Cerita Perjalanan

Tangan saya spontan menulis ketika membaca lagi post yang ditulis teman saya Ali malam ini. Ini saya, bercerita tentang perjalanan :)

Keluarga saya bukan termasuk keluarga yang berkelebihan, saya tidak terbiasa menghabiskan akhir minggu dengan berjalan-jalan. Ketika kecil, tempat terjauh yang saya datangi adalah Jogjakarta. Saya ikut Ayah saya untuk menghadari seminar dari kantornya. Saya ingat membawa pulang action figure (ciyee) Rama Shinta sehabis menonton sendratari-nya. Setelah itu, saya hampir tidak pernah berjalan-jalan keluar. Keluar negeri, keluar pulau, keluar kota (kecuali pulang kampung ke Garut waktu lebaran :P), bahkan keluar rumah. Saya miskin pengetahuan dunia, hal yang saya sadari sejak dulu. Jendela saya tentang dunia hanya lewat buku-buku, TV, dan internet.

Sampai akhirnya saya pindah ke Bandung untuk berkuliah, saat saya benar-benar keluar rumah. Selanjutnya, beberapa perjalanan yang saya lakukan dapat dihitung jari. Tahun 2008, saya hampir sampai di Ujung Genteng untuk hunting besar LFM tapi di tengah jalan, harus pulang karena saya harus mengikuti kelas Semester Pendek. Tahun 2009, saya ikut Kuliah Kerja angkatan ke Batam dan Singapura. Pertama kalinya saya membuat paspor dan punya stempel di dalamnya. Di tahun yang sama keluarga saya mengajak jalan-jalan keliling Jawa naik mobil di akhir tahun. Setelah saya masuk kuliah keluarga saya pertama kali membeli mobil. Perjalanan itu adalah kali pertama saya merasakan melompat dari kota ke kota, merasakan perubahan kultur, berkenalan dengan kerabat yang tidak pernah dikenal, dan pada akhirnya melihat keindahan.

Setelahnya, saya naik kereta ke Jogja di tahun 2010. Ini pertama kalinya saya naik kereta lebih jauh dari Purwokerto, kota kelahiran Ibu. Di tahun 2011, saya singgah ke Solo naik kereta, untuk kemudian kembali ke Jogja. Dan untuk kedua kalinya saya keluar pulau, Sulawesi, dalam rangka site visit dari kantor. Saya memilih menabung uang saya untuk investasi, saya skeptis dengan orang-orang yang keluar negeri. Sesungguhnya, mungkin saya iri dengan mereka. Saya iri atas keberanian-keberanian mereka melewati batas-batas, saya iri dengan kemampuan mereka melangkah ke sana. Kadang saya terdiam melihat catatan perjalanan kakak saya, tur ke kota-kota Asia Tenggara, ikut seminar di Dubai, pulang pergi Lombok-Bali (bahkan tahun ini dia sudah membeli tiket pesawat yang bertepatan dengan Ubud Writer Festival, cih cih acara impian saya sejak 3 tahun lalu). Tapi saya masih merasa takut akan tempat-tempat baru.

Di tahun 2012 akhirnya saya memutuskan untuk mengeluarkan semua isi tabungan. Saya diberikan kesempatan berkeliling ke beberapa tempat, termasuk naik Argo Bromo Anggrek (sang penguasa jalur kereta Jawa). Bukan karena akhirnya gaji saya bersisa, tapi karena saya ingin melihat apa yang saya lewatkan selama lebih dari 20 tahun. Keuangan saya masih gonjang ganjing sehabis pulang dari Jepang, sudah hampir 3 bulan saya cuma pindah dari rumah ke kantor, tapi anehnya tabungan saya masih kosong :)) Tapi saya tidak menyesali apapun. Saya tidak berani menyebut diri saya traveler atau backpacker, atau yang lainnya. Saya bahkan tidak berani menuliskan kata traveling di kolom hobi. Karena semakin saya tahu, semakin kecil saya menyata di dunia.

Pada akhirnya, saya mungkin belum mampu berjalan dari Andalusia ke Mesir (obsesi sejak membaca The Alchemist), menginjak Pokhara, bahkan Baker St 221-B. Saya bahkan belum pernah ke Bali. Dunia saya masih potongan kecil atlas. Tapi perjalanan-perjalanan diciptakan untuk menemukan tempat-tempat, benda-benda, wajah-wajah. Setiap perjalanan menciptakan perjalanan baru, dan cerita-cerita baru. Cerita yang kemudian menciptakan perjalanan-perjalanan lainnya.

Cerita-cerita tentang perjalanan tidak selalu tentang frame-frame lansekap dengan ribuan warna, tidak selalu tentang matahari terbenam, atau aurora borealis. Cerita-cerita tentang perjalanan tidak selalu tentang kebahagiaan, tidak selalu tentang patah hati, lalu kekecewaan dan kesendirian. Cerita-cerita tentang perjalanan adalah tentang mencari dan menemukan. Tentang jiwa-jiwa yang haus, yang mengaduh untuk membuka mata, yang mengais serpihan langit dan gunung-gunung api. Menggapai awan-awan dan gemericik air terjun. Tentang gen sang pengembara.

[James] Cook tewas dalam sebuah pertikaian berdarah melawan penduduk Hawai’i sepuluh tahun kemudian. Kematiannya, menurut se­bagian orang, menutup apa yang dianggap oleh para ahli sejarah Barat sebagai era penjelajahan. Namun, itu tidak menghentikan penjelajahan kita. Kita tetap terobsesi untuk memetakan seluruh Bumi; mendatangi kutub-kutub terjauh, puncak-puncak tertinggi, dan palung-palung terdalam; berlayar ke setiap sudut, lalu melesat ke luar angkasa.

Gen Pengembara – National Geographic Indonesia, Januari 2013

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.