Menyaksikan Mata Najwa edisi Sinema Merana adalah sebuah pertanda magis yang luar biasa. Entah mengapa, menampar saya berulang kali dan membuat saya mengingat banyak hal. Banyak hal yang masih harus saya capai.
Sejak marak dan hebohnya pemberitaan tentang pajak film dan isu monopoli bioskop 21, saya tidak pernah terlalu banyak bicara. Saya tidak meRT tweet Joko Anwar atau Mira Lesmana tentang permasalahan ini, sayapun tidak banyak membicarakan dan mengeluhkan hal tersebut di luaran. Saya tidak pernah takut tidak bisa menyaksikan film layar lebar. Di zaman DVD bajakan dan teknologi jaringan nirkabel, menikmati film bagus (ataupun film jelek) bukan masalah besar lagi. Hey, saya mengunduh hampir 10 episode TV serial dengan berbagai judul setiap minggunya. Tidakkah hal yang sama berlaku dengan film layar lebar. Yang saya takutkan adalah saya tidak bisa menikmati film layar lebar di tempat yang seharusnya.
Siapapun tau, saya adalah penggemar bioskop. Sensasi magis yang dibuatnya kadang membuat merinding. Dan walaupun kadang malu-maluin, saya memaklumi orang-orang yang bertepuk tangan di bioskop. Menonton bioskop seperti morfin buat saya. Ketika saya stress menyelesaikan tugas akhir saya, tak terhitung waktu saya bolak balik masuk bioskop seorang diri. Duduk bersebelahan dengan bocah-bocah yang kegirangan dan ikut tertawa bersama mereka. Saya pernah menulis ini, dan berharap saya bisa membuat tugas akhir tentang bioskop (walaupun akhirnya topik tugas akhir saya tidak kalah kerennya, menurut saya).
Kembali ke hampir belasan tahun lalu, saya punya sebuah mimpi kecil di ujung tempat tidur. Di sebuah lahan di Cinere (daerah tempat saya tinggal) berdirilah sebuah bioskop kecil bernama Dynasty. Bioskop kecil itu berdiri tegak, walau lapuk, tapi tetap terlihat gemerlap di mata bocah saya. Bioskop Dynasty merupakan sebuah kisah nyata tentang terpuruknya bioskop kecil yang terpinggirkan di antara jaringan bioskop besar. Saya menyaksikan sendiri bagaimana bioskop tersebut terpuruk dan kemudian, mati. Bagian depan Dynasty kemudian masih dipergunakan sebagai tempat mesum, tempat preman, dimana pertandingan bilyar dilaksanakan setiap hari. Bahkan, sebuah acara supranatural yang sedang booming pada masa itu, ikut-ikutan membuat liputan tentang bioskop ini (true story). Untuk kemudian, Dynasty berubah jadi gedung mati dan daerah di sekitarnya tetap disebut sebagai Dynasty. Dan adalah tetap sebuah mimpi kecil saya, untuk membeli bioskop itu dan menjadikannya kembali menjadi sebuah tempat impian. Yang gemerlap dan menyilaukan.
Saya sangat kecewa, ketika pulang dari Bandung suatu saat, sebuah papan pembangunan terpancang besar di depannya. Gedungnya sudah runtuh, sekelilingnya dipagar seng, sebuah bangunan asing akan berdiri di sana. Antara sakit hati, dan tangisan. Beberapa bulan kemudian, tercetak lambang besar Cinere Square, Robinson, dan Ramayana di depannya. Sampai akhirnya, bulan kemarin tempat ini bangkrut dan ditutup. Rumor tetangga berkata tempat ini akan dijadikan Matahari, yang mungkin lebih bonafid dan menghasilkan banyak uang. Tapi jauh di sudut tempat tidur saya, saya masih punya mimpi itu. Hal yang kadang masih membangunkan saya di malam hari, dan menuliskan kata tentang mimpi saya akan bioskop ini.
Meminjam tagline iklan Indomie, ini cerita saya. Cerita yang akan saya ceritakan kepada anak-anak dan cucu-cucu saya nanti, tentang impian, tentang sebuah tempat yang gemerlapan. Tapi sayangnya, saya belum berani membersihkan sudut tempat tidur saya, dan membiarkan cerita ini berhenti di sini. Siapa yang tahu, beberapa tahun lagi, sebuah bioskop akan kembali berdiri di sana :)
“Satu hal yang pasti kita butuh lebih banyak layar. Tidak hanya di gedung-gedung mewah yg berkarpet merah, tapi di bioskop-bioskop kecil, yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Untuk menghibur yang selama ini berada di pinggir dan mengajak mereka berani bermimpi.”
Mata Najwa, Sinema Merana (21 September 2011)
http://www.metrotvnews.com/metromain/newsprograms/2011/09/21/10135/Sinema-Merana
Dan ketika saya meng-google tentang Dynasty tidak ada foto tentang bangunan ini. Tetapi ia akan tetap hidup di sudut ingatan saya, dan selamanya akan begitu.
Selamat malam kepada semua yang pernah bermimpi.