Aku ingin sekali menulis ini sejak lama, tapi aku selalu merasa tidak punya kapasitas untuk bicara banyak karena tidak punya background atau pengetahuan yang luas tentang ini. But, it’s been boiling in my head and I cannot seem to let it go. So, let’s write it.
Kalau ada satu hal yang sangat teringat dari buku The Vegetarian yang ditulis Han Kang, buatku salah satunya adalah tentang over-consumption atau konsumsi berlebih. Di mana manusia sepertinya tidak pernah berhenti dipaksa untuk mengonsumsi berbagai macam hal. Dikelabui untuk terus membeli dan dibuat berkeinginan untuk terus menerus memiliki sesuatu. Hal ini sepertinya terus didukung dengan tren unboxing, shopping haul, dll.
The other day, I watched someone unbox a make-up box with princess style worth 10 or 20 million titled “my childhood dream”. I stopped in the middle of the video; why should I give such attention to this type of content? What would I feel after watching this? Do I want it too? Should I also make my childhood dream come true of buying something I finally can afford? Do I support this kind of thing? Atau “Ya udahlah, itu kan uang dia juga, ngapain diurusin”? Banyak hal yang berkecamuk di kepalaku tapi pada akhirnya bermuara pada “ya udahlah”.
Sebenarnya akupun merasa masih sering mengkonsumsi terlalu banyak barang. Kadang aku masih sering membuang bahan masakan karena aku tidak terlalu baik merencanakan waktu memprosesnya dan kurang mempelajari cara penyimpanan yang paling baik. Aku masih tergoda membelikan baju baru untuk padahal mereka tidak kekurangan baju untuk dipakai. Aku masih punya banyak kekurangan dalam mengurangi dampak hidupku terhadap lingkungan.
Seperti sudah kutulis sebelumnya, sejak tahun 2023 aku sering sekali membeli barang-barang meronce. Harga manik-manik yang kubeli tidak mahal (sekitar 5.000-20.000 sudah bisa dapat banyak manik-manik), jadi aku seperti dapat ilusi untuk terus membeli. Toh harganya murah, bisa menjadi stress release, bisa dipakai untuk belajar anak, dan hasil karyaku bisa diberikan ke orang lain, dll.
It seems fun and harmless. Until one day, I realized I had a dedicated place on my wardrobe for beads that’s taking up my clothes’ space. I felt that I needed to stop buying this. Saat itu, akupun berjanji ke diri sendiri bahwa aku tidak akan membeli manik-manik baru sampai semua yang kupunya habis atau kuubah menjadi sesuatu.
Akhirnya di waktu liburan sekolah anak akhir tahun 2024 kemarin, aku mempunyai misi untuk menghabiskan semua manik2 yang kupunya. Aku membuat lebih dari 150++ pcs dan manik-maniknya tidak juga habis. I buy more than I should. Pada akhirnya aku berhasil tidak membeli manik-manik baru selama 9 bulan ke belakang. Tapi aku jadi berpikir bahwa hal ini mungkin saja terjadi pada orang lain dengan situasi yang berbeda dan barang yang juga berbeda.
The Lipstick Effect, sebuah fenomena yang menjelaskan mengapa orang-orang masih ingin menghabiskan uang di tengah krisis ekonomi. Pertama kali disebutkan tahun 1998 di buku The Overspent American, fenomena ini merupakan saat di mana orang-orang ingin menghadiahi diri sendiri dengan “kemewahan kecil” karena tidak bisa membeli barang-barang kebutuhan utama yang lebih mahal.
Hal ini ternyata telah menjadi concern para ekonom, dengan menghubungkan fenomena ini dan aktivitas sosial media yang cenderung gemerlapan. Membeli boneka dan mainan yang berlebihan atau tiket konser. Micro trend yang makin banyak jenisnya ini tidak hanya bisa memberi ilusi atas status sosial, tapi juga menjebak kita dalam gaya hidup yang bertentangan dengan kondisi finansial yang sebenarnya. Yang pada akhirnya, membuat kita terus membeli dan mengonsumsi berlebihan.
Di salah satu manga berjudul The Promised Neverland, ada salah satu bagian cerita yang mengingatkanku pada The Vegetarian maupun tentang konsumsi berlebihan ini.

(The Promised Neverland Chapter 158)
Sampai kapan kita dipaksa untuk terus lapar? Mengabdi pada keinginan kosong dan ingin terus memiliki lebih.