Sekarang ini, kalau disuruh memilih antara membaca buku dan menonton film atau TV series, saya dengan mudahnya memilih media visual. Mungkin karena kemudahan menerima pesan yang disampaikan. Hal ini nggak lepas dengan kecintaan saya di bidang sinema dan hobi menonton bioskop. Saya bahkan pernah punya blog khusus tentang review film yang selalu saya isi menonton film atau TV series. Kalau dibaca lagi mungkin isinya biasa saja, tapi saya senang sekali kalau ada orang lain yang ikut menonton film-nya melalui rekomendasi tulisan saya. Saya bahkan lebih memilih untuk menargetkan berapa banyak film yang saya tonton di bioskop dibanding berapa banyak buku yang harus saya selesaikan (dewa literatur, tolong ampuni saya). Tapi beberapa tahun ke belakang saya jarang menonton film di bioskop. Frekuensi datang ke bioskop pun berkurang menjadi hitungan jari dalam kurun 2-3 bulan karena memang nggak punya budget berlebih untuk menonton. Sedih sih, tapi saya jadi lebih selektif memilih film apa yang pantas ditonton di bioskop (dan mana yang cepat muncul di Layarkaca21, haha).
***
Beberapa waktu yang lalu, saya menonton Cars 3 di bioskop. Saya sendiri selalu berusaha menonton film PIXAR di bioskop karena punya keterikatan pribadi dengan film-film animasi PIXAR. Saya kembali nggak berekspektasi karena Cars adalah film franchise PIXAR yang menurut saya paling lemah dan nggak terlalu saya sukai. Tapi kemudian, di sepanjang film saya menangis karena isu yang diangkatnya.
Sepertinya saya sudah terlalu banyak menonton film PIXAR sehingga saya tahu bagaimana alur film akan berakhir di tengah film. Alur ceritanya sendiri tidak terlalu istimewa tapi sangat pas untuk dinikmati. Pada akhirnya, saya tetap dibuat terharu oleh momen-momen kecil yang sarat makna di sepanjang film.
Bagi penonton muda yang menonton film ini, mungkin Cars 3 hanya sekedar hiburan yang menarik. I mean, Lightning McQueen has everything you asked for being a successful money maker. Mobil racing berwarna merah (kids always in love with red!) dengan stiker yang mengkilat dan facial expressions yang lucu. Ketika Cars pertama keluar saya beranggapan bahwa film ini cuma ditargetkan untuk menjual merchandise, begitupun ketika sekuelnya Cars 2 keluar. Tapi hal ini malah digambarkan dengan jenaka di dalam film ketika sponsor baru McQueen mengusulkan agar dirinya berhenti balapan dan menjadi sebuah brand yang menjual banyak produk dan merchandise (ha!).
McQueen tidak lagi ada di pusat perhatian, sehingga saya lebih bersimpati kepadanya dibanding di dua film sebelumnya. Lightning McQueen mewakili perasaan banyak orang di zaman yang sangat cepat berubah ini. Di antara gerusan ekonomi dan perkembangan teknologi yang deras, nggak jarang banyak orang yang lebih muda yang akan lebih pintar, sukses, dan bahkan mewawancarai kamu di salah satu interview kerja. Nggak berarti bahwa kita harus rendah diri atapun berada di posisi oposisi karena benar adanya bahwa the very constant thing in life is change. Nggak selamanya kita akan selalu ada di bawah spotlight, makanya kita harus tahu kapan menempatkan diri di setiap jenjang kehidupan. Pernyataan ini digambarkan di awal film ketika McQueen meyakinkan dirinya dengan mantra favoritnya, “I am speed“, tapi malah mempertanyakan apakah dirinya memang benar meyakini kata-katanya tersebut.
Di akhir triloginya, Lightning McQueen dan Cars 3 tidak kehilangan dirinya, ia justru berhasil menyingkirkan egonya dan meninggalkan hal yang paling penting untuk generasinya, legacy.