Envy is a strong word.
Melihat teman-teman (apalagi teman-teman dekat) meraih sesuatu yang lebih dari kita, kadang bikin minder. Entah mereka dapat pekerjaan bagus, atau dapat beasiswa nun jauh di sana. Padahal seharusnya kita ikut merasa bangga atas apa yang dicapai si teman dan menjadikannya cambuk semangat untuk berusaha lebih lagi.
Sometimes in my bizarre insane times, I got down so much that I blame myself for all those inability. To do great is never going to be my thing. I kept questioning why I couldn’t get the same chances, the same success.
Tapi kemudian saya sadar, teman-teman saya yang punya pekerjaan di perusahaan multinasional mungkin belum pernah membantu orang lain meneruskan sekolah. Teman-teman saya, yang digaji besar atau digaji dollar, bisa membiayai adik-adiknya bayaran SPP, toh saya juga bisa. Jadi apa yang sebenernya saya permasalahkan? Apa ukuran sukses bagi masing-masing orang?
But what’s the point of all the glory, if you’re not doing something for others? If you’re not touching anyone?
Saya menertawakan teman saya yang pindah haluan ke perusahaan Tambang hanya karena ingin bekerja di ‘perusahaan yang punya nama besar’ (di kasus ini walaupun dengan embel-embel terkenal dari segi gaji malah down grade istilahnya, dari segi experience-pun terlihat mundur dan bergaji lebih). Tapi kemudian saya sadar bahwa saya sedang menertawakan diri sendiri. Apa bagusnya kerja di perusahaan besar dan terkenal, disebut hebat oleh orang lain kalau punya waktu untuk membantu orang lain saja tidak ada? Ketika saya mendengar pendapat teman yang bilang kalau dengan mencari uang yang banyak, dia ingin membantu orang lain. Saya malah menertawakannya lebih kencang, membantu itu harusnya ada ketika ada niat. Karena membantu tidak melulu tentang uang (walaupun pada kenyataannya uang akan sangat amat membantu).
In the end, I found relieve.
Tujuan akhir manusia saya bukan untuk dikenal karena titel perusahaan, karena harta melimpah, apa lagi karena gengsi, tapi saya ingin dikenal dengan seberapa banyak saya menyentuh orang lain untuk meraih mimpinya.
Terdengar seperti pembenaran? Tapi saya sangat yakin dengan pilihan ini. Terlalu, sangat, yakin.
what we have done for ourselves alone dies with us, what we have done for others and the world remains and it is immortal.. :)
Eits, kena deh. Jangan lupa transfer Gocap, ya ;P
iya cup, setuju se-setuju2nya.. sukses adalah saat dimana kita sudah dapat bermanfaat bagi orang banyak.. pada saat kita bekerja, harusnya level kita sudah tidak dalam posisi “diberi”, tapi MEMBERI.. apapun yg kita bisa, dan pada siapapun yg membutuhkan..
Ya ya. Some obsessions are worth laughing. Anyway siapa tuh yang pindah ke tambang ? pasti ganteng bgt dia haha
Makanya kan dibilang, karena ukuran sukses buat orang beda-beda harusnya nggak ada yang perlu diketawain. Semua orang punya obsesi yang membuat tingkat sukses jadi nggak punya ukuran baku, gak bisa dibandingin satu sama lain. Toh orang yang pindah ke Tambang itu pasti bisa balik ngetawain gw kok, karena ngomong besar tapi nggak maju-maju. Sedangkan dia sudah memulai langkah baru dan sukses dengan caranya. Lagian, semua orang sukses dulunya pasti pernah obsesinya diketawain. Tapi gw yakin, karena dia tetap kekeuh sama obsesinya itu walau diketawain, makanya dia bisa meraih sukses itu. Sukses, ya!
Setuju se-setuju2nya sama Bos Lukman di Kalimantan sana :)) Memberi apapun yang kita bisa, dan pada siapapun yang membutuhkan. Tapi sebenernya, semua orang pasti ‘memberi’ kok dalam hidup. Orang-orang yang mengejar uang dan harta dalam hidupnya contohnya, sebenernya juga “memberi” kok, secara nggak langsung mungkin dia menaikkan pendapatan perkapita, memutar ekonomi negara atau membuka lapangan pekerjaan. Dan toh dia terbukti ‘sukses’ dalam apa yang dikejarnya dan dalam ‘ukuran’ sukses dirinya. Soal dia melakukannya dengan cara apa dan bagaimana, biarkan Tuhan yang memberi judgement-Nya sendiri nanti.
Well said