Sebenarnya, saya sama sekali tidak merencanakan untuk pergi ke luar negeri di tahun ini. Karena dananya tidak ada (hiks sedih) dan kurs dollar memang sedang melambung di kala itu. Tapi tiba-tiba, teman saya Titis berkata bahwa dia sudah punya tiket one way ke Ho Chi Minh. Then, it escalated quickly. Beberapa teman ikut membeli tiket yang sama dan grup Whatsapp khusus pun sudah dibuat. Di kesempatan lainnya, Liza bercerita kalau beliau sudah hamil beberapa minggu dan kemungkinan perjalanan ini menjadi perjalanan terakhirnya untuk beberapa tahun ke depan. Atau mungkin perjalanan terakhir kami, hiks sedih lagi :( Sayapun memutuskan untuk berangkat di saat-saat terakhir. Alhamdulillah juga, saat itu dollar turun drastis dan kami cukup bisa menghemat sejumlah uang dari perkiraan semula. Bisa dibilang, ini salah satu perjalanan saya yang paling mendadak dan minim pengetahuan.
Rute yang direncanakan adalah Jakarta – Singapore – Ho Chi Minh (Vietnam) – Phnom Penh (Kamboja) – Siem Reap (Kamboja) – Bangkok (Thailand) – Jakarta. Karena saya membeli tiket di saat-saat terakhir dan karena tidak mempunyai jatah cuti berlebih akhirnya memutuskan untuk tidak mengikuti perjalanan sampai selesai. Sehingga rute yang saya lalui cuma Jakarta – Ho Chi Minh (Vietnam) – Phnom Penh (Kamboja) – Siem Reap (Kamboja) – Jakarta.
Gaya Travelling
Ketika merencanakan perjalanan, kami sudah banyak mendengar cerita miring soal scam di Kamboja ataupun insiden pencopetan di Vietnam. Tapi karena pergi bersama rombongan (kami berangkat berenam), jadi kami masih merasa aman. Saya sendiri TIDAK MENYARANKAN SAMA SEKALI solo travelling ke sana kalau kamu perempuan. Ini pendapat saya pribadi sih, tapi memang dari segi keamanan ataupun biaya, akan lebih baik jika kita pergi dalam rombongan.
Membawa ransel atau koper menurut saya, keduanya dapat dilakukan. Tapi mengingat bahwa kamu sebaiknya menjaga barang pribadi sebaik-baiknya di sana, bawalah tas seringkas mungkin. Jika membawa day pack ataupun sling bag, selalu dekatkan tas sedekat mungkin dengan kamu. Mungkin terlihat berlebihan, dan sebenarnya kami tidak mengalami tindak kejahatan apapun di sana, tapi kami cukup banyak mendengarkan pengalaman buruk turis lainnya selama perjalanan
Visa
Vietnam dan Kamboja bebas biaya visa untuk pengunjung dari ASEAN, jadi jangan mau jika harus membayar sejumlah uang di imigrasi manapun. Dalam perjalanan pulang, saya duduk di depan seorang turis Australia yang diminta membayar 99 USD untuk biaya visa. Tapi karena merasa terlalu mahal dan menolak membayar sejumlah itu, turis ini akhirnya membayar 50 USD. Padahal harga visa semula untuk turis luar ASEAN adalah 37 USD.
Bahasa
Di tempat wisata dan pusat perbelanjaan Ho Chi Minh, rata-rata para petugasnya lumayan bisa menggunakan Bahasa Inggris walaupun dengan logat dan pelafalan yang sulit dicerna. Sedangkan di Kamboja, semuanya tampak lebih fasih berbahasa Inggris.
Mata Uang
Vietnam dan Kamboja menerima mata uang USD. Jadi menurut saya, kamu cukup membawa USD saja. Di Vietnam, uang kembalian akan diberikan dalam Vietnam Dong. Sedangkan di Kamboja, uang kembalian akan diberikan dalam USD dan Riel (jika uang kembaliannya kurang dari 1 USD). Kalau bisa, di hari-hari terakhir baiknya kamu menukar uang kembalian ini ke USD, karena akan lebih berguna di kemudian hari.
Makanan
Kalau benar-benar mencari restoran yang tidak menjual pork, agak sulit dilakukan di Vietnam ataupun Kamboja. Kalau di Ho Chi Minh bisa mencoba restoran pho halal yang terletak di sepanjang jalan di depan Ben Thanh Market. Restoran-restoran ini bahkan menerima pembayaran dengan Rupiah atau Ringgit :P
Di Kamboja sendiri, harga makanan rata-rata sekitar 3 – 8 USD dengan harga minuman sekitar 1 – 3 USD. Kalau di lidah, rasa makanannya agak kurang asin (hidup MSG!) dan banyak sekali makanan dengan bahan dasar sayur.
Kami sempat makan siang di sebuah rumah makan bernama Romdeng di Phnom Pehn. Romdeng adalah salah satu bagian dari Friends International, organisasi yang memberikan bantuan pengetahuan dan keterampilan untuk anak-anak terlantar di beberapa negara di Asia. Semua pekerja di Romdeng, terutama koki dan waiter-nya adalah bekas anak-anak jalanan yang mengikuti program pelatihan tersebut. Makanan di Romdeng ini porsinya cukup besar dan harganya juga lumayan mahal. Tetapi restoran ini memang lebih mewah dibandingkan dengan tempat lainnya yang kami kunjungi. Kami mendapat tempat duduk di patio dekat kolam renang dan suasananya cukup menyegarkan.
Keistimewaan lainnya di Romdeng ini adalah… Tarantula :)) Ada menu tarantula goreng dan sup semut merah yang bisa kamu coba. Setelah makan, kami juga ditawari untuk melihat tarantula hidup yang tidak beracun. Sumpah tarantula-nya dianter ke meja!
Akomodasi
Saya tidak menginap di Ho Chi Minh, karena saya berangkat lebih lambat dari teman-teman lainnya. Selama di Phnom Penh, kami menginap di Aura Thematic Hostel. Hostel ini super nyaman dan memiliki kamar-kamar yang bertema. Ada roof top bar juga, kalau kamu meninggalkan review baik di TripAdvisor kamu akan mendapatkan welcome drink gratis. Nilai plus lainnya, WC-nya bersih dan bahkan ada teman yang mendapatkan kamar yang memiliki bath tub. Kekurangannya, walaupun posisinya dekat dengan Royal Palace, tempatnya agak gelap di waktu malam. Lagi-lagi tidak disarankan untuk berjalan-jalan sendirian jika sudah gelap. Harganya 8-9 USD/malam, sudah termasuk breakfast sederhana (telur + roti + kopi/teh + buah).
Di Siem Reap, kami menginap di One Stop Hostel. Hostelnya so-so sih. WC-nya tidak ada air, tapi bersebelahan dengan kamar mandi. Untuk mengisi air minumpun, kita diharuskan membayar 0.5 USD/liter :( Tapi posisinya memang sangat strategis, banyak pilihan tempat makan/restoran, minimarket, money changer, ATM, bahkan tempat spa. Jaraknya juga sangat dekat dengan Old Market, Night Market dan Pub Street. Harganya sekitar 8 USD/malam.
Transportasi
Dari bandara Ho Chi Minh ke tengah kota sebaiknya menggunakan taksi yang dipesan di dalam bandara kalau kamu pergi dalam rombongan. Ada opsi naik bis juga, tapi tidak terlalu efektif.
Dari Ho Chi Minh (Vietnam) ke Phnom Pehn (Kamboja), kami menggunakan bis Giant Ibis. Tiketnya 18 USD dan bisa dibeli secara online. Harga tiketnya sudah termasuk snack dan minuman gratis. Busnya sangat nyaman, terdapat socket untuk charger dan WiFi selama perjalanan. Petugas bus sangat kooperatif membantu kami melewati imigrasi Kamboja.
Dari Phnom Pehn ke Siem Reap, kami kembali menggunakan bis Giant Ibis. Untuk bis overnight ini, bisnya tipe sleeper dengan tempat tidur tingkat di dalamnya. Lucu sih, walaupun ada dua susun tempat tidur, tinggi bisnya tidak diubah. Jadi ada kemungkinan kamu akan terantuk langit-langit :)) Saya merekomendasikan ambil seat upper karena kamu akan kedapatan di sebelah jendela. Dalam bisnya tersedia toilet dan kami dibekali dengan bantal, selimut, snack dan minum gratis. Tiket untuk bis ini 15 USD.
Karena saya tidak mengikuti perjalanan ke Thailand, saya kurang bisa memberikan rekomendasi. Tapi teman-teman saya naik Bis Nattakan dari Siem Reap (Kamboja) ke Bangkok (Thailand). Tiket bisnya 28 USD tapi penampakannya sangat reyot. Sepanjang jalan, bis menaikkan penumpang gelap yang diizinkan duduk di lantai. Saya cukup kaget dengan review buruk teman-teman saya karena sebelum berangkat, kami sempat melakukan research dan bis ini memiliki rekomendasi baik. Pilihan bis lainnya ada Virak Buntham Direct Bus, tapi review buruknya lebih banyak lagi (ada review yang mengatakan bahwa barang mereka dicuri ketika mereka sedang tidur).
Untuk transportasi dalam kota selama di Kamboja bisa menggunakan Tuk Tuk. Kerahkan semua kemampuan menawar kamu dan jangan segan untuk ‘sok jual mahal’ dengan meninggalkan si driver Tuk Tuk sampai mendapat harga yang sesuai. Kamu bisa memesan Tuk Tuk via hostel tempat kamu menginap jika kamu ragu untuk menawar. Di Siem Reap, harga untuk berkeliling Angkor Wat selama 7 jam dengan memesan via hostel adalah 17 USD. 1 Tuk Tuk bisa dipakai oleh 3 orang (tapi ada juga driver Tuk Tuk yang nekat dan membawa 4-6 orang dalam 1 Tuk Tuk).
Kami sendiri dipepet oleh seorang driver Tuk Tuk bernama Rocky sesampainya di Phnom Penh, karena kami agak malas menawar jadi kami mendapat harga yang lumayan mahal (50 USD/6 orang untuk keliling kota seharian kemanapun kami mau, dari jam 8 pagi – 10 malam). Setelah kami bandingkan, harga standarnya mungkin 15 USD/tuk-tuk dari pagi hingga sore.
Mas Rocky ini fasih berbahasa Inggris (dan memiliki IPhone 5c yang diakuinya didapat dari seorang turis Switzerland). Sebelum kami berangkat ke Siem Reap, dia juga menawarkan service Tuk Tuk lewat temannya bernama Lucky selama di sana. Harga Tuk Tuk temannya ini tak kalah mahal, kami diharuskan membayar 10 USD/orang :( tapi karena sudah dijemput dan tidak bisa ditawar lagi, akhirnya kami setuju membayar harga tersebut. Sedihnya, tidak seperti Rocky yang mau mengantarkan kami sampai malam, para driver Tuk Tuk ini cuma mau mengantar kami sampai jam 4 sore. Kami sedikit kecewa karena mereka tidak menginformasikan hal tersebut sejak awal. Saya juga diharuskan membayar lagi untuk minta diantar ke bandara keesokan harinya. Moral of the story, lebih bijaklah sebelum mempercayai driver Tuk Tuk :))
Tujuan Wisata
Karena cuma berkeliling beberapa jam di Ho Chi Minh, saya cuma bisa menikmati War Remnants Museum dan Ben Thanh Market. War Remnants ini menurut saya museum yang lumayan bagus kalau kamu suka sejarah. Galeri fotonya juga sangat menggugah walaupun ada beberapa bagian yang disturbing. Yang paling berkesan adalah section khusus tentang Agent Orange, yaitu penggunaan senjata biokimia selama Perang Vietnam yang menyebabkan kelainan fisik terhadap bayi dan penduduk sekitar. Menurut cerita teman saya, di Hanoi ada juga museum yang bertema sama.
Vietnam ini mungkin layaknya Dorne kalau di Game of Thrones. Satu-satunya negara yang tidak bertekuk lutut terhadap Amerika Serikat.
Di Phnom Penh, wisatanya masih seputar sejarah, terutama cerita Kamboja di masa agresi Khmer Rouge dan Polpot. Kami mengunjungi Killing Field Choeung Ek dan Tuol Sleng Genocide Museum. Tuol Sleng adalah sebuah penjara paling terkenal berkode S-21, tempat interogasi penduduk oleh anggota Khmer Rouge. Tidak jelas sebenarnya apa yang diinterogasi, karena para petinggi negara dan rakyat biasa ikut dimasukkan di sini. Karena penyiksaan yang terlalu sadis, para tahanan terpaksa berbohong dan menuduh orang lain demi bertahan hidup. Ada ilustrasi cara penyiksaan dan interogasi, juga ruangan-ruangan penjara yang tetap dibiarkan seperti semula. Foto-foto dokumentasi para tahanan ditampilkan lengkap di sini, ada juga ruangan yang penuh dengan tengkorak para korban :(
Killing Field sendiri adalah tempat pembunuhan para tahanan karena penjara Tuol Sleng tidak muat lagi menampung jumlah mayat yang ada. Letaknya sekitar 15 km di luar kota dan biaya masuknya 3 USD. Kalau ingin meminjam guide dalam bentuk sound recorder, kita diharuskan membayar 3 USD lagi. Lewat guide, diceritakan kekejaman penyiksaan dan pembunuhan yang terjadi di sini. Banyak juga tulang dan rahang korban yang masih tercecer di tanah dan dibiarkan tetap berada di sana. Didirikan juga sebuah museum kecil yang memutar film dokumentasi di jam-jam tertentu dan monumen di mana terdapat kumpulan tengkorak-tengkorak yang ditemukan, serta hasil otopsi dan senjata yang menyebabkan kematian mereka.
Sedih sekali mengetahui bahwa hanya karena ideologi sejumlah orang, hampir 1/4 penduduk Kamboja musnah. Lebih mirisnya lagi, para petinggi partai ini adalah orang-orang terpelajar yang sempat mengeyam pendidikan tinggi di luar negeri. Bangunan-bangunan penting seperti bank dan gedung pemerintahan diratakan dengan tanah. Lambang agama seperti patung Buddha dihancurkan kepalanya. Khmer Rouge hanya berkuasa selama 4 tahun tapi luka batinnya bertahan sampai sekarang. Sila membaca tautan dari CNN berikut untuk referensi lebih lanjut: Scars of the Khmer Rouge: How Cambodia is healing from a genocide.
Royal Palace sendiri sangat mewah dan punya koleksi beragam. Pastikan menyewa (dan menawar) guide selama di Royal Palace ini. Banyak hadiah pemberian dari negara lain untuk Kamboja yang dipamerkan di sini. Seperti granit berwarna pink yang digunakan sebagai pilar untuk sebuah bangunan yang didatangkan langsung dari Italia. Ataupun patung buddha emas dari Perancis. Mungkin banyak negara yang merasa bersalah karena tidak memberikan bantuan kepada Kamboja di saat yang tepat karena perhatian mereka terfokus pada Perang Vietnam yang baru saja berakhir. Koleksi favorit saya adalah sebuah patung Buddha yang 100% terbuat dari batu giok.
Para petugas kerajaan diharuskan mengenakan warna baju yang berbeda untuk setiap hari dalam seminggu :3
Kami sempat sangat depresi setelah mengunjungi Killing Field dan Genocide Museum, sehingga hanya mampu mengunjungi dua tempat lain setelahnya. Tapi menurut saya, memang tempat ini sangat worth it untuk dikunjungi. Sebelumnya, kami hanya sedikit mengetahui tentang sejarah Kamboja ataupun Vietnam dan ketika melihatnya dengan mata sendiri, impact-nya sungguh berkali lipat.
Suasana di Phnom Pehn sudah cukup maju, walaupun tertinggal jauh jika dibanding Ho Chi Minh. Banyak daerah kumuh, sampah yang berserakan, kabel listrik yang simpang siur, ataupun jalanan yang rusak. Tidak aneh karena mereka harus memulai semuanya dari awal lagi setelah agresi. Daerah tepi sungai Mekong sangat ramai di waktu malam, jadi makan di salah satu restoran di sana atau mengunjungi night market merupakan pilihan yang bagus untuk mengisi waktu. Oh iya, pool bis Giant Ibis berada tepat di depan night market dan Sungai Mekong jadi kita bisa menitip tas sembari berkeliling daerah ini.
Di Siem Reap, kami sama sekali tidak memiliki tujuan lain selain Angkor Wat. Komplek Angkor Wat sendiri sangat besar, jadi pastikan kamu sudah menentukan spot atau tujuan terlebih dahulu. Bisa merujuk ke tautan ini untuk beberapa pilihan kuil yang menarik. Oh iya, Angkor Wat ini sangat baik jika dikunjungi ketika sunrise/sunset. Tapi kami tidak mendapatkan kedua momen tersebut karena terlalu siang sampai di Siem Reap dan seperti yang sudah diceritakan, driver TukTuk kami tidak mau mengantar kami melihat sunset *sigh*.
Masuk candi aja antri :))
Kalau ditanya apakah Angkor Wat sebagus foto-foto yang beredar? Ya, tapi saya akui memang ada foto yang filter-nya terlalu heboh. Tapi yang pasti, Angkor Wat sungguh RAMAI (sekali lagi saya bold dan underline). Kami memang berkunjung pada hari Sabtu tapi kami tidak menyangka pengunjungnya sebanyak itu. Komplek candi ini sendiri sangat besar jadi walaupun banyak orang, masih ada banyak space untuk bernafas. Tidak semua tempat seramai foto candi di atas, kok.
Candi favorit saya adalah Ta Prohm. Kuil ini dikenal sebagai tempat syuting Tomb Raider. Awalnya saya sempat berburuk sangka bahwa tempatnya pasti overrated, ternyata candi ini sangat rindang dan pohon-pohonnya sungguh luar biasa indah.
Tempat wisata lainnya di sekitar Siem Reap kebanyakan berupa kegiatan memperoleh keterampilan, seperti kunjungan ke peternakan ulat sutra, belajar membuat keramik, cooking class, dll. Ada juga pilihan lain seperti menonton Siem Reap Circus, tiketnya bisa dibeli online senilai 18 – 35 USD. Tapi karena sudah kehabisan uang, akhirnya kami menghabiskan waktu malam dengan mencari oleh-oleh dan makan di sekitaran hotel :)) Tips menawar di Old Market, tawar 1/3 – 1/4 dari harga awal. Bisa juga membeli dalam jumlah borongan untuk mendapat diskon.
Siem Reap memang hidup di waktu malam, banyak sekali pilihan nongkrong di berbagai macam restoran dan pilihan street food yang tampak menarik. Sila merujuk ke sini untuk guide seputar makanan di Siem Reap.
Overall
Menurut saya, walaupun Kamboja sangat overpriced, banyak pelajaran sejarah dan refleksi diri yang bisa didapat di sini. Pengalaman-pengalaman yang memang harus dilihat dan diketahui sebagai manusia selama hidup. Perasaan saya masih campur aduk setelah pulang, aneh rasanya memiliki perasaan yang tidak bisa saya ungkapkan dengan baik. Kalaupun ada pengalaman buruk, ataupun mendengar hal-hal yang tidak enak dengan penduduk di sana, saya sangat maklum setelah mendalami banyak artikel tentang sejarah kedua negara tersebut di perjalanan pulang.
Selama ini memang saya cuma pernah mengunjungi negara-negara yang lebih maju, dengan transportasi yang lebih baik. Tapi memang manusia harus melihat ke sekitar dan ke bawah terlebih dahulu untuk lebih terpacu mengejar ke atas. Saya bersyukur memutuskan ikut di perjalanan ini dan bersyukur lebih banyak untuk kehidupan setelah ini.
PS: Kalau punya kesempatan lain mengunjungi negara Asean, mungkin saya akan pilih Thailand, lalu naik kereta via Penang ke Malaysia dan Singapura.