Kadang, ada waktu di mana kita mempertanyakan keberadaan diri untuk kemudian memilih untuk berhenti dan kembali menjalani hari seperti biasa. Entah karena memang ingin melupakan sejengkal kegelisahan, atau memang ingin mengambil aksi dari semua kesimpulan. Saya nggak suka berpikir terlalu panjang dan saya lebih suka mencari jawaban lewat hal-hal kecil dalam keseharian, jadi ketika pertama kali mengalami depresi saya nggak tau harus berbuat apa. Saya beruntung nggak punya keinginan sedikitpun untuk mengakhiri hidup ataupun mencari jawaban lewat ketergantungan, tapi nggak sedikit orang yang seberuntung saya.
Beberapa waktu yang lalu, sempat beredar berita-berita seputar bunuh diri. Mulai dari vokalis band rock favorit sampai orang asing yang tidak saya kenal. Saya beberapa kali berkata bahwa yang namanya berita sensasional dan kemalangan pasti lebih cepat beredar di masyarakat. Saya kembali menyayangkan banyaknya lembaga berita yang terlalu mengekspos hal semacam ini secara berlebihan. Imbasnya, pusat solusi dan lembaga masyarakat sibuk menginformasikan nomer hotline yang dirasa bisa membantu orang-orang yang memang mengalami depresi yang amat sangat dan memikirkan mengakhiri hidup. Kata depresipun kemudian mengalami penurunan arti dari istilah medis menjadi kata kerja sehari-hari.
Depresi yang dimaksud di sini bukan sekedar ungkapan masa kini yang biasa beredar di lini masa. Perasaan sedih karena ditinggal kekasih ataupun kesal karena kehilangan dompet ditambah diguyur hujan tidak bisa serta merta dikategorikan dengan depresi akut. Saya nggak terlalu banyak tahu ataupun mencari tahu karena saya takut bahwa saya mengalami hal yang lebih dalam dari yang saya duga. Ternyata justru hal-hal semacam ini yang bisa memicu lebih banyak orang yang terjebak dalam depresi akut.
(image taken from here)
Kalau ditanya seperti apa sih memangnya depresi itu, efeknya mungkin berbeda di setiap orang. Salah satu artist kesukaan saya, Gemma Correll kerap menggambar untuk Mental Health for America tentang gejala mental health dan menurut saya hasil karyanya sangat menggambarkan beberapa symptoms dengan baik.
Panic attack, mood swings, bahkan kadang ada yang berdampak kepada fisik kita. Kalau buat saya, mungkin perasaan cemas dan menghimpit yang tidak pernah hilang yang membuat saya kurang bisa tidur. Alasan untuk depresi sendiri mungkin juga nggak terlalu jelas dan kita sadari, bisa karena hal-hal kecil yang menumpuk atau hal besar yang datang tiba-tiba.
Definisi mental health sendiri buat saya yang awam terlihat sangat kabur. Bahkan mungkin sebagian orang menganggap penyakit mental selalu berhubungan dengan kata ‘gila’ atau ‘kurang waras’. Tapi sebenarnya beberapa penyakit kejiwaan bahkan bisa terjadi ketika kita merasa mampu mengendalikan diri sendiri.
Baru-baru ini, Prince Harry bercerita tentang bagaimana ia mengalami depresi setelah kematian ibunya Lady Diana dalam sorotan publik. Salah satu hal yang sangat disesalinya adalah ketika ia memilih untuk tidak bercerita tentang kesedihannya ini kepada orang lain. Padahal dengan mencari support system dalam bentuk komunitas atau sekedar teman bicara, justru bisa mengurangi beban jiwa yang kita tanggung.
Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca blog Ozu tentang depresi dan saya banyak berpikir setelahnya. It’s not always on the outside that counts, but what we feel inside matters. Representasi kita di masyarakat mungkin nggak selalu mencerminkan kegelisahan-kegelisahan kita. Bukan berarti orang-orang yang hidupnya seperti baik-baik saja tidak punya banyak masalah. Maybe, they can’t share the struggles and hardship so easily. Mungkin ada orang-orang yang bisa berbagi kalau dia sedang merasa sial hari itu ke banyak orang tapi ada juga orang-orang yang makin menutup diri jika mengalami hal yang sama. Tidak ada yang salah dengan kedua hal tersebut, tetapi penanganannya harus berbeda untuk masing-masing orang.
Ada banyak tips untuk menghadapi depresi termasuk di antaranya berolahraga dan mencari hal yang bisa mendistraksi kamu dari berpikir terlalu dalam. Find something that suit you and things that can make you take the most benefit from. Saya sendiri mudah mendistraksi diri dengan membuat sesuatu. So, if you see me posting something on my Instagram in strange hour, most of the time, it might be me trying to distract myself for insomnia or disturbing thoughts.
Cara termudah untuk menemukan hal yang bisa mendistraksi kamu dari pikiran negatif adalah dengan mencari hal apa yang paling membuat kamu bahagia. Pasti semua orang tahu tentang kalimat klise bahwa bahagia selalu datang dari dalam diri sendiri, tapi mungkin nggak semua orang tahu tentang bagaimana mendapatkan hal tersebut.
Di kolom komentar post Ozu, saya juga menemukan komentar Maut yang mencantumkan slide yang dibuatnya. Saya kenal Rahma Utami dari unit kegiatan di kampus. Di balik gaya berbicara Maut yang sangat cepat, ia adalah orang yang gemar belajar hal baru dan sangat memahami banyak bidang.
Slide yang berjudul Happiness Manifesto ini adalah salah satu slide yang sangat mengena buat saya. Karena walaupun saya sudah menerapkan hal yang dijelaskan Maut selama bertahun-tahun, tapi saya nggak tau sains di baliknya. Asing sekaligus menyenangkan membaca penjelasan tentang cara bahagia.
In the end, I believe you are never really alone afterall. Let’s (at least try to) be happy for the rest of our time here, because I believe a little bit of happiness can bring a lot of different in this life :)
One thought on “The Hardship of Happiness”