We Just Need to Push Harder – An Essay of a Lazy Man Reaching for the Sky

//October 02, 2009//

Sebagian orang selalu berpikir bahwa dirinya telah berhak disebut pemenang. Punya harta, kekuasaan, atau apapun penanda kejayaan. Semua yang dilakukannya merupakan level atas sebuah usaha, dan jikalau usaha itu tidak cukup, ia mengutuk keadaan. Pada kenyataannya, apa semua usaha yang dilakukannya memang sudah maksimal? Atau semua orang ternyata melakukan hal yang sama karena usaha tersebut wajar untuk dilakukan?

Saya selama ini hidup dengan biasa-biasa saja. Saya tidak mengejar terlalu banyak pencapaian. Hanya beberapa pencapaian yang sangat saya agungkan, yang sampai saat ini selalu saya dapat jika saya berusaha mendapatkannya. Karena saya memang tidak mau berhenti sampai saya dapat hal itu. Kadang saya iri dengan beberapa orang yang mampu ‘mencapai lebih’, jadi juara lomba ilmiah, berniat Wisuda di bulan Maret, dapat IP di atas 3,5. Tapi hati saya selalu bilang, itu karena saya tidak mampu sampai ke sana, kemampuan saya hanya segini, dan saya tidak merasa terganggu karenanya. Toh kita masih bisa dapat kerja dengan IP yang tidak seluar biasa itu, kata orang, ada yang namanya soft skill. Toh standar lulus adalah di bulan Juli, hanya orang-orang alien luar biasa pintar yang bisa lulus di bulan Maret. Saya terbiasa berpikir begitu, karena memang saya tidak mau mengeluarkan usaha sebegitunya untuk mendapatkan hal yang kurang lebih sama. Intinya, saya termasuk orang yang santai.

Sebuah perbincangan singkat mengubah cara pandang saya. Entah darimana awal perbincangan itu, tapi berakhir dengan sebuah resolusi. Sudahkah saya berusaha semaksimal itu? Kalau ternyata ada yang lebih baik, kenapa saya tidak berusaha lebih untuk mendapatkan yang lebih baik itu? Apakah santai maksudnya tidak peduli dengan hal yang lebih baik? Apakah santai hanya istilah lain untuk malas? Apakah saya se-pemalas itu untuk tidak mengeluarkan usaha yang lebih lagi? Apakah saya hanya akan berpegangan dengan kata-kata “Mungkin memang belum dikasih sama Tuhan”? Apakah memang Tuhan belum memberi saya ‘kesempatan’ ataukah saya tidak mengusahakan ‘kesempatan’ itu semampunya?

Saya selalu bersyukur dengan apa yang saya punya, tapi setiap manusia harusnya ingin yang lebih baik, bukan yang lebih buruk, bukan? Naif kalau kita bilang kita ingin mencapai segalanya secara bersamaan. Contoh nyatanya yang ada di mana-mana, himpunan dan unit. Semua orang ingin mencapai keduanya bersamaan, tetapi pada kenyataannya banyak yang harus memilih salah satu. Jujur, saya memilih salah satu dan saya merasa sukses di sesuatu yang saya pilih itu. Tetapi seharusnya, orang hebat itu adalah ketika dia tidak memilih salah satu, tetapi ketika ia bisa menjalankannya secara bersamaan. Apa yang bisa dilakukan untuk mencapai itu? Pengorbanan.

Pengorbanan yang paling mudah dilakukan, adalah dengan mengurangi waktu. Ya, waktu kita yang tersia-sia dengan, main, jalan2, facebook-an, atau mungkin waktu tidur kita. Berat memulai sesuatu, mengorbankan rutinitas berharga yang kita sebut refreshing, tapi menurut saya, it’s all worth the diamond in the end. Kata orang, usaha besar, hasil besar. Itu terbukti. Kepada semua pemalas yang merasa telah cukup untuk dirinya sendiri, mari mencari sesuatu yang lebih baik.

Malas = Sumber segala penyakit yang sangat akut diderita hampir seluruh manusia di dunia. Terbukti berbahaya tetapi bukan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan. Dapat dihilangkan dengan memulai bangkit dan berniat, lalu diakhiri dengan kemenangan dan rasa syukur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.