Cerita Para Pengguna Jalan

[dropcap]A[/dropcap]wal tahun 2015 ini, masyarakat di kota besar cukup gempar dengan kehadiran Gojek. Walaupun sudah beroperasi dari tahun 2011, keberadaan apps Gojek di handphone menurut saya merupakan turning point dari kepopuleran Gojek. Seperti biasa, masyarakat Indonesia sering sekali latah. Keberadaan transportasi berbasis apps menggunakan armada ojek ini kemudian mulai menyebar seperti virus. Muncullah ojek-ojek lain, seperti BluJek, Taxi Ojek, LadyJek, dll, dst. Tapi dua raksasa penguasa bisnis ini tetap Gojek dan Grabbike.

Sebenarnya saya tidak terlalu suka kendaraan bernama motor dan dulu berkeinginan untuk menciptakan game berjudul Smash The Motorcycle!, dimana misi saya adalah menghancurkan motor sebanyak-banyaknya dengan palu dan special stage-nya menghancurkan motor memakai bulldozer :))))

Don’t get me wrong, saya tidak anti dengan line business ini. Saya sendiri sering menggunakan service Gojek terutama GoSend dan GoFood (semasa masih promo). Terus terang saja, saya jarang keluar rumah di waktu weekend dan karena keperluan pengiriman barang dari Kawung Living, keberadaan Gojek ini sangat membantu saya untuk pengantaran dalam kota. Fasilitas Gojek sendiri adalah yang paling jarang saya pakai (karena jarak rumah kantor hampir 20 km, jadi kemungkinan driver yang mengambil pesanan saya hampir tidak ada, haha). Untuk transportasi jarak dekat yang tidak ada akses, saya juga masih sering memakai ojek pangkalan.

Menurut saya, Gojek adalah perusahaan yang baik, mampu melihat peluang dengan baik, dan bermisi baik untuk meningkatkan taraf hidup banyak orang. Keberadaan GoMassage, GoMart, GoBox, dan banyak cabang bisnis Gojek lainnya memperlihatkan kepiawaian Gojek dalam melakukan diversifikasi bisnis. Membuat standar harga dan menghubungkan banyak penyedia jasa ke konsumen adalah dua poin penting yang ingin diusung Gojek. Tapi dari semua itu, saya cenderung tidak ingin Gojek maju di bagian transportasi dalam kota Jakarta (haha, spesifik ya?).

Saya sendiri memang lebih memilih menggunakan transportasi publik macam TransJakarta atau angkot daripada ojek. Salah satu alasan utama saya adalah mengurangi emisi (ceilee) dan saya mau percaya dengan transportasi umum. Ketika Gojek disebut sebagai alternatif transporstasi ibukota, saya sedikit sangsi. Karena pada dasarnya, saya tidak ingin pemerintah daerah, operator transportasi umum, maupun Organda terlena karena keluhan masyarakat terhadap transportasi umum berkurang karena adanya alternatif ini.

[divider type=”dashed” color=”red” width=”85%”]

Bulan Juni 2015 yang lalu, New Cities Foundation menyelenggarakan Jakarta Urban Challenge yang bertujuan mencari solusi untuk masalah kemacetan dan mobilitas di Jakarta. Banyak ide-ide menarik yang ingin membantu menjadikan Jakarta sebagai smart city dengan menggunakan teknologi dan partisipasi warganya. Sila baca tautan ini untuk lebih lanjutnya.

Kalau saya disuruh bikin program sejenis itu, mungkin saya nggak kepikiran bikin apps, tapi kepingin banget pemerintah/operator transportasi umum untuk membuat POIN LOYALITAS. Shallow sih tapi menurut saya walaupun alternatif transportasi sudah banyak dan sekarang pembangunan Subway, MRT, SMRT sedang digadang-gadang, dosa-dosa mereka terhadap pengguna sudah cukup menumpuk. Reward kepada para penggunanya adalah hal sederhana yang bisa diberikan kepada para penumpang yang sudah banyak mengkompensasi kekurangan-kekurangan layanan yang seharusnya mereka terima. Mungkin reward tersebut bisa diberikan kepada pengguna yang mempergunakan layanan sebelum jam 7 pagi (seperti harga tiket Rp 2000 yang diberikan TransJakarta di pagi hari) dan diaplikasikan di kartu elektronik yang dimiliki pengguna. Jika terdapat gangguan ataupun kesalahan operator dalam akivitasnya, pengguna juga mendapatkan kompensasi yang layak dengan poin tersebut. Setelah poin reward terkumpul, pengguna bisa menukarkan poin tersebut di beberapa outlet yang telah ditentukan. Pertama-tama sih sepertinya kartu elektroniknya harus selaras dan kompatibel dengan masing-masing moda transportasi.

Rumit juga sih penggunaan kartu-kartu ini. Beberapa waktu yang lalu Whatsapp kantor saya heboh membahas tentang TransJakarta. Pembahasannya seputar tentang penghilangan single trip di TransJakarta dan kenapa kartu elektronik kereta tidak kompatibel dengan kartu elektronik TransJakarta. Walaupun ada kartu elektronik yang bisa digunakan untuk kedua moda transportasi tersebut, kartu tersebut malah dikeluarkan oleh pihak bank negeri dan swasta.

[divider type=”dashed” color=”red” width=”85%”]

Saya belum banyak berkunjung ke luar negeri, tapi kalau ada dua negara yang transportasinya membuat saya sangat iri, sudah pasti jawabannya Jepang dan Singapura. Kalau boleh berharap dan membayangkan tentang transportasi di Indonesia nantinya (terutama di Jakarta), saya kepingin sekali ada:

Ketertiban

Ibu-ibu nyerobot yang bertingkah like this is the end of the world will be no more (dan seketika langit berubah cerah). Hal ini tentu saja dimulai dengan kebiasaan, yang selalu harus dimulai dengan diri sendiri. Setidaknya, berjanjilah kepada diri semdiri, seperti apapun keadaan di hari itu, jangan mengambil jalan pintas walau cuma sekali.

Pin/badge untuk ibu hamil

Di Jepang, disediakan penanda khusus untuk ibu hamil. Pin/badge ini didapatkan dengan memperlihatkan surat rekomendasi dari dokter. Di Indonesia sendiri, penanda semacam ini belum ada, sehingga sering kali para ibu hamil ini harus menyatakan ke petugas bahwa dirinya hamil, kemudian para petugas akan mencarikan tempat duduk untuk mereka ataupun ada penumpang yang memberikan tempat duduknya. Tidak jarang ada penumpang yang pura-pura tidur ataupun bertingkah sangat intolerant. Once again, don’t be that kind of jerk.

Informasi

Kalau ada satu hal yang benar-benar saya kagumi dari transportasi publik Singapura adalah perhatian dan informasi yang diberikan kepada para penggunanya. Jika ada jalur yang diperbaiki, ataupun ada armada yang ditambah, planning dan publikasi-nya diberitahukan jauh-jauh hari. Konsekuensi dari perubahan tersebut juga diberikan secara langsung, seperti pemotongan harga untuk jalur tertentu atau alternatif penggunaaan bis untuk jalur yang terputus. Iklan dan propaganda-nya pun dijelaskan dengan baik dengan memperlihatkan manfaat yang didapat dengan perubahan yang terjadi.

[divider type=”dashed” color=”red” width=”85%”]

Tahun 2012, Singapura mendapat predikat sebagai the most emotionless and unhappy nation. Penduduk Singapura kemudian membuat sebuah program bernama Smile Campaign, dimana mereka mendokumentasikan wajah tersenyum para penduduk Singapura.

Di awal abad ke-19, London mempunyai sistem drainase dan sanitasi yang sangat buruk. Menyebabkan banyak penduduknya menderita penyakit, seperti kolera. Fast forward to 2015, lebih dari 100 tahun kemudian, studi mengenai sanitasi di kota London merupakan salah satu yang terbaik di dunia.

Semua perubahan butuh waktu, dan saya masih terus mau percaya bahwa negara ini bisa cerdas kalau masyarakatnya beropini dan berdiskusi dengan cerdas pula. Saya cukup senang sih waktu keluhan di social media tentang transportasi umum sempat berkurang karena ada alternatif transportasi seperti Gojek ataupun beberapa teman yang ‘sudah mampu’ mencicil kendaraan sendiri (dan kemudian semakin berperan dalam kemacetan Jakarta dan keluhan tersebut berubah menjadi postingan selfie di mobil atau foto macet dari balik dashboard, ouch!)

Walau kita tertinggal 28 tahun dalam membangun MRT dibandingkan Singapura, bahkan tertinggal 7 tahun dalam membangun Monorail dibandingkan India, saya masih optimis bahwa bangsa ini mau memperbaiki diri.

In this country, you may lose trust, you may lose loyalty, but you must not lose hope. Godspeed, to all epic believer out there. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.