Sekelebat kabut warna warni, disajikan khusus bagi para petinggi kerajaan. Para terhormat yang mulia, yang hidup selalu berkecukupan.
Terasinglah para pengembara, yang (merasa) telah melihat banyak hal dari gurun ke gurun. Menyesap dinginnya tanah dan angin badai. Kabut yang mereka lihat hanyalah putih pekat, terkadang keabuan dan tak pernah pergi. Merudungi hidup para pengembara, yang entah kapan menyicip bahagia.
Tersebutlah juga para perompak, para bandit di ujung bukit. Melihat aurora kehijauan ataupun jingga, menegak darah dan gelimang kemasyuran. Senyum tersungging di setiap wajah, dan ditawarkannya segelas emas. Para pengembara kadang tergoda dan seketika mengubah derajat, kain abu-abu berubah keemasan. Para pengembara pun mengganti namanya menjadi perompak.
Bagi para terhormat yang mulia, tidak ada pendapat ataupun komentar. Selama masih terlihat kabut warna warni, sedikit kerikil tidak menjadi masalah. Kadang tersandung dan kadang disanjung, tak membuat mereka melirik ke bawah.
Bagi ketiga kasta di Negeri ini, tidak ada yang mampu menebak akhir cerita masing-masing. Si petinggi akan selamanya kelebihan, walaupun dihujat ribuan massa dan disodorkan racun atau belati. Si perompak akan terus mengipas, dan menawarkan segelas emas. Terkadang mereka tergeletak, tetapi hanya sebagian kecil yang merasa begitu. Hidup sang pengembara terlampau paling tidak tertebak. Akankan ia meminum segelas emas dan menjadi perompak, atau meniti karir untuk menjadi petinggi kerjaan. Akankah ia tetap memakai kain abu-abu, bersikap acuh terhadap terik panas dan butir hujan. Bangga menyandang nama pengembara, kemudian menetap di suatu negeri, teringat akan definisi pengembaraan yang sesungguhnya. Akankah ia kembali mengembara, menyisakan semilir angin di kejauhan. Tidak tersentuh oleh keremangan malam, dan habis ditelan jingganya sore.
Hei, halo. Dari sana terlihat apa?