Cerita Saya dan Coklat-Coklat yang Melirik

Hampir akhir April.

Entah kenapa setiap akhir bulan ada semangat-semangat yang tiba-tiba menyeruak, padahal mungkin tujuan-tujuan di awal bulan belum tercapai (ha!).

Ini cerita saya beberapa bulan ini.

Kakak saya kembali berstatus mahasiswa dari tahun kemarin, dia bersekolah part time untuk mendapatkan gelar Magister di Singapura. Karena kegiatan kelas dilakukan di malam hari, dia banyak punya waktu senggang. Kakak saya mulai berjualan barang-barang rumah tangga yang dia bawa sewaktu pulang ke rumah.

Awalnya kami sekeluarga senang karena hasilnya lumayan dan semakin banyak hal-hal yang bisa dilakukan bersama. Ibu saya punya jadwal pengepakan dan pengiriman barang, saya punya banyak pesan singkat untuk dibalas, dan kakak saya mengatur pesanan dari pelanggan. Saya bersyukur sekali, di saat orang-orang pergi ke luar pulau untuk mengejar pekerjaan terbaiknya, ataupun menjauh dari macetnya ibukota, pilihan saya untuk tetap tinggal di sini serasa sangat berharga. Menghabiskan banyak waktu bersama keluarga adalah satu-satu kemewahan yang sangat istimewa buat saya. Ada saat-saat saya benar-benar ingin pergi dan mengejar banyak hal, tapi ternyata untuk saat ini, saya masih sangat bersyukur dengan pilihan saya :)

Then shit got serious, haha. Pesanan-pesanan makin banyak dan kakak saya semakin jarang pulang ke rumah, beberapa kali kami juga mendapat pesanan dari salah satu franchise toko barang rumah tangga yang lumayan terkenal, sehingga akhirnya kami memutuskan untuk shipping barang dari tempat kakak saya. Untungnya lumayan berkurang, tapi jaringan semakin berkembang. Kami belajar tata cara impor barang dan ribetnya proses bea cukai, serta kotornya semua peraturan yang melingkupinya. Kasarnya sih, ketika kita ingin jujur dan taat aturan, justru aturannya tidak ada.

Awal Maret kemarin, kakak saya mengajak saya untuk memulai menjual barang lain. Salah satu benda favorit saya yang diciptakan di dunia. Snack dan cokelat :)) Saya dan ibu penggemar es krim dan coklat, dan saya penggila MSG, sudah beberapa saat kami berangan-angan punya stand es krim dan coklat sendiri. Akhirnya, sebagian kecilnya mulai terwujud.

http://www.facebook.com/snackerssnack/

Namanya sedikit norak sih, tapi harap maklumlah yaa :)) Toko online ini masih baru mulai, tapi beberapa produknya cepat sekali diborong. Awalnya ketika diberi tahu ke beberapa teman, banyak yang bilang harganya terlalu mahal. Saya dan kakak juga ragu dengan pricing harga yang ada, tapi kami tidak mau merusak harga pasar sehingga menentukan harga kadang menjadi hal yang dilematis, haha. Tapi ternyata ada segmen-segmen yang tetap membeli. Di bulan pertama, keuntungan kami hampir 80% dari modalnya, hasilnya juga telah berhasil menerbangkan saya mengunjungi kakak di bulan ini. Alhamdulillah ya :) Kakak saya mencegah saya mengalokasikan dana untuk reksadana dan fokus untuk mendanai toko kecil ini. Saya belum berani bilang bisnis karena kami belum punya business plan yang rapi, dan baru berjalan dua bulan.

Serunya lagi, saya makin banyak tahu fakta-fakta yang penting nggak penting sih sebenernya. Contohnya, salah satu snack favoritnya Walter Bishop ini—Twizzler. Beberapa kali kami sempat kesal karena Hershey’s, toko yang menjual barang ini, menjual produk dengan waktu penanda Best Before yang sangat sempit. Ternyata arti Best Before di label barang artinya permen tersebut akan sedikit mengeras di waktu tersebut, bukan menunjukkan batas kadaluarsa. Permen tersebut akan kembali lunak jika dimasukkan ke microwave selama 10-12 detik. Haha.

twizzlers-strawberry-im-131428

Oh iya, bagian paling menyenangkan dari punya toko ini? Bagian cicip mencicipi, aah nggak bohong deh menjual barang/melakukan hal yang kamu suka pasti membuat promosinya jadi lebih bersemangat.

ini salah satu coklat favorit saya :3

Hello, February

January came with a lot of bad news on television. Flood strikes earlier this month, drug cases involving an artist and political figure, another political figure arrest because of alleged bribery, narcissistic people trying to become president, etc. Staying away from national news/television is really a better option these days. But, every other day I think we should find things to be thankful for. There should be.

Like the spring collection from Flats for Jade.

I have things with Indonesian’s local product. I also have this thing about neon colors. Get is a Bandung based, local company specialized in daily bagpacks and messangers, as well as travel packs. The nice thing is they named every products by a place on Indonesia. Bromo, Narmada, Wakatobi, etc. I definitely have eyes on the Mandalika series.

get

(When I’m not taking another over time at the office on weekends) I’ve been spending time on YouTube :)) From the Korean’s freshest video clips (ouch!), through Phantom Planet’s one hit wonder California, and then The Lizzie Bennet’s diary. I first knew it when some friends mention it on Twitter, turns out that I really like it. The Lizzie Bennet’s diary is a modern visualization of Jane Austen’s Pride & Prejudice, funny because a couple of Google search landed you to the fact that this year, there will be a celebration of 200 years of Pride & Prejudice. Actually, I don’t read the book or watch the movie, so it serves as a fresh playlist for me. Lizzie, the main protagonist reminded me of Max from 2 Broke Girls. A sarcastic, witty, and fast-talker charm.

This week, I’ve started listening to Mumford & Sons. All my veins want to scream, where the hell am I this whole time? The music is just dragging you to a valley of beautiful blissfulness. No, I’m not overreacting. Watching their video clips and live concerts hooked you up with so much musical passion and emotion. I don’t dig folk or country music, but these guys are really worth listening to. My favorite tracks are quite obvious: Roll Away My Stone, Little Lion Man, The Cave from Sigh No More and I Will Wait from Babel.

After all, let’s get excited for February. I wish all of you could start something you’re really wanting to do this month. I’ll leave you with this lovely picture from this website :)

Dari Balik Panel

Saya penggemar komik. Tak terhitung banyaknya judul komik yang sudah selesai saya baca sampai saat ini.

Saya penggemar komik-komik CLAMP, yang terkenal dengan guratan luar biasa indah dan cerita-cerita yang berhubungan satu sama lain. Atau siapa yang tidak teringat dengan indahnya coretan tinta hampir tanpa tempelan tone sama sekali yang dihasilkan oleh Takehiko Inoue di Slam Dunk ataupun karya luar biasa indah tentang perjalanan Miyamoto Musashi di Vagabond. Fujiko F Fujio (Doraemon), Takeuchi Naoko (Sailor Moon), Takeshi Maeda (Kungfu Boy, Shoot), ataupun Aoyama Gosho (Detective Conan) yang sudah mengisi masa kecil dan kehidupan kita semua.

Dari semua itu, ada beberapa yang sangat membekas.

DRAGON BALL

Fun facts: orang yang ada di sebelah kiri dengan kaos bertuliskan Budhiyasa adalah seseorang yang dikenal Akira Toriyama ketika berkunjung ke Bali, coba perhatikan juga koper yang dibawa Kamesennin dan suasana Tenka Ichi Budokai yang mirip dengan suatu lokasi :3

Akira Toriyama memang dewa. Dragon Ball bercerita tentang manusia-manusia planet lain yang menyelamatkan bumi dari bahaya dengan bantuan dari Dragon Ball yang mampu mengabulkan permintaan. Dragon Ball adalah komik kedua yang saya kenal (setelah Doraemon tentunya). Saya pernah bercerita tentang Songgoku di sebuah post dan saya masih mengagumi dirinya sampai saat ini. Mungkin kedengaran bodoh, tapi saya punya keinginan menyelamatkan dunia berkat komik ini. Semua orang harusnya punya kekuatan super untuk menyelamatkan dunia. Kita cuma harus sadar apa dan bagaimana caranya. Lalu bertanya, pertanyaan ingin atau tidak.

ONE PIECE

Salah satu komik yang sukses membuat saya menangis terisak sampai saat ini. Eiichiro Oda lebih dari sekedar jenius. Walau dipenuhi dengan karakter dengan kaki panjang, tubuh tidak proporsional dan muka aneh, One Piece banyak bercerita tentang penderitaan dan rasa sakit, tentang penyesalan dan kehilangan. Tentang pengorbanan, tentang mimpi-mimpi yang tidak terwujud, tentang mimpi yang dititipkan, para pengejar mimpi. Tentang hujan yang dicuri dari negeri padang pasir, tentang bel yang berdentang di pulau langit, para raksasa yang terus bertarung selama ribuan tahun, restoran yang mengapung, penjara di bawah laut, rocket man. Berkat para bajak laut yang berniat menaklukan lautan, sayapun bercita-cita menguasai dunia :))

KING OF BANDIT JING

Saya kadang bertanya-tanya bagaimana mungkin media 2D bisa bertindak senyata ini. Gambar-gambar panel serasa nyata dengan guratan halus yang serupa gambar bergerak. Kumakura Yuichi membuat film lewat 14 jilid komik di atas kertas. Jing mengawali kecintaan saya terhadap aliran surealis yang bahkan saya tidak bisa menjelaskan apa itu sampai sekarang.  Jing juga bertanggung jawab akan kecanduan saya terhadap warna dan arti-artinya. Ia menuliskan tentang pencarian warna merah yang sempurna. Tentang sebuah jalanan yang menjual seluruh organ di dunia termasuk hati yang terluka. Tentang sebuah penjara yang bernama 7th Heaven, di mana terdapat seorang penjual mimpi yang mempunyai seluruh mimpi yang ada di dunia. King of Bandit Jing banyak berpengaruh akan cara pandang saya tentang berkarya dan pengambilan sudut pandang.

2oth CENTURY BOYS

Karya ini magis. Seorang pria biasa dengan kemampuan biasa, bermain gitar di tengah malam sampai senar-senarnya putus. Membayangkan dirinya sebagai The Beatles, yang bermain musik di atap Apple Records. Kemudian, ia memutuskan untuk menyelamatkan dunia. 20th Century Boys mengajak saya masuk ke dalam musik tahun 70-an. Mengajak saya menyelam mempertanyakan arti keberanian dan rasa takut. Tentang kekuatan dan kegelapan. Saya pernah menulis tentang Kenji sang tokoh utama dan seberapa besar saya mengidolakannya. Sampai saat ini, saya masih ingin menjadi seperti dia. Menyelamatkan dunia dan yakin akan terus bertahan hidup. Menciptakan lagu dan memberi harapan untuk berjuang. Urusawa Naoki mempertunjukkan sebuah tontonan luar biasa tentang permainan anak-anak yang sempurna.

Karya-karya di atas tidak pernah bisa saya lupakan dalam hidup saya. Bukan karena saya punya keahlian khusus untuk menghafal kata maupun gerak yang ada di ratusan jilid komik. Ataupun seberapa banyak saya mengulang-ulang membaca judul-judul di atas. Tapi karena dari sinilah pemikiran saya akan hidup banyak bermula. Di zaman itu, komik dituding merusak moral dan tak berguna, di usia saya yang masih muda, saya justru merasa diajari lebih banyak oleh cerita-cerita ini. Mungkin, semuanya memang hanya soal sudut pandang.

On How to Kill Time on Traffic

I’ve been a commuter all my life. My dad used to commute with me and my sister until his body gave up when I was in college. So, I kind of know how terrible the public transportation and gridlock in Jakarta is. After moving to my new job, I have to adapt to a new route to reach my office. Not much of a change, I still have to go at 5.30 in the morning and arrive at home at 19.00.

Traffic is what I use to, so sometimes, I don’t complain about it. I thought it was what it called normal, though I know something has to be changed. 2 hours on the road seems boring enough for some of you and feels that we’re actually getting old in road. I used to bring my notes and write, but the road is bumpy enough to distract me. Thanks to technology, the 2.0 people seem occupied enough to their cell phone, tablet, and so on. They can still connect to the rest of the world (please ignore the part of constant complain at social media thing).

Remember the phrase “It is about the journey not the destination”? The phrase that all travelers seem to worship a lot? Here I ask you, would you still use it for your everyday routine when commuting?

I do.

Oddly enough, I find it quite alluring. Using a public transportation is about being together with your surroundings and environment. A bumpy road, noisy high scholars, annoying man with a large expensive tablet who occupy to much space, a woman who doesn’t patient enough to cut through the line, the traffic.

There are some ways actually to implement the phrase in your routine. It came with a certain rules, the first one is: try to enjoy it. Blaming anything for traffic or complaining during the road not going to take you anywhere (Oh, unless you are running a petition against the construction of 6 toll roads construction. Other than that, you are wasting your energy, really). After that, you have to choose. A choice between using your eyes and using your ear. Using both eventually will add the fun.

Using your ear means to close your eye and focusing on the voice and sound around you. It is fun actually to hear conversations, be it a funny one or an annoying one. A successful way of using this technique might bring you to make websites/books like Overheard in NY or Nguping Jakarta. It is also fun actually to hear a voice without knowing the source, you will be surprised to know what the voice’s owner looks like. A deep baritone voice might be owned by a girl wearing pink shirt. Sometimes, it is also effective to rest your tired eye for those who work at a monitor for almost 8 hours straight :P

The second choice is using your eye, which means you have to cover your ear from any sound. Bring your music player, listens to music. The research said, listening to music relax yourself. I don’t have any scientific reason for that one, but it happens to me. Using your eye is the easiest one to enjoy your surroundings.

Using public transportation forced you to meet a lot of people and thing, a foreigner in a suit, a woman with a green matching clothes, a group of teenager with minimalist clothing, a funny car sticker. Everyone is interesting, everything has stories. You might not going to know, but you can make up one. Make it a fun one, but try to not make fun of someone.

I remember sitting in my living room in my junior high, watching cable TV. One of the commercials used the tagline: use your imagination, because imagination has no limit. My family used to invest in cable network and books rather than having personal vehicle, and that is what shaped me into today. It is true, and it’s fun~

The journey home is not always that fun, sometimes you get wet from the rain, sometimes you have to stand a stinking man beside you and holds your breath for the next hour, or so on. I don’t deny that sometimes I stare blankly for an hour to the endless car queue, wondering when is it going to end, considering that I need to move town. But sometimes, it is easier to be happy and enjoy it.

A routine is a condition you choose for yourself. The reason why may vary but you have a choice to that condition, to enjoy it or complain about it, or even better, change it. You might choose and just be happy :)

Cerita Perjalanan

Tangan saya spontan menulis ketika membaca lagi post yang ditulis teman saya Ali malam ini. Ini saya, bercerita tentang perjalanan :)

Keluarga saya bukan termasuk keluarga yang berkelebihan, saya tidak terbiasa menghabiskan akhir minggu dengan berjalan-jalan. Ketika kecil, tempat terjauh yang saya datangi adalah Jogjakarta. Saya ikut Ayah saya untuk menghadari seminar dari kantornya. Saya ingat membawa pulang action figure (ciyee) Rama Shinta sehabis menonton sendratari-nya. Setelah itu, saya hampir tidak pernah berjalan-jalan keluar. Keluar negeri, keluar pulau, keluar kota (kecuali pulang kampung ke Garut waktu lebaran :P), bahkan keluar rumah. Saya miskin pengetahuan dunia, hal yang saya sadari sejak dulu. Jendela saya tentang dunia hanya lewat buku-buku, TV, dan internet.

Sampai akhirnya saya pindah ke Bandung untuk berkuliah, saat saya benar-benar keluar rumah. Selanjutnya, beberapa perjalanan yang saya lakukan dapat dihitung jari. Tahun 2008, saya hampir sampai di Ujung Genteng untuk hunting besar LFM tapi di tengah jalan, harus pulang karena saya harus mengikuti kelas Semester Pendek. Tahun 2009, saya ikut Kuliah Kerja angkatan ke Batam dan Singapura. Pertama kalinya saya membuat paspor dan punya stempel di dalamnya. Di tahun yang sama keluarga saya mengajak jalan-jalan keliling Jawa naik mobil di akhir tahun. Setelah saya masuk kuliah keluarga saya pertama kali membeli mobil. Perjalanan itu adalah kali pertama saya merasakan melompat dari kota ke kota, merasakan perubahan kultur, berkenalan dengan kerabat yang tidak pernah dikenal, dan pada akhirnya melihat keindahan.

Setelahnya, saya naik kereta ke Jogja di tahun 2010. Ini pertama kalinya saya naik kereta lebih jauh dari Purwokerto, kota kelahiran Ibu. Di tahun 2011, saya singgah ke Solo naik kereta, untuk kemudian kembali ke Jogja. Dan untuk kedua kalinya saya keluar pulau, Sulawesi, dalam rangka site visit dari kantor. Saya memilih menabung uang saya untuk investasi, saya skeptis dengan orang-orang yang keluar negeri. Sesungguhnya, mungkin saya iri dengan mereka. Saya iri atas keberanian-keberanian mereka melewati batas-batas, saya iri dengan kemampuan mereka melangkah ke sana. Kadang saya terdiam melihat catatan perjalanan kakak saya, tur ke kota-kota Asia Tenggara, ikut seminar di Dubai, pulang pergi Lombok-Bali (bahkan tahun ini dia sudah membeli tiket pesawat yang bertepatan dengan Ubud Writer Festival, cih cih acara impian saya sejak 3 tahun lalu). Tapi saya masih merasa takut akan tempat-tempat baru.

Di tahun 2012 akhirnya saya memutuskan untuk mengeluarkan semua isi tabungan. Saya diberikan kesempatan berkeliling ke beberapa tempat, termasuk naik Argo Bromo Anggrek (sang penguasa jalur kereta Jawa). Bukan karena akhirnya gaji saya bersisa, tapi karena saya ingin melihat apa yang saya lewatkan selama lebih dari 20 tahun. Keuangan saya masih gonjang ganjing sehabis pulang dari Jepang, sudah hampir 3 bulan saya cuma pindah dari rumah ke kantor, tapi anehnya tabungan saya masih kosong :)) Tapi saya tidak menyesali apapun. Saya tidak berani menyebut diri saya traveler atau backpacker, atau yang lainnya. Saya bahkan tidak berani menuliskan kata traveling di kolom hobi. Karena semakin saya tahu, semakin kecil saya menyata di dunia.

Pada akhirnya, saya mungkin belum mampu berjalan dari Andalusia ke Mesir (obsesi sejak membaca The Alchemist), menginjak Pokhara, bahkan Baker St 221-B. Saya bahkan belum pernah ke Bali. Dunia saya masih potongan kecil atlas. Tapi perjalanan-perjalanan diciptakan untuk menemukan tempat-tempat, benda-benda, wajah-wajah. Setiap perjalanan menciptakan perjalanan baru, dan cerita-cerita baru. Cerita yang kemudian menciptakan perjalanan-perjalanan lainnya.

Cerita-cerita tentang perjalanan tidak selalu tentang frame-frame lansekap dengan ribuan warna, tidak selalu tentang matahari terbenam, atau aurora borealis. Cerita-cerita tentang perjalanan tidak selalu tentang kebahagiaan, tidak selalu tentang patah hati, lalu kekecewaan dan kesendirian. Cerita-cerita tentang perjalanan adalah tentang mencari dan menemukan. Tentang jiwa-jiwa yang haus, yang mengaduh untuk membuka mata, yang mengais serpihan langit dan gunung-gunung api. Menggapai awan-awan dan gemericik air terjun. Tentang gen sang pengembara.

[James] Cook tewas dalam sebuah pertikaian berdarah melawan penduduk Hawai’i sepuluh tahun kemudian. Kematiannya, menurut se­bagian orang, menutup apa yang dianggap oleh para ahli sejarah Barat sebagai era penjelajahan. Namun, itu tidak menghentikan penjelajahan kita. Kita tetap terobsesi untuk memetakan seluruh Bumi; mendatangi kutub-kutub terjauh, puncak-puncak tertinggi, dan palung-palung terdalam; berlayar ke setiap sudut, lalu melesat ke luar angkasa.

Gen Pengembara – National Geographic Indonesia, Januari 2013