The Little Liar

The little liar in her wants to say something sad. But nothing came out of her because she’s not sure she was feeling sad.

The little liar in her wants to sing a song about anger, rage, and fury. But she’s afraid that will hurt someone. Someday, she cannot undo the damage she’s caused.

The little liar in her wants to tell the truth for herself, but everything was confusing because of an uncomfortable feeling lingering in her head.

But lately, why did the little liar keep telling the truth and nothing but the truth?

If she were telling the truth, why has she been calling herself the little liar?

Belanja Terus, Sampai Kurus

Berkunjung ke pusat perbelanjaan, beberapa hari sebelum lebaran.
Belum juga Ashar, tapi suasana seperti di pasar.
Semuanya ramai, sama seperti notifikasi di gawai.
Semua orang mentereng, banyak kantong belanjaan ditenteng.
Toko emas sibuk, pegawainya jadi kikuk.

Ada yang mengusik, tapi cuma bisa bisik-bisik. Ingin punya jiwa konsumtif, tapi takut jadi adiktif. Mau mencibir, tapi lebih baik takbir.

Toko-toko pasang spanduk diskon, bikin senyum kayak emotikon :) Menarik orang untuk masuk, berbondong-bondong kayak kena susuk. Baju masih banyak di lemari, tapi jangan sampai anak-anak gigit jari. Juga amplop-amplop THR, yang kadang bikin geger.

Beberapa tahun lalu pandemi, jadi tidak pada silaturahmi. Pekerjaan tidak ada, perasaan rada-rada. Gaji dirapel, tidak bisa kasih salam tempel. Sekarang ekonomi sedang sakti, walau harga beras tidak pasti.

Ayo belanja lagi, tapi jangan lupa tabungannya dibagi. Masih ada seminggu lagi, dari masuk kantor sampai dapet gaji.

Tanah Dingin dan Atap-Atap Kaca

Di kesibukan yang tidak terlalu berarti, hari ini ada namamu di antara baris kebisingan.
Sudah banyak berita yang menyayat, tapi cerita tentangmu yang paling dekat.
Untuk sesaat, tidak ada kata yang bisa dipahat.
Kemudian, kalimat makian.
Juga hati yang terluka.

Tanah dingin yang terasa hangat.
Darah panas yang terasa dingin.
Apa arti manusia?
Apakah dunia hanya tentangnya dan kerabatnya?
Juga moral usang dan agama-agama KTP.

Mereka berbicara tentang memecahkan atap-atap kaca dan pengesahan undang-undang.
Tapi mungkin atap itu tidak sekedar terbuat dari kaca dan hukum tidak pernah ada.
Apakah kami terlambat?
Apakah kami gagal lagi?
Berbedakah kami dan mereka?

Suara-suara dan teriakan dunia maya.
Apakah kalimat-kalimat ini bisa terdengar seperti suara?
Atau hanya bisik-bisik di hingar bingar yang penuh kepentingan.
Kepentingan yang tentunya bukan milik kita.
Yang kemudian lewat dan tak berarti,
seperti yang sudah-sudah.

Semua yang terbuat dari tanah kembali ke tanah.
Meninggalkan hati yang terluka dan keputusasaan.
Tentangmu.
Tentang tanah dingin dan atap-atap kaca.

Semoga hangat menyelimutimu di malam-malam setelahnya.
Tidak seperti dingin yang kami rasa tanpamu.
Tidak seperti malam yang kemudian terlupa,

karena bising lain yang tanpa makna.

Mengikuti Kelas Daring Coursera – Apa dan Bagaimana

Sudah sebulan ke belakang, saya mengikuti kelas online via Coursera dan hari ini saya berhasil menyelesaikannya. Ini pertama kalinya saya mengikuti kelas daring semacam ini, yaitu yang benar-benar ada dosennya dari universitas luar negeri dengan topik social science. Saya sendiri sering ikutan workshop daring, mulai dari Skillshare, Domestika, maupun kelas Lingkaran dan Tempo. Tapi kebanyakan topiknya berhubungan dengan dunia kreatif.

Sebenarnya, saya sempat berpikir apakah saya mampu mengikuti kelas online di antara kesibukan di rumah? Apakah saya masih bisa belajar hal baru yang ada embel-embel science, critical thinking, dll, dst? Tapi lagi-lagi, sepertinya saya selalu memandang rendah diri sendiri. Saya tahu kelas daring semacam ini bukan hal baru buat sebagian orang tapi buat saya, ini sebuah pencapaian yang mungkin akan selalu saya ingat.

Saya ingin menuliskan post ini secara lebih universal, karena saya ingin lebih banyak orang bisa mengambil segala hal yang baik dari pengalaman ini. Jadi, saya akan membuatnya dalam format yang mudah, yaitu 5W+1H (in no particular order).

Read more

Tentang Kita dan Mereka

Dalam berkehidupan, saya cenderung membatasi diskusi seputar politik di ruang publik. Selain tidak terlalu memahami secara mendalam, beberapa tahun ke belakang kata ‘politik’ terdengar sangat kotor. Definisi politik terasa sangat elit sekaligus sangat rendah. Selama tahun 2014-2017 kemarin, saya sempat menuliskan beberapa kekesalan saya yang sebenarnya membicarakan politik tapi bernarasi ketidaknyamanan dan ketidaktenangan.

Tahun 2019 sendiri digadang-gadang sebagai tahun politik karena adanya Pemilu di bulan April mendatang, tapi nyatanya setiap tahun terasa seperti tahun politik. Kali ini, saya memberanikan menulis post ini karena sepertinya mulai banyak ruang-ruang aman yang muncul seputar politik yang ditujukan untuk anak muda. Asumsi merupakan channel yang menurut saya bersikap netral untuk menghadirkan tokoh-tokoh politik tanpa mengubahnya menjadi arena pertarungan. Saya sendiri mempunyai banyak pandangan baru tentang FH, yang ternyata berani mengemukakan pendapatnya tentang ketidakbenaran and staying true to his values. Atau AH yang ternyata punya pandangan luas tentang Indonesia di mata dunia, sehingga membuat saya paham kenapa performanya di kontenstansi Cagub DKI terlihat sangat buruk (he definitely needs a bigger stage!).

PS: Maaf saya nggak akan menyebutkan nama dan mungkin bisa membuat tulisan ini terasa seperti artikel kriminal (hahaha), tapi bisa diklik aja link videonya yaa.

Buat saya sendiri, tahun ini kembali menjadi perang hashtag yang menurut saya, tidak relevan. Banyak orang takut tentang para prajurit cyber yang menyebarkan ketidaknyamanan di antara para pengguna sosial media. Terlepas dari hasil pemilu Gubernur Jabar dan DKI Jakarta, saya sendiri masih belum percaya bahwa hal ini menggambarkan kondisi sesungguhnya dari pemilih aktif saat ini.

Read more