Kamu dan Debu

Blogwalking memang kejam.

Kalau memang ada satu hal yang harus diambil dari prinsip Bhinneka Tunggal Ika itu cuma keberagaman. Tinggal di Indonesia mematuhkan kita untuk memahami hal itu dalam-dalam. Makna maupun tindakan yang harus diperbuat. Kenyataannya, rasisme dan sifat superior adalah alami. Semua makna ditinggalkan begitu saja ketika Si Benar merasa benar.

Saya rasa banyak orang-orang hebat yang merasa hebat dengan prinsip diri dan pendapat idealisnya. Banyak orang-orang yang mengagungkan dirinya karena merasa kuat. Dipuji sedikit dan merasa besar. Akui saja, kita semua lemah dan rapuh. Tersentuh sedikit lalu pecah dan bertabur.

Semua orang berhak mendefinisikan dirinya, entah benar atau bohong. Entah asli ataupun palsu. Apakah merasa diri sendiri benar adalah kesempatan untuk berkata bahwa kita lebih baik dari mereka? Tidak semua orang bisa menjadi inspiratif untuk banyak orang, tapi semua orang bisa menjadi inspiratif untuk orang lain. Teman saya Liza baru pulang dari Bromo dan menyaksikan seorang kakek tua kekeuh menaiki tangga Bromo dengan kakinya sendiri. Apakah cerita sang Kakek lebih tidak inspiratif dibanding cerita seseorang teman yang ikutan Indonesia Mengajar contohnya?

Saya dan kamu hanya debu, berterbangan lalu menghilang. Biarkan debu-debu lain menemukan tempatnya dan tidak perlu memandang rendah kepada sebutir debu yang jatuh lebih dulu. Pengandaian saya jelek sekali, tapi saya benar-benar serius. Memahami hal-hal macam keberagaman adalah sesuatu yang sulit karena maknanya sangat luas. Tapi saya ingin benar-benar bilang bahwa: mungkin kamu tidak lebih baik daripada mereka.

Saya masih ingin percaya bahwa sulit menjadi seorang idealis, tapi lebih sulit lagi menjadi seorang idealis yang mau mendengar dan menerima perbedaan. Selamat.

Kamu, Kata Kerja

Dunia kerja (dan wawancara kerja) itu banyak faktor X-nya. Attitude dan skill jadi takaran yang bobotnya tidak pernah jelas. Yah, semacam suka tidak suka.

Turnover di dunia oil&gas pada umumnya dan EPC pada khususnya sangat tinggi. Tenaga kerja hilir mudik, resignapply, secepat cahaya. Karena kerjaannya cenderung sama di setiap perusahaan, kultur dunia kerja EPC itu “the highest bidder win“. Pernah denger dong kata-kata “If you want loyalty, go hire a dog“? Hal itu terbukti benar adanya, para buruh yang sudah experienced kebanyakan ngikut ke yang tawarannya paling menjanjikan. Loyalty-nya ada di profesi, bukan perusahaan. Walaupun ada yang bilang, beberapa faktor semacam lokasi kerja, project yang menantang, ataupun suasana kerja juga penting, ujung-ujungnya semua bermuara ke uang. Sedikit sekali yang nggak memegang prinsip ini, dan kebanyakan, orang yang masuk golongan ini:

1. Nggak terlalu serius ataupun nggak butuh-butuh amat untuk berkarir di bidang ini.
2. Visi karirnya pengen ke management, bukan profesional.
3. Orang hebat, mungkin.

Ya lagi-lagi, semacam suka tidak suka tapi itu kenyataannya.

Perusahaan EPC pada dasarnya adalah perusahaan yang terbangun oleh tim multi disiplin. Core keilmuan disiplin tersebut pastinya beda-beda, dengan bobot pekerjaan dan tingkat kesulitan yang berbeda-beda antar satu project dan project lainnya. Hal semacam ini, kadang bikin rasis. Semuanya pengen dianggap bobotnya paling besar, semuanya pengen pekerjaannya dianggap paling rumit. Padahal kalau salah satu aja nggak berfungsi, ya bubar project-nya. Dan kalau dipikir lagi, karena latar belakangnya beda-beda ya susah bandinginnya. Walau ada yang bilang kesulitan suatu disiplin bisa dilihat dari besar rata-rata gaji yang dibawa pulang disiplin tersebut (yang katanya sih, salary rata-rata terbesar masih dipegang oleh para Process Engineer dan Piping Engineer).

Dunia kerja itu kotor. Industri oil & gas itu kotor. Permainan uang dan kepentingan (sekelompok orang) itu masih terlalu sulit untuk dipahami.

Semua yang ada di artikel ini (sayangnya) banyak benarnya :P

Saya masih karyawan remahan yang belum berhak diberi kesempatan untuk menilai baik/buruk dan benar/salah, jadi saya cuma ingin bilang jangan terlalu mudah mengatakan ‘keluar’. Keluar dalam artian apapun. Di usia yang masih muda ini dan lingkup industri yang itu itu saja, kita harus menjaga sikap dan kata-kata kita. Dan yang paling penting, menjaga pikiran dan visi, jangan terlalu gampang bilang benci ini benci itu, berhenti saja, cari yang lain saja. Harus ada alasan yang kuat dan tanggung jawab yang besar dibalik semua kata. We still have to live with the responsibility, whatever your definition of responsibility is.

PS: Random dan menurut saya.

Anti

I don’t like people who associated themselves by anti-mainstream nor associated others as anti-mainstream. What is wrong with being different, what is wrong with being the same? As long as we’re happy then it is alright. As long as we say/act according to what we believe in then it is alright. There is no need to classify thing as anti or not.

I once wrote this in About page of yellowandredatcinema:

Everybody just pretend to be independent and the so called ‘different’ from any other things. We listen to punk and decline pop. We trash Twilight and watch Pulp Fiction. In a matter of fact, we act the same as the rest of us. What’s the deal of being different?

Almost 2.5 years later, I still hold on to it.

meracau lewat kata

…dan saya mendapat gaji saya kemarin, menandakan sudah genap 5 bulan saya bekerja. Saya mencoba mengingat-ingat apa yang berubah dari saya, lewat kata, lewat tulisan saya. Dan ternyata… banyak.

Saya membuka-buka archive blog saya dan menemukan, saya sudah lama tidak bercerita. Tentang kota warna, tentang ksatria dan putri yang pergi ke medan perang, tentang tukang roti dan kata-kata yang diselipkannya di depan oven ketika pagi datang, tentang para pemabuk mimpi di kota yang tidak pernah tidur, menempa besi hanya untuk menyaksikan senjata mereka dipergunakan untuk membantai sanak saudaranya di negeri seberang, tentang para peri. Para peri yang entah mengapa selalu saya gambarkan sebagai makhluk yang dikutuk menjadi bisu ketika siang hari dan baru bisa berbicara ketika malam tiba, ketika tidak ada seorangpun yang mendengarkan.

Mengizinkan saya bercerita seperti ini sama saja membiarkan saya mengoceh soal ratusan halaman yang tidak pernah dibaca siapapun (selain adik saya), yang kemudian menguap teriring sempitnya harddisk komputer dan termakan virus kurang ajar. Menjadikannya abadi dan sayangnya, bisu. Tidakkah kamu rindu waktu dimana semua hal hanya tentang kamu dan para kunang-kunang pemberi harapan? Masihkah kamu ingin bertemu dengan para peramal di hutan Selatan, yang bahkan tidak pernah meramalkan apapun selain bahwa akan ada genangan hujan setelah hujan? Biarkanlah dua paragraf ini menari di bawah senja seperti ini, saya sudah lama menyimpan kata-kata ini di ujung hati (dan jari).

Jika saya dibiarkan kembali ke ide awal post ini, saya merasakannya banyaknya perubahan yang nyata terjadi. Yang pertama tentu saja waktu. Seperti yang saya jelaskan di awal, waktu untuk saya sendiri berkurang hebat dan terasa sialan. Waktu saya berubah menjadi waktu mereka, dan hasil karya saya berubah menjadi hasil karya mereka. Ketika coretan kecil adalah nista dan revisi adalah kemutlakan. Saya harus tidur di jam 9 untuk bangun di setengah 5 (yang mustahil saya lakukan karena secepat apapun saya berusaha tidur, saya terlelap di jam 10). Saya harus berangkat dan pulang di jam yang tepat, karena 5 menit adalah imbang dengan 1 jam. Logis? Dan saya hanya bisa tertawa tentang semua itu.

Ya, perubahan terbesarnya adalah waktu. Repetisi. Yang kemudian merembet menjadi ketidakpuasan dan kejenuhan. Mesin.Di awal kejenuhan saya, saya berusaha mengabaikan semua itu. Berusaha menerima banyak hal dengan bahagia, dan berusaha mencari kegiatan lain. Saya mengumpulkan beberapa teman dan membuat program beasiswa, sehingga saya punya cukup waktu untuk kegiatan saya sendiri di luar (selain bermain City of Wonder). Di waktu saya yang lain saya membeli 5 tumpuk komik dan memuaskan semua keinginan yang tertunda. Kembali terbenam di panel panel gambar dan sesekali terharu karena petualangan yang begitu luar biasa (yang saya tidak akan pernah bisa mengalaminya). Saya menulis ketika saya ingin menulis dan kadang membiarkan banyak hal tertinggal di meja makan.

Sayangnya, hidup masih akan terus berjalan seperti ini. Dan saya masih berhasil untuk multi tasking menuliskan post ini (di sela-sela kalkulasi valve yang data prosesnya selalu ngaco) walaupun dengan kadar otak yang (entah mengapa) terasa semakin mengecil. Artinya, saya mungkin hanya mengeluh sesaat (walaupun saya benci sekali keluhan).  Dan besok, saya masih akan tersenyum untuk membagi kebahagiaan dan membungkus bekal makan siang. Pada akhirnya, saya bersyukur masih bisa mempunyai kesempatan meracau lewat kata :)

And when people said find a passion not just a job. Oh, I seriously thought you’re just being funny. It has never been in the same line anyway.