//April 13, 2010//
Judul tulisan ini adalah judul sebuah artikel yang saya baca ketika SMA, bahkan ketika saya tidak mengerti apa artinya profanity sampai mencarinya di kamus bahasa. Essay-nya sendiri membahas tentang pemakaian kata-kata yang dianggap kotor ini tapi kenyataannya ada di dalam bahasa yang kita pakai sehari-hari yang artinya tidak kotor. Saya teringat artikel ini, persis.
Ya, kata-katanya kotor. Apalagi kalau Anda tinggal di Bandung. Kata Anjing dipakai sebagai tanda baca koma, dan Tai dipakai untuk tanda baca titik. Pemakaiannya seperti imbuhan, akhiran, atau awalan. Dipakai untuk melengkapi kata atau bahkan kalimat. Kita memakainya untuk berbagai hal tanpa ragu, seperti sudah tradisi dan kebiasaan. Kita memakainya santai-santai saja, toh itu cuma tanda baca. Pada akhirnya, tanda baca tidak pernah diucapkan dalam kalimat, toh? Hanya dalam intonasi. Tetapi ketika kata itu berbalik digunakan kepada kita sendiri, ditolak mentah-mentah dan tersinggung. Padahal semua di antara kita menggunakannya juga.
Artinya tidak menghina, cuma tanda baca. Tetapi selalu saja ada yang salah paham, karena kata-katanya kotor.
Ini bukan essay, jumlah katanya tidak cukup disebut essay. Apalagi struktur tulisannya. Judul tulisan ini cuma sekedar judul, tidak menggambarkan isinya. Sama seperti kata-kata profanity, yang tidak ingin menyinggung tetapi dianggap menyinggung.
Kasihan si kata-kata.
Saya terlalu hina untuk berani minta maaf.