Tentang Kita dan Mereka

Dalam berkehidupan, saya cenderung membatasi diskusi seputar politik di ruang publik. Selain tidak terlalu memahami secara mendalam, beberapa tahun ke belakang kata ‘politik’ terdengar sangat kotor. Definisi politik terasa sangat elit sekaligus sangat rendah. Selama tahun 2014-2017 kemarin, saya sempat menuliskan beberapa kekesalan saya yang sebenarnya membicarakan politik tapi bernarasi ketidaknyamanan dan ketidaktenangan.

Tahun 2019 sendiri digadang-gadang sebagai tahun politik karena adanya Pemilu di bulan April mendatang, tapi nyatanya setiap tahun terasa seperti tahun politik. Kali ini, saya memberanikan menulis post ini karena sepertinya mulai banyak ruang-ruang aman yang muncul seputar politik yang ditujukan untuk anak muda. Asumsi merupakan channel yang menurut saya bersikap netral untuk menghadirkan tokoh-tokoh politik tanpa mengubahnya menjadi arena pertarungan. Saya sendiri mempunyai banyak pandangan baru tentang FH, yang ternyata berani mengemukakan pendapatnya tentang ketidakbenaran and staying true to his values. Atau AH yang ternyata punya pandangan luas tentang Indonesia di mata dunia, sehingga membuat saya paham kenapa performanya di kontenstansi Cagub DKI terlihat sangat buruk (he definitely needs a bigger stage!).

PS: Maaf saya nggak akan menyebutkan nama dan mungkin bisa membuat tulisan ini terasa seperti artikel kriminal (hahaha), tapi bisa diklik aja link videonya yaa.

Buat saya sendiri, tahun ini kembali menjadi perang hashtag yang menurut saya, tidak relevan. Banyak orang takut tentang para prajurit cyber yang menyebarkan ketidaknyamanan di antara para pengguna sosial media. Terlepas dari hasil pemilu Gubernur Jabar dan DKI Jakarta, saya sendiri masih belum percaya bahwa hal ini menggambarkan kondisi sesungguhnya dari pemilih aktif saat ini.

Di beberapa momen, saya juga menemukan banyaknya kecenderungan warga kita (umumnya yang berpendidikan tinggi, tetapi saya tidak ingin meng-generalisir) untuk menghubungkan semua pola dan gejala politik dengan istilah politik luar negeri. Beberapa teman dan tokoh yang saya amati di linimasa media sosial saya, cenderung lebih aware dengan geliat politik luar negeri dibanding di dalam negeri. Salah satu hal yang menurut saya sangat overused adalah penggunaan kata ‘firehose of falsehood’ yang diasumsikan sebagai teknik propaganda yang dihubungkan dengan fenomena hoax yang sempat beredar. Tapi kasarnya, hanya karena kita tahu satu dua hal tentang politik luar negeri, hal itu tidak akan membuat kita memahami gambaran keseluruhannya. Akan ada akibat sosio-politik yang mungkin nggak akan kita pahami secara utuh. Saya tidak ingin menyebut bahwa mengetahui isu global adalah hal yang tidak penting, tapi kadang nggak bisa serta merta dicomot dan disamakan dengan yang terjadi di Indonesia.

Saya paham, bahwa politik di Indonesia sendiri masih terbelakang dibandingkan politik-politik luar negeri seperti USA. Pandangan politik partai-partai besar di Indonesia sendiripun masih cenderung ‘mencari aman’, kebanyakan menggunakan paham ‘demokratis religius’. Seakan paham tersebut menjadi pakem tersendiri untuk bisa diterima di oleh para pemilih. Terkadang, warga Indonesiapun masih mendewakan tokoh/sosok/partai sebagai arah pandangan politik. Padahal menurut saya, pandangan politik ini penting karena (harusnya) akan berpengaruh kepada keberpihakan, pengambilan keputusan, dan hal-hal mendasar lainnya. Karena semua partai dan tokoh kebanyakan menggunakan paham yang sama, kita seakan tidak punya pembeda selain identitas dan latar belakangnya semata. Pada akhirnya, nggak bisa dihindari bahwa kita akan cenderung membiarkan politik identitas meluas. Kita hanya akan berkutat di kata-kata semacam gagah dan tidak gagah, si kaya dan si miskin, fasih Bahasa Inggris atau tidak, dll. Ataupun gimmick janji-janji politik seperti penghapusan pajak motor seumur hidup ataupun kartu pra-kerja yang sebenarnya terlalu prematur. Janji politik tidak ubahnya menjadi omong kosong, yang kalau dipaksa diwujudkan akan berujung seperti penghentian reklamasi Teluk Jakarta yang setengah-setengah. Proses pengadaannya butuh banyak pertimbangan sehingga kita seakan harus selalu berprasangka buruk kepada sebuah janji yang terucap di masa kampanye.

***

Fenomena yang juga meningkat akhir-akhir ini adalah fenomena Golput. Saya sendiri pernah berada di posisi ini, saya memutuskan untuk tidak memilih karena waktu itu, saya tidak merasa berhak untuk memilih dengan pengetahuan dangkal seputar Pemilu maupun calon-calon yang ada. Tetapi, di zaman informasi cepat seperti sekarang ini, kita justru terlalu banyak dibanjiri dengan informasi sehingga tidak bisa memilah yang mana yang bisa digunakan sebagai pertimbangan untuk memilih. Kebanyakan informasi ini membuat saya terkadang sangat kesal dan kehilangan arah untuk menentukan pandangan. Pilihan Golput sebenarnya bisa merupakan pilihan yang sangat politis, tetapi juga bisa merupakan pilihan yang sangat abai.

Menurut saya, jika kamu tidak ingin memilih salah satu dari kedua calon Presiden, setidaknya kamu bisa mulai mencari calon di posisi lain yang bisa mewakilimu.

Ya, Pemilu 2019 ini sangat spesial karena kita tidak hanya memilih Presiden tetapi juga calon DPR, DPRD, dan DPD. Keputusan yang sangat tidak saya sukai karena media dan KPU cenderung sangat fokus dengan re-match kedua calon Presiden. Padahal, kita semua tahu bahwa kinerja anggota DPR dan DPRD di beberapa tahun ke belakang sangat buruk dan mengesalkan.

Beberapa situs yang memberikan informasi seputar calon legislatif ini terasa tidak terlalu informatif. Saya merekomendasikan jariungu.com dan pintarmemilih.id, kamu bisa melihat siapa saja caleg di daerahmu beserta asal partai, motivasi, maupun riwayat kehidupan/CV. Sayangnya, data yang diambil dari situs KPU ini hanya ‘begitu saja’. Saya tidak merasa ‘cukup’, dengan melihat CV yang berisi daftar sekolah maupun award yang didapat. Motivasi dan tujuan yang ada juga hanya berisi 1-2 kalimat singkat yang kadang, ditulis asal-asalan.  Sebagai perbandingan, kamu juga bisa mengecek situs rekamjejak.net untuk mengetahui yang mana saja caleg yang pernah terkait kasus korupsi. Situs ini dikelola oleh ICW, sehingga datanya bisa dianggap valid.

Saya rasa, KPU gagal memberikan ruang untuk para calon anggota legislatif untuk mendapatkan spotlight yang sama. KPU hanya menyediakan data dan kita harus aktif mencari informasi sendiri. Kita, sebagai pemilih, seakan tidak ditaruh sebagai ‘pusat’ dari Pemilu itu sendiri. Pada akhirnya, saya dan mungkin saja banyak warga lainnya, cuma bisa memperhatikan baliho, spanduk, ataupun stiker yang ada di pinggir jalan.

Di satu titik, saya merasa kita semua akan mengalami kejengahan yang sama. Kita ingin semuanya cepat berakhir dan 17 April segera berlalu. Padahal, sebenarnya dalam hati kecil, kita sama-sama tahu bahwa hari Pemilu tidak akan berakhir di hari itu saja. Pertikaian seputar Pemilu 2014 saja tidak pernah benar-benar selesai sampai sekarang. Konsekuensi hasil Pemilu pun harus kita tanggung untuk 5 tahun ke depan. Apapun itu, saya berharap kita semua akan lebih ‘santai’ menghadapi semuanya. Dalam berpolitik, pilihan yang berbeda adalah suatu hal yang wajar. Walaupun kalimat sebelum ini terdengar klise, tapi memang hal tersebut benar adanya.

Saya sendiri, tidak terlalu suka dengan pendapat bahwa kita harus memilih seseorang karena dia lebih ‘baik’ atau lebih ‘jahat’. Menurut saya, politik itu bukan hitam putih maupun baik/buruk. Politik dekat sekali dengan yang namanya kepentingan dan keberpihakan, Kepentingan yang dimaksud di sini bukan selalu berfokus kepada elit ataupun perusahaan besar, keberpihakan juga bukan selalu tentang rakyat kecil. Kedua kata tersebut merujuk kepada kita, warga, sebagai subyeknya. Contoh mudahnya, beberapa perusahaan konstruksi swasta dalam 5 tahun ke belakang agak kesulitan untuk mendapatkan proyek tapi untuk perusahaan BUMN, akan lain ceritanya. Latar belakang ini tentunya akan mendasari pilihan maupun keputusan yang akan mereka ambil, yang menurut saya, tidak bisa ada satu pihak yang disalahkan.

Tulisan ini terasa sangat panjang dan sangat singkat, sepertinya ada banyak hal yang ingin saya ungkapkan tetapi mungkin terlalu dangkal untuk dituliskan. Sama halnya dengan kamu, saya hanya tahu porsi-porsi kecil yang tidak berarti. Untuk menjadikan Indonesia lebih dewasa dalam berpolitik mungkin akan menjadi suatu proses yang sangat panjang. Kali ini, di topik ini, saya pun tidak mempunyai kecenderungan untuk menjadi optimis :)) But, it’s worth try. At least, start with you.

PS: Mari mendoakan kesehatan dan kewarasan untuk setiap pemilih sampai hari H Pemilu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.