Di sebuah pembicaraan grup WhatsApp seputar KPR, salah satu teman saya bertanya apakah ada di antara kita yang menganut paham ‘millennials‘, yang tidak lagi menganggap penting tempat tinggal yang tetap sebagai sebuah kebutuhan. Di sebuah kuis tentang Which Millennials Are You? (yang mana saya lupa apa link-nya), saya ingat pernah mendapat hasil Conservative Millennials, yang katanya tipe millennials yang masih menganut nilai-nilai agama dan budaya. Sehingga, saya sendiri masih menganggap keberadaan ‘rumah’ maupun ‘tempat tinggal’ yang tetap sebagai suatu kebutuhan yang utama. Terlepas dari semua itu, menurut saya ini sungguh menarik.
Tahun lalu, saya pernah membaca sebuah artikel The Guardian tentang seorang Baby Boomer yang bertukar tempat dengan seorang Millennial, di mana selain mencoba bertukar tempat tinggal mereka ikut mencoba kehidupan sehari-hari masing-masing. Artikelnya sangat menarik dan menurut saya cukup menggambarkan kondisi kehidupan saat ini.
Beberapa waktu yang lalu juga sempat beredar forward-an WhatsApp tentang Leisure Economy dan bagaimana anak muda zaman sekarang lebih suka membeli experience dibanding sesuatu yang materiil. Saya nggak sepenuhnya percaya, karena saya masih melihat besarnya porsi barang materiil seperti gadget sebagai penentu kasta dan gengsi di masyarakat. Cynically speaking, there are some people who can’t afford a house because they’re too busy buying and spending everything else on something they thought they need in their lives. Like another cup of coffee and the impulsive concert ticket.
Walaupun hanya dipisahkan oleh 2 huruf, ada jurang yang sangat besar di antara ‘tidak mampu’ dan ‘tidak mau’. Saya paham bahwa harga properti maupun barang-barang kebutuhan sehari-hari saat ini kadang tidak bisa diimbangi dengan kenaikan pendapatan kita. Tapi saya rasa, tidak ada orang yang tidak menginginkan memiliki ‘rumah’ apapun bentuknya.