//July 24, 2009//
David Yates and the gang of Harry Potter is back again on the 6th installment of the series. Oke, kalimat pendapat pertama, saya suka.
Banyak early review tentang seri ini bilang bahwa film ini adalah Oscar material. Tapi beberapa teman saya malah memperingatkan bahwa filmnya gk bagus-bagus amat. Tapi kalau kamu suka film drama, pasti suka film ini. Soalnya, terbukti memang porsi action yang seharusnya ditampilkan oleh para Death Eaters yang nyelonong masuk Hogwarts itu malahan hanya ditampilkan sedikit sekali.
Saya bukan penggemar film drama. Saya juga bukan penggemar film action. Sejak awal saya menggemari film, saya tidak pernah mengkategorikan film-film kesukaan saya dengan genre. Jadi, sayapun menonton Harry Potter tanpa banyak perkiraan. Dan hey, It’s the first time I said that this Harry Potter film is magical! Entah mengapa, tipe penggarapannya mendadak serius, sinematografinya bagus dan filmnya mengalir wajar.
Walaupun banyak hal-hal di filmnya yang tidak jelas bagi para penonton filmnya yang bukan pembaca bukunya. Seperti kehadiran Fenrir Greyback yang cuma muncul di poster pinggiran jalan padahal wajahnya nampang di sepanjang film tidak dijelaskan sama sekali. Hubungan Tonks dan yang tiba-tiba sudah menikah saja. Ataupun betapa misteriusnya The Half Blood Prince yang ternyata di filmnya malah ‘hanya’ berakhir dengan kalimat Snape, “Yes, I am the Half Blood Prince.”. Toh di akhir film saya merasa filmnya lebih dari sekedar menghibur.
Emma Watson also, still looking gorgeous and above expectation, deliver a great role being Won Won’s best friend who’s getting jealous because her best friend is actually snogging other people. Tapi saya menganggap Ginny masih kurang cantik buat jadi pacar seorang Harry Potter. Tokoh Lavender Brown justru mencuri perhatian saya, muka genit dan kelakuan gk banget itu justru membuat saya mengingatnya sampai akhir film. Dan Luna Lovegood, wow! I just actually fall in love with her. Pujian saya alamatkan kepada Draco Malfoy yang diperankan baik-baik saja oleh Tom Felton. Yang menarik adalah, dia bahkan pake jas waktu bangun tidur. Scene favorit saya, tentu saja, adegan di toko Fred & George Weasley.
Hal yang membuat saya suka seri kali ini adalah di film ini, entah mengapa saya merasa Yates sedikit melupakan unsur komersial seri Harry Potter ini yang membuat pemotongan-pemotongan dari bukunya justru terlihat rapi dan tidak mengganggu. Hal ini juga dibuktikan dengan penggambaran yang tadi saya sebutkan, di mana tampaknya si penonton harus sedikit banyak membaca bukunya untuk tahu lebih jelas tentang banyak hal. After all, I do love this film. Walaupun pada akhir filmnya, saya menyesal pernah membaca buku ketujuhnya. Karena kalau saya tidak tahu lanjutan ceritanya, pasti saya berteriak-teriak sumpah mati ingin menonton lanjutan filmnya ketika si Snape dan geng Death Eaters berlalu meninggalkan Hogwarts.
Well, don’t just dying to know what will Yates bring in the latest installment? Tapi tentu saja harus menunggu setahun lagi.