Ketika masih duduk di bangku SMP, saya terobsesi dengan segala hal tentang Jepang. Mulai dari anime, manga, dan kebudayaan Jepang. Biaya penggunaan internet masih sangat mahal saat itu. Ada suatu ketika di mana saya melambungkan tagihan telepon rumah sehingga orang tua saya melarang saya menggunakan komputer. Tapi di antara puluhan manga scan dan fanfiction, di antara berita-berita absurd seputar Jepang, untuk pertama kalinya saya melihat sebuah ruangan putih yang lenyap ditelan warna.
The Obliteration Room yang merupakan karya Yayoi Kusama dipamerkan pertama kali di Queensland Art Gallery pada tahun 2002. Saya bahkan tidak ingat siapa seniman yang sedang dibicarakan, tapi saya merasakan sesuatu yang baru. Melihat bagaimana manusia bereaksi pada sesuatu merupakan hal yang menarik bagi saya sejak kecil. Sehingga melihat ruangan dimana barang-barang rumah tangga dicat serupa untuk kemudian ‘dilenyapkan’ dalam timbunan bulatan warna-warni adalah suatu hal yang merangsang rasa keingintahuan saya.
Pengetahuan saya tentang Kusama maupun karya-karyanya tumbuh seiring waktu. Labu raksasa, bintik-bintik kuning, bola-bola perak, ruangan gelap yang bersinar warna-warni. Dan suatu ketika, karya Kusama terus menerus muncul di halaman muka media sosial yang saya miliki. Saya melihat antrian panjang dan bagaimana orang-orang berfoto di depan karya Kusama. Mereka menempelkan bulatan warna-warni di wajahnya, di depan ruangan putih dan barang-barang rumah tangga yang dicat putih. Ruangan yang sama dengan ruangan yang pernah saya lihat di depan layar tabung di suatu kamar gelap di suatu sore. Ruangan putih yang lenyap ditelan warna.
Karena saya tidak bisa membiayai diri untuk berkunjung ke pameran Kusama di Singapura (ataupun Jepang), saya sangat gembira ketika Museum Macan akhirnya membawa karya-karya Kusama ke Jakarta. Melihat puluhan selfie dan bagaimana manusia berkelakuan di depan barang seni kadang memang menggelitik, tapi saya tidak datang untuk menghakimi mereka. Mungkin pengetahuan saya tentang seni sama rendahnya dengan mereka, sehingga saya benar-benar tidak peduli dengan sekeliling saya. Saya hanya ingin memenuhi keingintahuan saya selama 16 tahun ke belakang.
Memasuki pameran Yayoi Kusama, Life is the Heart of Rainbow terasa seperti memasuki sebuah jiwa dan sudut-sudut baru. Ketakutan-ketakutan Kusama seakan nyata di dalam karyanya. Kusama cenderung memenuhi karyanya tanpa ruang untuk bernafas. Di suatu waktu, sayapun mengalami hal yang sama. Ketakutan akan ruang kosong. Mungkin itulah mengapa karyanya terasa begitu asing tapi juga terasa begitu dekat.
My Eternal Soul
Love Forever
Infinity Nets
Anehnya, karya yang paling mengena buat saya bukanlah instalasi dan lukisan warna-warni seperti yang dihadirkan Kusama di seri My Eternal Soul. Ruangan berdinding hitam yang memuat seri Love Forever berisi gambar hitam putih yang dibuat dengan pena dan seri Infinity Nets yang memuat panel-panel repetitif serupa gelombang adalah karya yang paling berbicara kepada saya.
The Spirits of the Pumpkins Descended into the Heavens
Ketika petugas meminta tiket saya untuk di-scan keluar, saya meminta waktu untuk kembali lagi melihat salah satu instalasi terindah yang pernah saya lihat, The Spirits of the Pumpkins Descended into the Heavens. Membaca cerita di balik instalasi ini membuat pikiran saya melayang. Ke musim panas. Ke langit malam bertabur bintang. Membayangkan kemungkinan-kemungkinan cerita fiksi yang mungkin dibuat dari ruangan kuning penuh bulatan hitam dan bayangan labu yang menyala tak terbatas.
Hingga akhirnya, ruangan putih yang lenyap ditelan warna.
The Obliteration Room
Walau harus menikmati ruangan tersebut dengan berbagai jenis manusia lainnya, yang liar maupun yang bersahaja, ia masih terasa magis. Di satu sisi, ruangan tersebut terasa biasa saja, stiker warna yang ditempelkan serampangan, maupun yang dengan hati-hati disusun bertautan. Tapi di sisi lainnya, bulatan warna-warni tersebut terasa seperti mencekik. Bulatan warna-warni tersebut seakan benar-benar akan memakan semua yang ada di dalamnya. Beberapa menit di dalam ruangan ini mengingatkan saya akan sebuah perasaan nostalgik yang pernah saya alami sebelumnya di ruangan eksibisi di Kawasaki. Perasaan hangat ketika ingatan masa lalu memenuhi diri dan mencoba merefleksikan tahun-tahun yang sudah lewat.
***
Saya tidak benar-benar mengerti seni dan saya tidak tahu bagaimana mengakhiri tulisan ini. Sepertinya, saya menulis terlalu banyak perasaan di paragraf-paragraf sebelumnya sehingga saya tidak tahu harus menulis apa lagi. Apakah saya harus menulis kesimpulan, dengan kalimat dangkal yang mungkin tak berarti? Apakah saya harus menulis pesan bijaksana bahwa membaca cerita di balik setiap karya seni adalah salah satu cara untuk mencoba memahami seni?
Saya rasa, seni dimaksudkan agar manusia merasakan sesuatu. Mengguncang nalar dan merangsang imajinasi. Yang saya pahami, karya adalah luapan perasaan. Yang sengaja dituang ataupun tumpah dengan caranya masing-masing. Perasaan-perasaan tersebut berusaha menyampaikan maksudnya. Tentang ingatan masa lalu dan ketakutan-ketakutan terbesar. Lewat medium serupa warna dan bulatan, ataupun kata dan nyanyian. Kadang, mereka mungkin tidak berusaha dimengerti, hanya ingin menyeruak keluar dan bernafas.
PS: I wrote the draft entirely in English, but then, I re-wrote it to Bahasa Indonesia just because there are more feelings that I can’t convey in English. So pardon me for the inconsistency of writing ‘bulatan‘ and ‘bintik‘. Because the two words represent the single word ‘dots’ and I use the more appropriate word in different sentences.
The exhibition will run until September 9, 2018. If you have some spare time, I really recommend you to come to the exhibition. For more information, please read here.