Belajar Tentang Belajar

(Ditulis di bulan November 2024)

Minggu kemarin, anak pertamaku baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-5! Beberapa hari kemudian, di acara presentasi bulanan sekolah, ketika ngobrol sama ibu-ibu lain, aku ditanya apakah anakku akan mengulang TK B atau masuk SD. Jujur, aku juga tidak tahu jawabannya. Aku baru menyadari bahwa benar yang orang-orang bilang, aku lempeng banget menghadapi hidup :)) Ketidakambisan ini, apakah sebuah blessing atau curse? Haha.

Sebenernya, aku tidak punya rencana yang matang soal sekolahan anak. Waktu itu, anakku masuk TK A di umurnya yang baru 3 tahun karena memang aku tidak sanggup lagi menstimulasi dia di rumah, apalagi ada tambahan anggota keluarga baru. Kebetulan memang sekolahnya ini bisa mulai masuk kapan saja, tidak mengikuti jadwal tahun ajaran yang pakem. Hari Jumat mencoba trial sekolah, Senin langsung masuk dan bayar SPP. Aku mengira anakku akan dimasukkan ke Kelas Bermain, but somehow he tricked everyone else to believe that he is able to learn in kindergarten. Tentunya ada beberapa kesulitan, tapi di setiap pertemuan dengan guru entah kenapa aku selalu dikasih tahu bahwa anakku mampu mengikuti kegiatan sehari-hari dengan baik. Progress-nya selalu terlihat dan kalaupun ada kesulitan, ada juga kemauan untuk menghadapinya (walau harus diberi motivasi tambahan). Jadi waktu dia direkomendasikan naik ke TK B, aku juga cukup kaget.

Setelahnya, akupun baru tahu bahwa di TK B ternyata sudah ada pengenalan menulis, membaca, dan berhitung (calistung). Aku kembali terkejut, dikirain cuma hore-hore doang :))

Aku kemudian bertanya pengalaman teman-teman lainnya, ternyata memang beberapa tes masuk SD sudah ada calistung-nya jadi beberapa TK seakan “harus” membekali muridnya dengan kemampuan tersebut. Jadilah di laporan harian dan laporan 3 bulanan, aku sering mendapatkan bahwa anakku kesulitan mengikuti pelajaran khusus calistung. Belajar calistung ini sebenarnya durasinya singkat, paling cuma 30 menit dari waktu sekolah selama 4 jam lebih.

TK anakku ini adalah sekolah inklusif. Kelasnya merupakan kelas kecil di mana di mana kegiatannya digabung dengan siswa yang berkebutuhan khusus. Jadi, sebenernya nggak masalah ketinggalan, karena memang kecepatan belajarnya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing anak. Tapi kalo dibandingkan dengan teman-temannya yang lain, anakku dikatakan lumayan tertinggal.

Heboh dong, suamiku sampai tidak kuat mendengar kalau anaknya tidak mampu mengikuti pelajaran (haha, drama juga dia rupanya). Eyangnya langsung nyuruh masuk Bimba dan membelikan buku-buku pelajaran. Jujur, aku tidak punya privilege untuk memindahkan anak ke sekolah lain kalau nggak cocok dengan cara belajarnya (seperti halnya ibunya Maudy Ayunda). Jadi kupikir kalau memang itu sistem belajarnya, ya sudah diikuti saja sesuai aturan main yang berlaku.

Akhirnya, aku ngobrol sama anakku dan bertanya apakah dia mau mengulang TK B atau masuk SD. Aku menjelaskan satu persatu konsekuensinya. Sebenernya aku kurang tahu, apakah valid bertanya kepadanya. Tapi pada akhirnya kan dia yang sekolah ya, bukan aku :))

Aku jujur saja memang tidak mengalokasikan waktu khusus untuk belajar setiap hari, tapi kemampuan pra menulis, motorik halus dan motorik kasar sudah cukup kulatih. Aku juga sudah membiasakan dia dengan angka, berhitung, dll.

Aku berkali-kali bilang ke anakku, “Kamu bukannya tidak bisa, tapi tidak terbiasa.” Tentu ini adalah afirmasi, karena percaya diri menurutku penting buat anak. Kalau dari awal sudah dibilang tidak bisa, nanti takutnya beneran tidak bisa. Walaupun aku sendiri sering sekali tidak percaya diri dan nilai self-esteem aku kadang minus, tapi setidaknya anakku nggak tahu :))

***

Akhirnya setiap sore, kita paket kejar tayang. Awalnya deg-degan mengorbankan waktu masak makan malam di jam-jam kritis. Aku bilang dengan jujur kalau waktu belajarnya telat, kita makan malamnya juga akan telat. Alokasi waktu belajarnya untuk calistung dan IQRA (aku memang tidak memasukkan dia ke les apa-apa karena lelach nganternya). Aku tidak punya ekspektasi berlebih, aku cuma ingin membiasakan anakku untuk belajar. Tapi yang bikin aku sendiri terkejut, sedikit waktu untuk belajar itu ternyata works like magic.

3 hari pertama adalah waktu yang penuh tangis, teriakan-teriakan, juga nada tinggi. Telat makan, telat tidur, telat sholat (Ya Allah, maafkan hambaMu). Tapi selanjutnya udah tuh, nggak drama. Ternyata bener ya, buat anak 5 tahun ke bawah menumbuhkan kebiasaan itu adalah kunci 🥲

Buat berhitung, this cheap made-in-China book is so good. Minggu pertama cuma ngerjain beberapa soal tapi lama kelamaan, steady di 2 halaman (60 soal). Aku rekomendasi sekali buku ini karena ada jenjangnya (angka 1-10, angka 10-20, angka 0-50, dst) juga tidak ada polanya. Ini bisa banget melatih dan membiasakan anak dalam hitung menghitung. Kami sekarang sudah ada di buku ke-3 (angka 0-50), again with no expectation.

Aku juga beli beberapa buku Kumon. Menurutku metodenya terstruktur dan bagus banget. Soal-soalnya berjenjang, dan ada tingkat kesulitan yang jelas. Harganya mahal sih, tapi masih worth the price kalau menurutku. Jenis bukunya tuh banyak banget, tapi aku bakal rekomendasi untuk anak di bawah 5 tahun yang ini dan ini untuk menguatkan kemampuan motorik halus dengan menyenangkan. Untuk TK sendiri bisa coba yang Logic for Pre-K dan Kindergaten.

Selain membiasakan berhitung, kadang aku juga melatih pemahaman dia akan cara berhitung dengan membuat soal cerita:

  1. Ada 3 Pikachu di rumah, lalu 4 Pikachu lainnya datang untuk berpesta. Ada berapa Pikachu di rumah itu?
  2. Di sebuah padang rumput, ada 2 Pikachu sedang bermain. Lalu Ash, Misty, dan Brook datang membawa Vulpix dan Psyduck. Ada berapa Pokemon yang ada?
  3. Di sebuah tambang, ada 5 Pikachu sedang menambang emas. Lalu datanglah, Gengar, Articuno, Moltres, dan Lapras. Ada berapa Pokemon Legendary yang ada di sana?

Ini kadang-kadang, aku main-main doang tapi ternyata dia senang jawabnya.

Kalau mau belajar IQRA, konsistensi adalah kunci. Kerasa banget kalau skip sehariii aja, biasanya bakal lupa-lupa.

Kalau belajar membaca, aku juga masih meraba-raba. Sampai saat ini latihannya cuma seputar membedakan huruf kecil dan besar lewat menempel poster alfabet, nanya random yang mana huruf apa, latihan bacain plat mobil di depan, dll. Salah satu buku yang aku rekomendasikan adalah yang ini.

***

Pengasuhan anak itu selalu reflektif untuk orang tua. Akupun bertanya dan mengingat bagaimana caraku belajar dan bagaimana aku ingin dibantu.

Orang tuaku adalah sandwich generation, jadi di rumah memang tidak sempat mengurus anak belajar. Kalo nilaiku jelek, aku akan disuruh belajar lebih banyak. Tapi tidak akan ditanya bagian apa yang tidak bisa. Kadang disuruh les atau dipanggilin guru ngaji. Aku sebenarnya ingin mengubah itu dengan lebih hadir dalam pembelajaran anak.

Aku sendiri tidak terlalu berbakat belajar, tapi aku suka belajar. Kalau dijelaskan sesuatu di kelas, kadang aku tidak langsung menangkap. Jadi selain mencatat sedetil-detilnya, aku akan mengulang-ngulang hal yang sama berkali-kali. Kalau dikasih PR dengan waktu 1 minggu, aku harus mengerjakan hari itu juga karena aku tahu bahwa aku tidak bisa mengerjakan mepet waktu. Karena sadar kalau aku lebih lambat dibanding yang lain, jadi akupun harus lebih banyak belajarnya. Prinsipku, kalau sudah mengerjakan ratusan kali dan dibaca berulang-ulang, masa sih nggak bisa juga? Tapi ada sih, yang nggak bisa :))

Kadang ada pelajaran yang tidak bisa kukejar tepat waktu, karena kita diberikan tenggat waktu yang sama walaupun kemampuan kita lebih lambat. Tapi yang penting, aku tidak mengambil shortcut apapun bentuknya.

Setiap dari kita pasti punya ritme dan kebiasaan berbeda dalam belajar. Punya bakat, nilai-nilai diri, dan nilai-nilai keluarga yang berbeda. Anak kita mungkin punya kemampuan yang juga berbeda. Situasi zamanpun sudah berganti dengan tantangan yang berbeda. Akupun kembali overthinking.

Apakah aku bisa menurunkan nilai-nilai atas pentingnya belajar seumur hidup ataupun ‘berpikir kritis’ yang digadang-gadang sebagai kemampuan penting yang dibutuhkan di tahun 2030? Apakah aku akan tenang membentenginya dengan “sekolah bagus” dan “les bagus”? Aku ingin membersamai anak belajar, tapi kadang aku bertanya-tanya, sampai kapan dan sejauh apa aku bisa melakukannya? While those thoughts are spiraling inside my head, I took sometime to ask back to myself. What made me?

Aku melihat orang tuaku yang bekerja keras, yang terus berusaha sebaik-baiknya. Walaupun aku tidak dibantu belajar sehari-hari, tapi rasanya aku bisa mengambil yang baik-baik dari keseharian mereka untuk menjadi bagian dari hidupku. Aku juga ingin dilihat seperti itu oleh anak-anakku. Aku ingin mereka melihatku yang selalu berusaha sesulit apapun tantangannya dan memberikan yang terbaik dalam setiap hal. Walaupun jawabannya terasa abstrak tapi mungkin aku bisa mulai dari hal-hal kecil, setiap harinya. Menjadi sesuatu yang terus bergerak, yang terus bangkit, dan terus ada.

One thought on “Belajar Tentang Belajar

  1. ahh.. thank you for your writings.
    somehow you make me feel at peace. :)
    you are gifted! i knew it! hehe.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.