Sejak beberapa bulan yang lalu, masyarakat Indonesia disuguhkan banyak topik bahasan tentang Pilkada. Media cetak, televisi, dan daring tak hentinya membahas tentang bagaimana peta kekuatan politik, prediksi, maupun hasil survey masing-masing kandidat. Walaupun dikritik terlalu banyak membahas tentang Pemilu wilayah Jakarta, tidak dapat dipungkiri bahwa berita tersebut memang yang paling menjual dan menuai banyak perhatian. Diliput oleh berbagai kanal berita, banyak yang mengklaim exposure Pilkada DKI kali ini sudah semewah pemilihan presiden.
Sejak tahun 1999, setahun setelah runtuhnya Orde Baru, debat calon pemimpin mulai marak diadakan. Tujuannya agar masyarakat mendapatkan edukasi dan mengenal lebih banyak program capaian sang kandidat. Setelah hampir 2 dekade, format dan konten debat calon pemimpin di Indonesia masih jauh dari sempurna. Tak terkecuali dengan debat calon Gubernur DKI periode 2017-2021 yang lalu.
Debat yang berujung debat-debat kecil di cubicle kantor atau timeline media sosial ini kadang memang menyita energi dan banyak hati. Ada juga golongan masyarakat Indonesia yang gemar berkelakar dan menjadikan debat ini sebagai ajang kreatifitas dengan kecepatan pembuatan meme yang kemudian dibagi ke berbagai ruang chatting.
Pada debat terakhir di tanggal 10 Februari 2017, Alfito Deannova selaku moderator debat mengajukan sebuah pertanyaan yang sebenarnya bisa dijawab dengan mudah tetapi tampaknya gagal ditanggapi dengan baik oleh para kandidat. Padahal pertanyaannya sederhana:
Menurut Anda, apa sisi positif atau keunggulan paslon-paslon lain yang merupakan sifat baik seorang pemimpin?
Pertanyaan ini mirip dengan pertanyaan yang mengakhiri debat kedua calon presiden US 2016 yang lalu. Debat dengan format town hall meeting yang mengajak masyarakat bertanya langsung kepada calon presiden ini dianggap mampu menjembatani batas antara calon presiden dan masyarakat. Clinton dan Trump tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya ketika salah satu penonton meminta kepada keduanya untuk menyebutkan satu hal positif tentang satu sama lain. Trump bahkan tidak menjawab sampai akhirnya Clinton mencoba menjawab terlebih dahulu. Di akhir debat tersebut, pertanyaan terakhir itulah yang paling dibicarakan oleh masyarakat.
Berkaca kepada pertanyaan yang sama di debat calon Gubernur DKI yang lalu, ketiga pasangan calon memilih menjawab di area abu-abu. Ada yang memilih memuji utk meninggi, ada yang jelas-jelas tidak mau kalah, dan ada yang memilih tidak menjawab dengan menunjukkan kelebihan diri sendiri. Apakah sesulit itu untuk melihat kelebihan orang lain di dalam pertarungan memperebutkan kekuasaan?
Dalam setiap kompetisi, kadang kita disuguhkan versi terburuk dari lawan kita saat itu. Tidak seperti kompetisi olahraga yang lebih gamblang, politik dan kekuasaan sukar sekali diprediksi. Kadang, cara termudah merebut simpati adalah dengan menjatuhkan reputasi kompetitor. Menurut saya, kesempatan untuk mengedukasi masyarakat dengan contoh tauladan yang baik dan lapang dada ini malah disia-siakan ketiga pasangan calon.
Buat saya sendiri, dalam kehidupan sehari-hari, saya kayaknya mudah banget memuji seseorang/sesuatu karena pada dasarnya memang mudah kagum dan terkesima. Terlahir dengan kemampuan dan bakat yang biasa-biasa aja, saya memang gampang mengeluarkan pujian. Kadang sifat seperti ini suka bikin annoying, karena mungkin ada yang merasa nggak nyaman dan menganggap pujian saya ini sebenarnya sarkasme atau sinis. Sampai saat ini, saya masih berusaha untuk memperbaiki diri untuk nggak dilihat seperti itu.
Intinya adalah di kesempatan seperti apapun, ada saatnya kita dihadapkan kepada hal-hal semacam itu. Di mana kita nggak lagi bisa melihat jernih kelebihan orang lain karena cuma melihat satu sisi yang kita nggak suka saja. Apalagi di zaman framing-framing liar yang disebarkan oleh media-media yang kredibilitasnya diragunakan. Sayang sekali kalau kita kehilangan kesempatan silaturahmi hanya karena pandangan kita yang terlalu sempit. Padahal mungkin kita bisa mendapatkan banyak manfaat hanya dengan keinginan untuk memiringkan pandangan kita sepersekian derajat saja.
Menghargai dan menghormati orang lain bukan perkara sopan santun semata tapi juga bisa diterapkan ke hal-hal yang esensial seperti pilihan dan tujuan hidup. Kadang ada hal-hal yang kita nggak tahu yang kemudian berpengaruh kepada keputusan hidup orang lain. Tapi karena kita cuma mau melihat sedikit, kita jadi menjudge mereka lewat pandangan sempit kita. Hal-hal sepele seperti komentar gendutan atau kurusan, ternyata bisa aja berpengaruh kepada rasa percaya diri yang berimbas kepada kesehatan fisik ataupun mental orang lain.
Celetukan spontan ada kalanya juga bisa menyakiti. Kemarin saya membaca sebuah blogpost yang mengkritik kehidupan sempurna seorang artis Instagram yang kemudian dihujat karena dianggap terlalu berlebihan, sok tahu, dan nggak mencerminkan kehidupan nyata pada umumnya. Saya rasa memang wajar kalau kita kesal melihat gambaran hidup orang lain yang terlalu fana, tapi apakah kemudian artis tersebut pantas dihina dan ditertawakan di ruang publik? Entah kenapa menurut saya, hal seperti ini juga termasuk nggak menghargai. Karena sebenarnya kita nggak terlalu tahu usaha dan cerita di balik imaji-imaji persegi yang timbul tenggelam setiap harinya.
Saya pernah baca salah satu post Ozu tentang beberapa quote yang membekas di hidupnya, ada salah satu quote yang kemudian juga menjadi sangat membekas di pikiran saya.
“Last night during Taraweh Prayers, in the sermon the speaker mentioned an interesting fact about how only 3% of the Quran is about rules and 97% of it is about ethics. This made me think that many people focus mainly on the rules and give little attention to ethics. We tend to easily feel that we are good when we are praying, eating halal, not drinking alcohol, fasting, etc. Abiding by those rules are wonderful and should be practiced, but neglecting our ethics in how we should be treating others, make negative judgments about people, and feel proud of ourselves when we are abiding by the 3% of rules. The lesson learn is loud and clear: Let’s not stay satisfied with 3%, but think hard and deep about 97% too.”
– Rahman Popal, Kandahar
Saya pikir hal ini nggak cuma berlaku di agama Islam saja. Semua agama ingin umatnya menuju jalan yang lebih baik dan tidak ada satupun ajaran agama yang menyerukan kita untuk membenci dan mengkritik sesama. Kalau memang pemimpin-pemimpin kita tidak ada satupun yang mencontohkan teladan, nggak ada salahnya kok kita mencoba untuk jadi teladan. Saya sendiri masih sama-sama belajar, tapi saya yakin semua orang ingin menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Memperlakukan orang lain dengan lebih baik bisa dimulai dari membuka lebih banyak ruang pandang kita terhadap hal-hal kecil seperti penampilan dan hal besar seperti pilihan hidup. Sedih kan kalau suatu keputusan yang sudah kita pikirkan masak-masak dan lewat berbagai macam pertimbangan ternyata cuma dilihat sebelah mata orang sebagian orang.
Teruntuk para orang-orang yang saya yakin punya kelapangan hati seluas angkasa, mari bersama membuat dunia menjadi tempat yang lebih nyaman dan menyenangkan.