The Unashamedly Idealistic World of The Newsroom

Setiap beberapa periode waktu, saya kerap menonton ulang serial TV favorit yang menurut saya tak lekang oleh waktu. Tahun kemarin, saya menyempatkan menonton ulang LOST dan masih jatuh cinta dengan bagaimana ketegangan terus dibuat setiap episodenya. Tapi sebenarnya, ada satu serial TV yang selalu saya ulang hampir 2 kali setahun, judulnya adalah The Newsroom.

Aaron Sorkin menciptakan sebuah drama yang berfokus tentang benturan jurnalisme ideal dengan tekanan masyarakat maupun kepentingan-kepentingan sosial. Season pertama The Newsroom tayang di HBO pada tahun 2012 dan berakhir pada season ketiganya di tahun 2014. Selama 3 tahun masa tayangnya, The Newsroom hanya memiliki 25 episode yang membuatnya padat dan sarat makna. The Newsroom tidak memiliki review yang terlalu tinggi di beberapa situs rangking seperti Rotten Tomatoes atau Metacritic karena kontennya dianggap terlalu cynical ataupun terlalu idealis. Beberapa episodenya dikritik dengan keras karena banyak hal yang terkesan terlalu menyindir bentuk-bentuk jurnalisme masa kini, dimana seharusnya fakta dan integritas ada di atas iklan dan trafik kunjungan.

Read more

Spring Breeze

Though I’m not celebrating Spring, we should agree that March is a sign of warmer weather. Indonesia is poured by heavy rain since the beginning of the year and the political heat hasn’t worn off ever since. But as March is the closing month of the first quarter of 2017, I want to make sure that I don’t let the year goes by too fast. Since I haven’t posted any random list for this year, here’s a few exciting things I’ve found so far.

(image from here)

Project Style gives us a gift in a shape of collaboration from Disney and few of our local brands. The brands include some of my favorites, like Kandura, Limawatch, and shopatvelvet. The results are interesting, look at those watches!

Read more

Now Scrolling, Vol. 1

Buat saya, sekarang ini scrolling timeline Instagram itu kadang terasa sinful karena sengaja atau nggak sengaja jadi lebih sering “ngurusin urusan orang lain”. Makanya saya (sebisa mungkin) menghindari banget yang namanya follow artis yang lagi kena kontroversi ataupun akun-akun gosip. Padahal mah sebenernya karena nggak ngerti aja bahasanya, sumpah kita sama-sama pakai Bahasa Indonesia tapi kok susah banget paham kode-kodenya :)) Terlepas dari itu, Instagram tetap salah satu social media yang sekarang paling saya sukai karena berbasis konten visual. Saya dengan mudah bisa menemukan berbagai macam inspirasi dari artist/designer/illustrator baru yang kemudian saya idolakan. Sekarang ini, saya lagi hobi-hobinya follow beberapa textile designer dan artist dari Jepang. Gaya design mereka benar-benar out of the box banget deh, karena kadang bisa memperlihatkan kesederhanaan walaupun designnya ramai (@yasunobujubilee) ataupun bisa memberikan sentuhan khas kepada apapun medium karyanya (@chickennot).

Nah kali ini saya mau berbagi akun idola-idola saya di Instagram dengan tema, artist Indonesia! Ternyata banyak banget artist dan designer dari Indonesia yang baru saya temukan lewat scrolling timeline di Instagram. Selain konten positif dan semangat kreatifitas yang ditularkan, post mereka selalu bisa membuat timeline saya lebih berwarna.

Read more

The Color of Each Worlds – 500 Days of Summer in Colors

One of the reasons I fell in love with movie making (or movie in general) is the fact that it could be something completely complex or straightly simple. The golden rule of movie plot that goes someone-wants-something-and-get-into-other-things-in-between is often dolled up by many forms of storytelling. The storytelling could involve a lot of things, from dialogue to how the scenes are shot, from the wardrobe to how the scenes are cut. And sometimes, Colors.

In one of the most tragic rom-com movie of all time, 500 Days of Summer is not only trying to captivate our heart and ears (the soundtrack are all amazing!), but it also tries to please our eyes with colors. The foreshadowing of the story is brilliantly told by heavy used of colors.

Read more

The Year of Hustle

Di awal tahun 2016 yang lalu, saya menetapkan beberapa harapan sebagai pengingat untuk bisa terus belajar dan berkembang. Walaupun banyak yang lagi-lagi tidak sesuai harapan, tapi banyak juga yang akhirnya terwujud. It’s easy to indentify a failure, but it’s always surprising to see how one achieves goals.

Tahun kemarin saya belajar banyak soal kesungguhan dalam menjalankan sesuatu dan akhirnya benar-benar paham bahwa yang namanya berkah itu berbanding lurus dengan usaha yang dikeluarkan. Bahwa hal-hal yang sebenarnya kita cita-citakan dari dulu tapi selalu tertunda, sebenarnya bisa dikerjakan kalau kita punya niat yang kuat.

Kalau disuruh menetapkan tema untuk tahun 2017 ini, saya mungkin bakal memilih kata Hustle.

Tahun ini saya akan mencapai umur 30. Buat saya sendiri sih nggak berarti apa-apa, tapi ada sebagian orang yang menganggap going 30 adalah sesuatu yang sakral. Banyak yang menganggap itu batas umur untuk “menjadi tua”, sehingga banyak sekali artikel yang beredar dengan judul Things To Do Before 30, Things to buy before 30, atau Trip Before 30. Lagi-lagi saya nggak mengerti urgensi tersebut :)) Tapi saya setuju kita harus memanfaatkan waktu sebaiknya, kalau memang ada hal-hal yang bisa kita wujudkan secepatnya kenapa harus menunggu sampai kita mencapai umur-umur tertentu? Belum tentu kita masih punya resources untuk mewujudkan cita-cita seperti dana ataupun berkah kesehatan. Jadi kalau saya harus menulis judul artikel clickbait untuk merencanakan 2017, mungkin judulnya adalah Things To Make Before 30.

Read more