Beberapa tahun lalu, saya sempat hampir menangis ketika menonton campaign Like a Girl dari Always. Campaign tersebut banyak mengubah pandangan saya tentang melihat sosok perempuan di masyarakat. Fast forward ke hari ini, Puty yang baru saja merilis koleksi terbaru Fat Bunny mengirimi saya bonus shopping bag Fight Like a Girl bergambar Rey dari Star Wars (padahal saya sudah borong 2 tote bag lainnya, hahaha) and it’s almost teared me up. Bukan cuma karena saya dikasih surat dari Puty atau tapi karena Puty bilang I suit that tote.
Saya jadi bertanya ke diri sendiri apakah sebenarnya saya sudah cukup memperlihatkan semangat Fight a Like a Girl di kehidupan sehari-hari? Kapankah sebenarnya momen Fight Like a Girl ini bakal terpenuhi?
First, let me give you a couple of (not so) random things:
Karakter Rey adalah sebuah kebahagiaan buat saya. Ketika Star Wars: The Force Awaken rilis, nggak terkira betapa bahagianya saya melihat Rey (dan Daisy Ridley) di layar lebar dan nggak hentinya kagum bagaimana mungkin karakter seperti ini bisa hadir di sebuah franchise Star Wars yang notabene mempunyai salah satu fandom terbesar di dunia. Tapi Rey sendiri sempat dikritik oleh beberapa orang karena dianggap menggambarkan karakter Mary Sue yang terlalu sempurna sehingga kurang relatable dengan penonton. Sepanjang film, Rey memang diperlihatkan sangat cool. Jago bertarung, bisa memperbaiki Millenium Falcon, ataupun ternyata bisa menggunakan The Force yang sanggup menandingi Kylo Ren.
Mungkin sebelumnya Star Wars memiliki karakter-karakter perempuan lainnya seperti Princess Leia. Tapi kalau kamu mencoba pencarian Google, ‘Princess Leia Slave’ akan muncul di salah satu suggestion teratas. Hal itu bukannya tidak berdasar, kostum bikini emas Leia adalah salah satu hal yang sangat kontroversial dan melambungkan nama Carrie Fisher sebagai sex symbol pada zamannya (juga sangat disturbing buat saya).
Di putaran pertama Pilkada DKI kemarin, Ibu Sylviana Murni mencoba peruntungan menjadi salah satu kandidat calon wakil Gubernur. Melihat rekam jejak beliau yang sempat tersandung kasus dana Bansos mungkin kita jadi mempertanyakan kinerja beliau karena beberapa jawabannya di debat Pilkada tidak terlalu memuaskan. Tapi kritikan terbesar pada debat pertama Pilkada di kala itu malah seputar foundation apa yang dipakai Bu Sylvi atau bajunya yang tampak kekecilan. Belum lagi beliau hanya sedikit diberi kesempatan berbicara oleh calon gubernurnya. Mungkin Bu Sylvi tidak sempurna, tapi menyerang secara fisik juga bukan contoh kritik yang membangun.
Di salah satu forum ibu-ibu muda, nggak jarang saya melihat komentar-komentar yang terkesan menggurui karena sang komentator sudah lebih senior seputar punya anak ataupun karena anaknya sudah lebih banyak. Tapi terkadang, komentarnya sudah melewati batas teritori ‘bukan urusan dia’. Bahkan saya yang belum mengerti susahnya jadi ibu, kadang sampai kesal sendiri.
Di berbagai kanal social media, nggak sedikit orang yang meninggalkan komentar sindirian atau negatif di foto pernikahan Fedi Nuril dan membandingkan istrinya dengan Raline Shah (yang saya nggak habis pikir apa maksud dan tujuannya). Ataupun bagaimana Mulan Jameela yang tidak akan pernah lepas dari label ‘perebut suami orang’, sehingga hal apapun yang dipost akan menuai komen yang sangat pedih. Duh ketahuan deh suka nonton gosip :P
Saya pernah menulis bagaimana pandangan saya tentang status single yang penuh hinaan ataupun tentang pernikahan yang bukan sekedar persoalan cinta dan cukup umur. Tapi kemudian, salah satu teman yang saya kenal dengan background pendidikan yang cukup tinggi berkata: “Kalau perempuan yang belum menikah di atas 25 tahun itu kayak barang obral, nilainya udah turun”. And I must say, it’s trully offensive. Please let me say this: do not let anyone else define you by your age or gender. Ada sih perasaan ingin marah sama si pembuat kesimpulan tapi perasaan miris saya jauh lebih besar. Apakah hanya segitu saja nilai perempuan di mata masyarakat? Dinilai dari sudah tidaknya dia menikah atau berapa banyak anak yang dimiliki?
Di beberapa artikel yang pernah saya baca, kadang kata feminist sering mengalami degradasi arti. Banyak anggapan bahwa yang namanya feminist itu cuma sekumpulan cewe-cewe yang kerjanya tersinggung, ngeluh, terus ngomel marah-marah tanpa berbuat apa-apa. Dixie pernah menuliskan tentang hal-hal yang kadang dianggap normal di Indonesia seperti cat calling di blognya. Di bagian kolom komentar, banyak yang menceritakan pengalamannya dengan reaksi yang berbeda-beda. Lama kelamaan, I feel sorry for being that part of community. Hal semacam ini dibiasakan dan mengakar karena lingkungan kita sendiri membiarkan mereka berbuat seperti itu. Sebenarnya sebagian besar dari mereka nggak tahu hal seperti itu adalah salah satu bentuk sexual harassment. Membaca tulisan Dixie, alih-alih miris dan sedih saya malah jadi tergerak untuk berhenti membiarkan hal-hal semacam itu. Misuh-misuh memang kadang membuat lega, tapi alangkah baiknya kalau kita bisa membentuk lingkungan di mana orang tua bisa merasa lega karena anak perempuannya aman di luar sana.
Beberapa waktu yang lalu, aksi Women’s March digelar di Amerika dan beberapa negara lainnya. Aksi ini turut dipicu oleh terpilihnya Donald Trump sebagai presiden yang dinilai sexist dan tidak berpihak pada perempuan. Tetapi aksi masal yang melibatkan hampir 5 juta orang di seluruh negara ini tidak mengubah perlakuan Trump kepada perempuan. Seruannya kepada para staf perempuan kepresidenan “to dress like a woman” mengundang banyak kontroversi. Perkataan tersebut kemudian malah memicu banyak wanita dari berbagai pekerjaan, suku, agama, dan umur untuk menunjukkan how to dress like a woman. Mereka memperlihatkan bagaimana cara mereka berpakaian sehari-hari, mulai dari pemadam kebakaran, astronot, tentara, dan lain-lain. Trully inspiring.
***
Hal-hal di atas semakin meyakinkan saya, yang namanya perempuan mau sesempurna atau setidak sempurna apapun, pasti selalu dekat dengan kritik dan perbandingan. Apakah kita nggak bisa berhenti menetapkan standar bagaimana seharusnya perempuan berlaku di kehidupan sehari-hari? Kenapa harus ada standar itu sedari awal? Apakah memang perempuan harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu untuk dianggap ‘lebih perempuan’?
Saya tahu kalau ancaman cat calling ataupun sexual harassment di luaran jauh lebih berbahaya dari sekedar “gosipin” orang atau membandingkan diri sama tetangga sebelah. Tapi hal-hal seperti ini kadang membuat kita nggak percaya diri untuk banyak hal. Teman saya pernah merasa minder hanya karena seorang teman setiap hari memakai lipstik ke kantor. Apakah hanya karena orang lain pakai lipstik lalu kita harus pakai juga untuk terlihat ‘lebih perempuan’?
No, you should wear one if you want to wear one. You should not base your acts because what anyone else is doing.
Kalau pada akhirnya kita malah menghancurkan satu sama lain dengan standar-standar omong kosong di masyarakat, saya yakin isu kesetaraan gender tidak akan pernah selesai. Instead of throwing shade here and there on each other, let’s just support one another. Let’s embrace each other differences and struggles. Empowered woman should empowers other woman.
Saya terlahir sebagai anak tengah dengan 2 saudara perempuan. Ayah saya selalu mendidik kami untuk nggak berusaha membedakan diri dengan yang lain hanya karena kita menyandang status perempuan. Sebisa mungkin, kita diajarkan untuk nggak meminta special privilege walaupun kalau kebetulan dikasih terasa terbantu. Saya dan kakak sama-sama bekerja di bidang engineering dan kami sudah terbiasa bekerja di lingkungan yang lebih didominasi pria. Walaupun gak pernah mengalami namanya hal-hal aneh di kantor tapi kadang memang sulit menghindari yang namanya stereotype. Saya pernah menuliskan hal serupa di post saya sebelumnya, tentang bagaimana saya tanpa sadar juga suka menggeneralisir orang lain. Perlahan, saya berusaha menghilangkan banyak pikiran buruk kepada orang lain. Then I realize:
Every woman is beautiful in their own way, in their own choices.
Kembali lagi ke pertanyaan awal, kapankah sebenarnya momen Fight Like a Girl ini bakal terpenuhi? Apakah ketika kita jadi anak perempuan yang baik ke orang tua? Apakah ketika kita jadi istri yang baik ke suami? Ataukah ketika sudah jadi ibu yang baik ke anak-anaknya? Apa definisi baik itu sendiri? Saya belum tahu apa jawabannya dan saya belum mau berhenti mencari tahu. Karena pada akhirnya kita cuma bisa berusaha menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. Teruntuk salam kepada semua perempuan yang berjuang tanpa henti untuk karirnya, untuk membesarkan anaknya, untuk membanggakan orang tuanya, untuk mencintai dirinya sendiri, untuk mencintai satu sama lain. You are all awesome already :)
PS: Terima kasih Puty sudah mencerahkan hariku dan membuatku menuliskan post ini :3
Cuppp, seneng banget kalau kamu sukaaa :D Well, I knew it suited you because of this! Look at this post! <3 You've got the spirit Cup and at the same time, you've got your view balanced; fair.
Aku akan menulis juga post tentang fight like a girl ini (belum sempatt… hihi), tapi untukku, fight like a girl merupakan momen dimana perempuan bisa 'berperang' / membela diri melawan apa yang dia anggap tidak benar (yang mana banyak kamu mention di post, ketidak adilan, verbal abuse like cat calling, even insecurity about their own bodies) dengan cara dan keunikannya sendiri tanpa melupakan bahwasannya baik perempuan maupun laki-laki harus respek ke sesama / lawan jenis :)
And you do it, with your writings, artworks, business, & independence.
Cheers to that! <3<3<3
Puty, once again thank you. I think that’s what we need more a fair view towards a lot of things. Because I still believe the old principles of in order to get respect from others, we must first give them the equal respect.
Love this post Cup. Aku setuju sama yang Cupris bilang, banyak standar omong kosong buat wanita, yang ditentuin berdasarkan… what? Culture, tradition, or someone’s opinions? For me, fight like a girl is chasing the things that make you happy and become a better person, and making your mark with your own ways, regardless what society expects you to do/be. Untuk kesetaraan gender aku ngerasa hopeful, ngeliat banyaknya movement dan orang2 yang speak up untuk break the glass ceiling. We’re getting there :)
I actually get a lot of insight from your writings, Dix. So thank you for that :) Yes, I believe that too, we’re getting there.