusus saya sih namanya Anggaran Main). Jadi kamu bisa tahu kemana sebenarnya sebagian besar uang kamu pergi.

Setelah tahu berapa kira-kira pengeluaran ‘pokok’ yang kamu keluarkan setiap bulan. Coba dilihat sebelah mananya pengeluaran kamu yang bisa dihemat. Dari situ kamu bisa menentukan seberapa besar yang bisa kamu tabung setiap bulan.  Besarnya persen yang ingin kamu tabung itu tergantung dengan target dan kemampuan yang dapat kamu capai. Tips dari saya sih, berusalah untuk REALISTIS. Jangan terlalu pelit untuk membelanjakan pendapatan kamu, karena siapa sih yang tidak ingin membeli flats shoes idaman ataupun DVD compilation Star Wars yang sejak dulu dimimpi-mimpikan :P Tapi jangan juga menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak terlalu penting atau tidak terlalu kamu butuhkan (saya menyebut barang-barang ini dengan nama “barang lucu tidak berguna”).

Menurut buku yang saya baca sih, untuk usia fresh graduate, menabung 10 % dari pendapatan kamu sudah sangat baik loh (bayangkan jika pendapatan kamu 1.000.000/bulan, kamu cukup menabung 100.000). Terlihat kecil bukan, nah harusnya kita bisa menabung lebih besar dari itu. Untuk hitungan saya yang bekerja di Jakarta dan punya rumah di Jakarta (yang berarti tidak perlu mengeluarkan uang kost atau uang makan) harusnya saya bisa menabung hampir setengah dari pendapatan saya. Tapi kalau menurut saya, ini saatnya untuk menyisihkan sebagian uang untuk membantu orang tua. Cobalah mulai menyisihkan sebagian kecil untuk membantu membayarkan yang kecil-kecil, biasanya sih orang tua yang masih dalam usia kerja bakal menolak dan menyuruh kamu untuk menabungkan saja uangnya. Tapi trik saya sih bilang saja untuk minta ‘disimpankan’ sama mereka :D

Kalau kamu kesulitan untuk menabung karena tergoda untuk menyicil barang-barang yang terlihat “kapan lagi kalau bukan sekarang?” ataupun karena sifat impulsif yang tidak dapat dikendalikan :P, cobalah untuk membuat rekening lain khusus untuk tabungan. Di beberapa bank tersedia tabungan rencana ataupun tabungan dana pensiun yang ‘secara paksa’ mendebet beberapa persen (yang besarnya kamu tentukan sendiri)  dari rekening kamu ke rekening tabungan kamu yang lain.

Setelah punya simpanan yang cukup ‘aman’ (biasanya saya menetapkan batas, berapa banyak yang harus tersisa di tabungan), kamu mungkin bisa mencoba untuk berinvestasi. Banyak bentuk investasi yang sedang naik daun sekarang, di antaranya reksadana dan investasi emas. Yang manapun yang kamu pilih, sebaiknya diikuti dengan pengetahuan yang baik pula. Jenis investasi yang paling aman untuk para investor pemula, mungkin bisa dimulai dari investasi emas (saya biasa mengecek LogamMulia untuk harga emas, dan Goldgram untuk pengetahuan mengenai emas).

Salah satu buku yang benar-benar mencerahkan hidup saya adalah buku ini. Untuk Indonesia yang Kuat menjabarkan banyak hal yang sebelumnya tidak pernah saya pikirkan (ya iyalah, saya ngertinya ya habis kerja, cari duit, nabung sampe menggunung, yang ternyata tidak cukup sampai di situ). Buku ini berhasil bikin takut dan jleb jleb jleb sampe ke dasar dasar :)) Ligwina Hananto, sang penulis buku ini, juga bisa ditemui di Planning a Better You (salah satu kolom di Kompas.com yang membahas tips tips keuangan yang mudah dimengerti, saya rekomendasi sekali kolomnya) dan website QM Financial (konsultan financial milik Ligwina yang  website-nya menyediakan kalkulator yang bikin jleb jleb jleb untuk menghitung dana pensiun, dana pendidikan untuk anak, dll).

Intinya sih ada beberapa yang masih menganut paham “belum waktunya untuk menabung” atau “masih banyak waktu di hari esok”, semuanya tidak ada salahnya. Semua hal memang perlu niat untuk memulai, dan saya sih tidak mau suatu saat terbangun dan merasa menyesal karena harusnya bisa mulai lebih awal. Pada akhirnya, semua orang selalu mengharapkan financial freedom kan?

PS: Jangan lupa juga untuk menyisihkan uang kamu untuk berzakat. Karena sebagian dari yang kamu punya sekarang adalah titipan milik orang lain yang membutuhkan. Investasi inilah yang insyaallah akan berlipat ganda, beranak pinak, dan tidak akan pernah habis bunganya :)

celup

Halo, ini akhir bulan Juli dan saatnya membagi cerita tentang sekelumit kehidupan saya. Kemarin habis membaca posting blog-nya Tangkas (yang punya banyak blog ini :P), dan jadi ingin tulis-tulis sedikit tentang pekerjaan saya.

Mulai awal Mei kemarin, selama hampir 3 bulan, saya sudah bekerja di salah satu perusahaan EPC (Engineering, Procurement, Construction) Oil & Gas atau Project Service istilahnya (karena perusahaan macam ini hidup dari proyek ke proyek). Kalau ditanya kerja di mana sama keluarga besar (atau orang yang lebih tua), saya akan lebih singkat menjawab kontraktor minyak dan gas. Lebih mudah ditangkap nalar, case closed. Sebenarnya sih, ini bekerja seperti sekarang ini bukan salah satu hal yang pernah saya bayangkan sebelumnya (semua orang tahu cita-cita saya jadi Sekjen PBB :P). Di saat lulusan ITB lainnya berebutan masuk dunia oil & gas, justru saya menghindari dunia ini mati-matian. Tapi berhubung saya menganggap jadi engineer adalah salah satu pekerjaan paling keren sedunia, akhirnya sayapun nyelup-nyelupin kaki juga di dunia keilmuan ini (walaupun kadang masih berasa nggak bakat). Tujuannya sih nggak muluk, saya juga nggak bertujuan punya gaji besar (belajar aja baru sekarang, gimana minta gaji besar), saya juga nggak kepikiran untuk jadi ahli (lagi-lagi, belajar aja baru sekarang). Jujurnya saya cuma punya modal rasa keingintahuan yang besar dan sifat (lumayan) rajin, tujuannya apa sayapun belum tahu (ada sih sesuatu, tapi nanti deh saya ceritain, haha).

Nah, kalau ditanya lagi kerjanya ngapain, saya akan menjawab ‘jadi insinyur’ (sambil melengos pergi). Jawaban panjang pertanyaannya sih, posisi saya saat ini Jr. Instrument Engineer. Disebut junior karena belum punya pengalaman. Di dunia engineering (cieee bahasanya), sebutan junior atau fresh graduate dipakai untuk mendefinisikan pengalaman kerja seorang engineer dengan rentang waktu 0-2 tahun (middle engineer biasanya untuk pengalaman 2-5 tahun, dan senior untuk 5-10 tahun).

Instrument Engineer sendiri kerjanya yaaa ngurusin instrument :P Instrument yang dimaksud di sini adalah alat-alat pengukuran yang tersebar  pada suatu proses. Apa yang diukur? Besaran fisis seperti pressure, level, temperature, flow, dll. Prosesnya sendiri bermacam-macam, bisa berupa pengolahan minyak/gas, pendistribusiannya, atau yang lainnya. Ruang lingkup Instrument engineer biasanya nyerempet ke pengontrolan/otomasi proses dan telekomunikasi. Singkatnya lagi, Instrument Engineer kerjanya memastikan dan memudahkan suatu proses agar berjalan sebagaimana mestinya dengan memasang alat pengukuran, mengontrol proses di dalamnya, dan menghubungkannya satu sama lain. Tampak gak menjelaskan? Haha, berarti sayanya yang nggak jago nerangin.

Sebenarnya, saya juga masih takut-takut untuk menuliskan tentang pekerjaan saya ini. Takut salah dan agak minder. Karena walaupun basic kuliah saya memang Teknik Fisika dan anak emas bidang keilmuan jurusan saya adalah Instrumentasi dan Kontrol, yang tentu saja jalurnya jadi Instrument Engineer. Tapi saya justru jatuh cinta dengan Fisika Bangunan, topik TA saya saja jauh banget dari Instrumentasi (ehem, saya  mengukur gelombang otak ketika mendengarkan musik Gamelan Jawa). Saya jujurnya bingung ketika dipanggil wawancara direksi untuk masuk kantor saya yang sekarang (saya hampir gak jawab apa-apa ketika ditanya soal teknis). Dan kalau ngelihat anak2 Junior yang lain, saya jadi tambah minder. Yang keliatannya mabok, sering ikut lomba robot. Yang sering donlot gratisan di kantor, ternyata pinter banget. Yang suka jajan ke mall, ternyata cumlaude 3.5 tahun. Subhanallah. Saya, IP kok ya pas-pasan, baca P&ID baru bisa, aduuuh misteri bangetlah itu HRD bisa nelepon saya buat wawancara.

Tapi Tuhan pasti punya jawaban sendiri atas kebingungan saya, dan yang bisa saya lakukan sekarang adalah tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan olehNya. Doakan semuanya berjalan baik-baik saja, ya :)

Selamat malam, besok mari kembali bertarung dengan jalanan Jakarta.

 

life after college #3

Bukan rahasia lagi kalau mencari pekerjaan di zaman sekarang amat sangat sulit. Tenaga kerja semakin banyak, tetapi tidak berbanding lurus dengan jumlah lapangan kerja yang ada. Beruntunglah bagi para orang-orang yang langsung mendapat pekerjaan sebelum menyandang predikat pengangguran terlalu lama. Pengangguran memang beban negara, tapi percayalah Tuhan punya rencana besar di balik semua hal :)

Di bawah ini adalah beberapa saran dan cerita saya (cieeee… :P)  yang mungkin bisa sedikit mencerahkan jalan ketika menganggur. Kalau ada yang merasa senasib, kasih tahu saya ya…

Life as we know it

Bebas mungkin adalah kata yang tepat untuk menggambarkan hidup setelah lulus, tapi di balik semua itu, layaknya jebakan Batman, kamu juga harus bertanggung jawab penuh dengan semua kebebasan kamu itu. Tapi yang jelas, kamu tidak perlu dikejar-kejar (atau mengejar) pembimbing TA, tidak perlu bangun jam 6 untuk kuliah pagi, ataupun datang tergopoh-gopoh ke kampus untuk ujian. Inilah saatnya untuk membeli tiket ke China, menonton 6 season How I Met Your Mother sampai pagi, ataupun berkeliling Bandung hanya untuk mengunjungi kebun binatang dan museum (true story, studi kasus Dheny Hiras Pasaribu :P).

Awalnya memang menyenangkan, tapi mungkin saat paling tidak menyenangkan adalah ketika menimbang berat badan. Karena lowongnya waktu yang tidak diimbangi oleh pola makan dan tidur yang berat sebelah, terkadang menyebabkan kita merasa pathetic ketika melihat ke cermin (true story :P). Kembali lagi ke pernyataan awal, saatnya kita bertanggung jawab untuk semua hal, termasuk banyaknya lemak yang terkonsumsi ke tubuh (atau perut) kita. Kebebasan tersebut pun kadang membuat kita bosan karena lama-kelamaan, kebebasan itu menjadi rutinitas yang mungkin membuat kita putus sa dengan diri sendiri.

Informasi

Mencari kerja itu sebenarnya juga urusan mencari informasi yang tepat. Informasi di zaman sekarang mudah didapat dan bahkan bisa diakses lewat telepon genggam. Seharusnya hal ini memudahkan kita untuk segala hal, asalkan tahu di mana dan dengan cara apa kita bisa mendapatkan informasi yang sesuai. Beberapa perusahaan sudah menerapakan proses rekruitmen online (pendaftaran/tes online), sehingga kamu boleh melupakan zaman Si Doel Tukang Insinyur yang mencari kerja lewat map sumbangan dan ketukan pintu di berbagai perusahaan.

Cara paling mudah dan ‘aman’ untuk mendapat informasi lowongan pekerjaan adalah di Career Center kampus masing-masing. Untuk jurusan Teknik seperti saya, 3 career center utama yang harus rajin dilirik adalah PCD ITB, CDC Teknik UI, dan ECC UGM . Saya cuma mendaftar PCD ITB, tapi beberapa teman ada yang mendaftar di CDC Teknik UI juga. Sebenarnya, informasi yang ada hampir mirip-mirip tapi bergantung domisili dan kesanggupan kita untuk mengikuti tes di mana (pilihan di CDC Teknik UGM biasanya lebih beragam tapi saya enggan untuk mendaftar karena domisilinya yang ada di Jogja, sedangkan CDC UI dan PCD ITB lowongannya cukup mirip).

Oh iya, jangan lupakan juga kolom karir di Kompas setiap hari Sabtu. Lalu ada baiknya juga mencari informasi lewat website pencarian kerja atau mailing list alumni, http://www.jobscdc.com/ dan http://bilaboong-kerja.blogspot.com/ adalah situs yang lumayan sering saya buka dan rajin di update. Kalau kamu berminat di industri tertentu, maka rajin rajin saja mencari situs yang tepat (Petromindo untuk Oil&Gas, maupun http://karir-bumn.blogspot.com/ untuk yang berminat bekerja di BUMN ataupun lowongan CPNS). Thread Dunia Kerja di Kaskus juga merupakan tempat yang tepat karena banyaknya perusahaan yang dibahas detil di sana.

Job Fair juga merupakan instant gateaway kamu untuk mendaftar di suatu perusahaan. Hal ini karena para peserta Job Fair biasanya diproses lebih cepat dan mendapat kejelasan terpanggil tes (dibanding yang mengirim lamaran lewat email/pos/apply online). Tapi sekali lagi, bersiaplah untuk jumlah saingan yang ribuan banyaknya. Karena tentu saja acara sejenis menjadi target utama para pencari kerja, sehingga kadang seleksi IP menjadi bahan dasar suatu perusahaan untuk memisahkan CV kita ke meja wawancara ataupun ke tempat sampah (true story).

Nah, pilihan yang ini sebenarnya hal yang paling saya benci. Lewat koneksi. Karena pada dasarnya saya kurang sreg, jadi masih sok idealis untuk mencari kesempatan sendiri dibanding harus mendapat bantuan dari orang lain :P Sebenarnya tidak ada yang salah juga dengan cara ini, dan kemungkinan mendapatkan pekerjaan yang dimau menjadi lebih besar. Jadi, cobalah mulai rajin2 kontak teman-teman/kakak kelas yang sudah kerja duluan atau tempat KP kamu, dan tanyakan apakah perusahaan mereka membuka lowongan. Karena beberapa perusahaan ada yang mengadakan closed recruitment untuk teman-teman/saudara dari karyawan perusahaan tersebut.

Intinya sih, pergunakan semua kesempatan yang ada. Jangan malas untuk mencari informasi ataupun lowongan-lowongan dari mana saja.

The cycle

Kalau yang ini, saya dikasih tahu sama seseorang. Tapi entah kenapa juga kejadian sama saya. Jangan terlalu dipercaya ya, nanti malah jadi sugesti :P Untuk yang menganggur untuk waktu yang cukup lama (baca: 3 bulan ke atas), berhati-hatilah dengan sindrom bulan kelipatan 3. Entah mengapa bulan 3 dan bulan 6 menjadi titik keputusasaan paling tinggi yang pernah saya alami. Pada umumnya, 3 bulan pertama kita jalani dengan semangat untuk mencari pekerjaan, mengikuti tes demi tes dan tentu saja dengan idealisme tinggi. Setelah 3 bulan berlalu, rasa hati biasanya menjadi jenuh. Ekspektasi mulai menurun, idealisme mulai meluntur. Beberapa pekerjaan/perusahaan yang tidak pernah kita dengar sebelumnya mulai dilirik, semua tombol apply mulai ditekan. Nah, jika sudah 6 bulan berlalu, biasanya adalah saat kita melihat teman seangkatan atau angkatan selanjutnya lulus. Ini merupakan waktu terkritis yang menyebabkan besarnya tingkat keputusasaan. Karena tentu saja, kita akan bersaing dengan ‘pemain-pemain baru’ yang mengincar hal yang sama dengan kita. Beberapa mungkin punya IP yang lebih tinggi, ataupun track record yang lebih bagus. Saran saya cuma satu, banyak-banyak doa dan tawakal. Karena pada akhirnya, semua hal yang terjadi dalam hidup adalah sesuatu yang pasti harus berlanjut. Like day turns night, like the inevitable rain. Jadi yakinlah bahwa apapun yang kita dapat sekarang adalah yang terbaik yang dapat terjadi dalam hidup kita.

* foto diambil dari pameran Doksos Dies Emas LFM ITB.