Untuk Para Penyelamat Hari

Hari Jumat lalu saya terlambat pulang ke rumah sehingga terpaksa mendengarkan adzan Maghrib di jalan. Macet Jakarta memang sudah terduga, tapi saya memang tidak menduga separah itu. Karena lupa pergi ke ATM, saya cuma punya beberapa receh di saku untuk membayar ongkos angkutan umum saya. Sehingga akhirnya saya tidak bisa segera membatalkan puasa saya. Sempat terbersit rasa kesal, entah kepada macet, peluh, atau kepada apa, sayapun juga bingung.

Anehnya sekejap semua sirna karena alasan sederhana: Senyum.

Langit berubah keemasan waktu itu, membungkus isi dunia entah dengan gemerlap apa. Angkutan umum yang saya naiki melaju pelan. Saya duduk di dekat pintu, menyaksikan sebuah rangkaian adegan tentang hidup. Merasa kecil di depan keajaiban yang maha besar.

Di pinggiran jalan, sekelompok orang berbuka puasa, bertiga, berlima, sendirian. Menegak air pertamanya, membeli gorengan pertamanya, menerima rizki yang entah untuk kesekian kalinya di hari itu. Bagai adegan film yang diperlambat, semua orang tersenyum dengan caranya masing-masing. Wajah-wajah cerah yang penuh kebahagiaan, tertumpah di sepanjang jalan. Saya mungkin tidak akan pernah mengenal mereka, atau tahu latar belakang hidup mereka, mungkin saya tidak seberuntung mereka, atau mereka tidak seberuntung saya. Tapi, semudah itu membuat membuat kebahagiaan tersebar. Mensyukuri semua nikmat yang telah diberikan, membuang semua keburukan yang pernah ada. Sesepele itu cinta tersebar.

Saya, tersenyum di sepanjang sisa perjalanan saya :)

Alhamdulillah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.