Jum’at kemarin adalah hari terakhir saya bekerja freelance kantoran selama sebulan ke belakang. Karena pembangunan beberapa ruas jalan yang dilakukan bersamaan, sudah nggak aneh kalau waktu tempuh perjalanan jadi agak lebih lama dari biasanya. Nggak jarang saya mencari bacaan di internet saat waktu macet di bis. Tirto.id adalah salah satu alternatif bacaan saya. Awal perkenalan saya dengan Tirto adalah karena Zen RS menjadi salah satu editor di sana, haha. Tirto sendiri banyak mengulas isu berita terkini yang dikaitkan dengan kejadian serupa dalam sejarah dan kultur di masyarakat. Salah satunya tentang isu curhat mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan mantan presiden lain di seluruh dunia yang pernah menjabat.
Di zaman serba cepat seperti sekarang, batas antara berita dan informasi yang layak atau tidak layak dikonsumsi semakin sulit ditemukan. Pemerintah dan media, digawangi Kementerian Komunikasi dan Informasi sampai menyelenggarakan Kampanye Anti Hoax di awal tahun ini. Koran Republika mencetak berita hoax di antara kolom-kolom berita aslinya dan hanya menuliskan keterangan bahwa berita tersebut tidak benar di akhir artikel.
Beberapa waktu yang lalu, sempat beredar pemberitaan tentang remaja Macedonia yang mendapat hampir $16.000 dari pembuatan berita palsu selama Pemilu US. Ketika pertama kali membaca beritanya saya beranggapan bahwa kalau kita sudah tidak lagi mengingat Tuhan sepertinya pekerjaan ini sungguh menjanjikan. Dream comes true, bulan lalu kelompok bernama Saracen terungkap sebagai salah satu jaringan penghasil konten berita hoax. So, be careful the next time you want to click something, maybe you just made someone really really richer.
Tapi, apakah masalah kita hanya berhenti di berita palsu saja?
Minggu kemarin, pemberitaan tentang pernikahan Raisa dan Hamish membanjiri kanal berita daring. Mulai dari kebaya pernikahan, rumor rencana bulan madu, bahkan jumlah mas kawin kedua mempelai diberitakan tanpa filter dan menurut saya, sangat berlebihan. Hal ini tidak lebih baik dari 2014 silam di mana pernikahan Nagita Slavina dan Raffi Ahmad gencar diberitakan. Penayangan pernikahan pasangan tersebut bahkan menuai teguran dari KPI karena memakan waktu yang tidak wajar.
Di sebuah wawancara terhadap Andreas Harsono dalam bahasan tentang media cetak di zaman digital, beliau membahas tentang bagaimana menurunnya kualitas jurnalisme untuk media daring dan cetak. Di mana media daring lebih banyak mengutamakan kecepatan dan kuantitas pemberitaan untuk mendapatkan trafik. Beberapa media seperti detik.com kadang menggunakan berita yang sama dengan berbagai judul dan konten yang hanya diubah sedikit untuk mengundang pembaca. Hal ini lebih dikenal dengan istilah clickbait. Nggak bisa dipungkiri bahwa walaupun di hati kecil kita sudah tahu bahwa isinya nggak akan seberapa, but we tend to click it anyway.
Di luar negeri sendiri beberapa media menjadikan ulasan dan artikelnya sebagai konten berbayar. The New Yorker menerapkan fitur subscription, dimana pengunjung memiliki 6 berita yang bisa dibaca gratis setiap bulannya dan selanjutnya kita ditawari untuk berlangganan. Harian Kompas sendiri mulai beralih ke konten digital dengan Kompas.id. Sekilas, kita dapat melihat tampilan yang berbeda di halaman muka Kompas.id dibandingkan dengan Kompas.com dari layout dan pemilihan font. Dihargai dengan tarif Rp 20.000 – Rp 98.000/bulan, pembaca bisa dengan mudah mengakses berita dengan kualitas jurnalisme yang sama dengan koran cetak yang berharga Rp 4.500/eksemplar.
Awalnya, saya selalu bertanya kenapa kita harus membayar untuk sebuah informasi, bukankah informasi adalah anugerah di era digital? Tapi ironis sekali ketika begitu mudahnya mendapatkan informasi, justru kita lebih banyak disuguhi oleh informasi yang kurang berkualitas. Tidak berusaha munafik dan terlalu idealis, saya paham bahwa untuk dapat bertahan, portal berita daring memang harus berpegangan pada trafik karena ada banyak hal yang harus dibiayai di belakang hadirnya sebuah berita yang berkualitas.
Lebih selektif memilih berita yang kita konsumsi sehari-hari adalah salah satu syarat menjadi lebih waras di zaman ini tapi justru hal itu semakin sulit untuk dilakukan. Ada yang bilang salah satu filter yang paling jelas adalah diri kita sendiri, kita harus berhenti jika kita sudah jengah dengan sesuatu. Tapi lain ceritanya ketika hanya berita semacam itu yang dihadirkan setiap harinya dan nggak bisa dipungkiri bahwa kita terkadang memang cenderung memilih jalur yang lebih mudah dibanding harus bersusah payah berlangganan atau bahkan membayar untuk “sekedar membaca berita”.
Apakah teman-teman sendiri punya situs berita kredibel yang paling sering dikunjungi?