Keberagaman, Cinta, dan Tribun Selatan

Indonesia adalah negara yang selalu menarik untuk dibahas. Di saat keberagaman menjadi daya tarik yang besar bagi Indonesia, di saat yang sama, keberagamaan acap kali menjadi akar penyulut pertikaian. Mengambil contoh Pilkada DKI 2017 yang sarat dengan isu pertikaian antar agama, tampaknya masyarakat Indonesia masih harus banyak belajar soal toleransi antar sesama. Hal ini terlihat dari mudahnya menyulut berbagai hal hanya karena perbedaan pendapat yang kemudian meluas menjadi perbedaan ras dan agama. Ketika masyarakat Indonesia tampak mulai lelah karena harus kembali menghadapi derasnya arus putaran kedua pilkada, data Komisi Pemilihan Umum (KPU) justru menunjukkan peningkatan partisipasi pemilih DKI Jakarta yang mencapai 78%, dibandingkan putaran pertama yang hanya mencapai 75,75%. Para pemilik KTP Jakarta yang tinggal di luar kota maupun luar negeri berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk sekedar memilih kandidat yang didukungnya. #OneVoteCounts begitu seru tagar yang beredar di Twitter pada tanggal 15 Februari 2017 kemarin. Hal ini juga menarik perhatian media luar negeri yang ternyata menaruh perhatian yang cukup besar tentang dampak isu SARA dalam politik Indonesia.

New York Times dan CNN menuliskan bagaimana Pilkada DKI kemarin akan dilhat sebagai titik balik toleransi beragama di Indonesia. Indonesia sendiri masih punya banyak catatan hitam yang belum terselesaikan tentang toleransi antar umat beragama dan rasisme yang melibatkan HAM. Walaupun sama-sama mengusung Bhinneka Tunggal Ika dan sudah memasuki zaman digital yang penuh informasi dan keterbukaan, tetapi nyatanya masyarakat kita masih judgemental dan belum terbuka terhadap ras atau agama tertentu.

***

Di balik semua narasi miris di atas kalau ada hal-hal yang bisa mempersatukan Indonesia saat ini, salah satunya mungkin adalah kompetisi olahraga. Perdebatan tentang siapa yang pantas menjadi pemimpin atau tidak akan terlihat usang di tengah teriakan dukungan di lapangan.

Tidak sedikit yang merinding dan menangis ketika Lilyana Natsir dan Tontowi Ahmad membawa pulang medali emas di Olimpiade Rio 2016, tepat di hari kemerdekaan setahun silam. Atau bagaimana bersatunya warga Indonesia ketika bendera kita dihadirkan terbalik di beberapa media cetak Malaysia di ASEAN Games 2017 kemarin. Tidak ada caci maki atau sindiran, hanya teriakan yang sama.

***

Untuk penonton bola karbitan yang cuma menyaksikan sepakbola lewat layar televisi di momen-momen populer saja, menemukan diri saya berdiri di antara puluhan ribu penonton di stadion sepakbola di luar kota adalah suatu kejanggalan.

Mengantongi tiket yang dibeli lewat sebuah situs daring, saya menyaksikan bukti kecintaan sekelompok masyarakat terhadap klub yang mewakili daerah Sleman, PSS Sleman. Piala presiden 2017 baru memulai awal liganya. Kompetisi ini adalah kali kedua diadakan sejak 2015 silam. Harga tiketnya sendiri dibanderol seharga Rp 50.000 – Rp 80.000.

Apa yang membuat pertandingan PSS Sleman berbeda dari yang lain? Padahal klub yang dijuluki Elang Jawa inipun cuma mampu berada di Liga 2 Indonesia. Aksinya pun tidak terlalu populer seperti pertandingan Persib atau Arema yang kerap ditayangkan di stasiun televisi. Salah satu jawabannya ada di antara susunan tempat duduk Stadion Maguwuharjo. Di antara puluhan ribu tiket yang dijual, dengan jumlah total 4 tribun, hanya tiket tribun selatan yang tidak dijual bebas. Tribun selatan yang berwarna kuning ini mampu menampung 10.000 penonton, jumlah yang signifikan jika dibandingkan dengan jumlah penonton di ketiga tribun lainnya. Pasalnya, tribun selatan memang istimewa.

Sebagian tiket hanya bisa didapat via distribusi dari sebuah kelompok bernama Brigata Curva Sud (BCS). Nama yang berasal dari Bahasa Italia ini berarti Brigade Tribun Selatan.

Bermodalkan rasa cinta kepada klub kesayangannya, memisahkan diri dari Slemania yang berdiri lebih dulu, BCS mengawali kiprahnya sebagai suporter PSS Sleman di tahun 2011. Berevolusi menjadi salah satu ultras Indonesia, BCS kini turut menyokong finansial PSS Sleman dengan mendirikan beberapa usaha merchandise. Ultras diambil dari kata ultra-fanatical support. Berbeda dengan istilah hooligan yang selalu dikaitkan dengan kekerasan dan fanatisme ekstrim, ultras lebih dikenal sebagai kelompok yang kerap hadir mendukung klub sepakbola dengan yel dan aksi tersendiri di lapangan. Didaulat sebagai ultras terbaik Asia versi Copa90, BCS berusaha mengubah citra pertandingan sepakbola yang sarat hinaan dan caci maki menjadi sebuah seruan semangat. BCS punya deretan lagu dan yel-yel khusus yang diunggah berkala ke situs mereka, bersamaan dengan berita dan informasi pembelian tiket pertandingan terkini.

Chants dan yel-yel milik BCS bukan hal baru bagi para penggemar sepakbola Italia, hal ini terdengar dari lagu dan chants mereka yang memang diadopsi dari klub-klub sepakbola Italia. Walaupun begitu, BCS tetap merupakan bentuk baru suporter sepakbola Indonesia.

Tidak mengenal usia dan gender, baik bocah-bocah SD maupun ibu-ibu, semua kalangan melebur menjadi satu dalam lagu. Hari itu, di akhir sorak sorai yang memadati stadion, laga pertandingan PSS Sleman melawan Persegres Gresik United berakhir seri. PSS Sleman tersingkir dari kompetisi karena ketinggalan poin dan menjadi juru kunci di Grup 1. Saya beranjak meninggalkan stadion dan melewati barisan suporter yang kecewa. Tidak sedikit suporter yang menangis dan bersedih tapi kecintaan mereka terhadap tim sepakbola yang didukungnya tidak pudar. Mereka masih sama-sama bernyanyi mengantarkan tim kesayangannya meninggalkan lapangan.

***

Sosiolog Georg Simmel pernah mengemukakan bahwa memiliki musuh yang sama adalah cara tercepat untuk menyatukan sekelompok masyarakat. Definisi musuh dalam kompetisi olahraga adalah lawan tanding. Dalam keberlangsungannya, seburuk apapun hasil pertandingan yang didapat kita dituntut untuk tetap sportif dan menerima kekalahan atau kemenangan dengan lapang dada. Hal yang tidak umum terjadi di aspek lainnya dalam kehidupan.

Duduk di bangku suporter stadion sore itu tidak membuat saya lebih mencintai sepakbola ataupun PSS Sleman, tapi ada rasa iri hati dan kekaguman yang besar ketika suatu kelompok masyarakat tertentu bisa dengan tulus berbuat banyak hal hanya untuk sebuah tim sepakbola.

Apakah suatu hari nanti kita bisa dengan mudahnya mengesampingkan perbedaan untuk mencintai suatu entitas yang lebih besar? Apakah kita perlu menciptakan musuh yang sama untuk menyatukan kelompok masyarakat? Apakah karena perbedaan-perbedaan kecil maka kita menciptakan lebih banyak bentuk musuh? Apa yang membuat kita lebih mementingkan perbedaan kecil padahal kita juga merupakan bagian dari suatu wadah besar yang lain? Kota. Bangsa. Negara. Semesta.

Mungkin akan tiba suatu hari dimana kita sama-sama bersorak di satu lapangan dan menjadi satu dalam teriakan. Mungkin bukan hari ini atau besok. Tapi saya tidak ingin pernah berhenti berharap.

PS:

Tulisan ini saya buat beberapa hari setelah putaran pertama Pilkada Jakarta 2017 yang lalu dan entah kenapa terkubur di draft notes dan tidak juga saya selesaikan. Mungkin pembahasannya sudah tidak terkini tapi saya rasa masih relevan untuk ditilik kembali, jadi saya menuliskan ulang dan memasukkan beberapa hal yang saya anggap bisa memberikan lebih banyak narasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.