Lain Kali III

Saya punya sekaleng cat untuk melukis, dan kuasnya sudah ada di tangan. Tapi hari ini saya tidak punya teman untuk bersenandung. Saya kira matahari dan udara pagi sudah cukup. Saya kira lagu ini dan angin sepoi-sepoi sudah mampu membuat saya menari. Saya butuh teh manis hangat atau lemon tea yang suam-suam kuku, dan saya akan duduk di depan teras. Menikmati hari sambil mengisi TTS atau menyapa para tetangga yang kebetulan lewat.

Hari ini sempurna, tapi saya tidak jadi lagi melukis di hari ini.

 

Surely, Someday

//July 04, 2010//

I wish we were Barney and Robin (or Ted and Robin). Sitting next to each other at McLaren, with usual smiles and usual jokes. Obviously, we’re not. We stand in line, I had fake laugh and pretend it will all be alright. It took a lot of strength to actually show up and saw you in the eyes. We promised, someday we will have high five and low down five. Yes, someday.

Playlist dan Hujan

//June 21, 2010//

Sudah puluhan jam saya mendengarkan satu playlist panjang yang berulang ini. Saya menskip, puluhan lagu sedih dan menambahkan lagu-lagu yang asing di telinga. Kapan lagi saya mendengar Lenka dan Lily Allen kalau bukan sekarang. Bukan tipikal lagu saya. Saya mengganti desktop background berkali-kali dan saya kembali pada rutinitas. Untungnya wisuda sebentar lagi, dan teman-teman saya sibuk mengajak saya kesana kemari. Kemarin ke Pasar Baru, menemani mencari kain. Kemarinnya lagi menemani mengambil foto di Jonas. Bagusnya saya bisa tertawa-tawa dan jadi tahu prosedur pendaftaran wisuda.

Malamnya saya berkutat dengan tabel-tabel Excel dan chat malam-malam (terima kasih ya, teman-teman baik hati yang mau menemani saya ngobrol :D). Sehingga saya mulai sering ketiduran. Akhir minggu ini, saya akan pindahan dan aneh rasanya, seperti memulai banyak ‘yang baru’. Padahal saya mulai berteman dengan dinding kamar, dan mengajaknya bercanda. Hal yang selama 4 tahun ini tidak pernah saya lakukan. Ingin rasanya punya teman imajiner dan mengajaknya ke stasiun kereta hanya untuk duduk termenung dan menghitung gerbong yang lewat.

Aah, playlist saya memutar Natalie Imbruglia dan di luar hujan tiba-tiba turun. Saya membuka jendela lebar-lebar, saya suka hujan (apalagi di pagi hari). Mengingatkan kepada nikmat Tuhan yang tidak berhenti, bahwa saya masih bisa melihat keindahan luar biasa ini. Bukan waktunya, merasa sendu lagi dan saya benci kalau dikategorikan dengan label ‘galau’. Saya benci kata itu. Tidak merepresentasikan perasaan yang spesifik, hanya kata gaul zaman sekarang, mirip dengan kata ‘labil’. Saya pikir saya tidak bisa menulis lagi, dan hanya bisa meracau tidak jelas. Padahal saya ingin menulis tulisan luar biasa seperti punya Puty dan punya Ramda. Ah, kalian keren sekali.

Ingin cepat pergi ke minggu depan dan memulai hari-hari seperti biasa lagi. Playlist saya kembali memutar Ash (ini tipikal lagu saya :P), artinya saya sudah siap kembali ke dunia nyata. Harus segera mandi dan kembali ke kampus. Menikmati jalanan bekas hujan rasanya menyenangkan. Selamat pagi, para penjaja kebahagian dan para pemabuk mimpi. Mari bertahan lagi hari ini, dan mari membuat matahari-matahari baru untuk dibagikan kepada para malam yang sedih.

Toy Story

//June 20, 2010//

 

Buat saya, menonton Toy Story 3 tidak sama seperti menonton ribuan judul film yang diproduksi setiap harinya. Ketika akhirnya terpaksa tidak menontonnya saat premiere, ada sesuatu yang menghinggapi saya sepanjang perjalanan. Saya mengulur banyak waktu untuk sampai ke bioskop, mungkin karena saya tidak ingin mengetahui kenyataan bahwa saya akan bertemu lagi dengan mereka, dan melepasnya untuk selamanya. Kalau ada yang belum tahu,

 

Toy Stoy adalah segala inspirasi buat saya.

Inspirasi tidak sama dengan suka atau cinta, penggemar atau fanatik. Inspirasi adalah sesuatu yang mengalir di seluruh denyut.

Ketika masuk ke bioskop dan duduk di kursinya (saya dapat salah satu kursi terbaik), saya merasa tak sabar, tapi juga merasa sedikit sedih. Logo PIXAR, bumper Walt Disney, film pendeknya (Day & Night is sooo gonna be my favorite PIXAR short movie after Gary’s Game), dan dentingan lagu itu kembali terdengar. Lagu yang sangat akrab di telinga saya, dan tebak saja, saya menangis di 5 menit pertamanya.

Saya tidak akan bercerita tentang alur cerita Toy Story 3, silahkan saksikan sendiri keagungan plotnya yang tidak pernah dibuat oleh pembuat sekuel manapun. Toy Story 3 mengambang di antara awan, tak terjangkau oleh film animasi atau film sekuel apapun. Saya menangis tak karuan di akhir film dan ketika lampu bioskop menyala, saya tahu saya akan melambaikan tangan kepada semuanya. Kepada Sherrif Woody dan Captain Buzz Lightyear, kepada semua yang telah mengisi hari-hari saya. Credit title filmnya diputar, lagunya berbahasa Spanyol, satu persatu penontonnya keluar dan saya masih duduk di sana. Ketika saya mengingat, saya selalu duduk di sana. Menyaksikan PIXAR membuat kehidupan baru setiap tahunnya, sejak hampir belasan tahun lalu.

Toy Story di tahun 1995, dan mimpi sayapun dimulai.

Saat itu saya masih bocah dengan rambut berantakan (sekarangpun begitu), dan saya bersumpah nama saya akan ada di salah satu baris credit title filmnya. Nama saya akan ada di sana. Setelah itupun, setiap saya menginginkan sesuatu, bermimpi akan sesuatu, saya akan ingat film ini. Saya akan bilang, Toy Story pernah tercipta di dunia. Berbekal tangis dan kerja keras banyak orang di belakangnya, John Lasseter, Brad Bird, Andrew Stanton, Rendy Newman. Jadi, apa alasan saya untuk tidak mampu untuk mewujudkan sesuatu? Kalau ditanya apa mimpi terbesar saya (masuk surga dan membahagiakan orang tua sudah pasti ada di nomor satu), saya akan bilang “Saya ingin menginspirasi orang lain seperti Toy Story menginspirasi saya!”.

Hampir di 23 tahun perjalanan hidup saya, saya ikut SPMB, masuk ITB, jadi pimpro wisuda, jadi fungsionaris, bikin film, aaah rasanya semua tidak akan pernah ada tanpa Toy Story. Semua orang pasti punya turning point di hidupnya, dan bagi saya tahun 1995 adalah tempat segalanya berubah. Ketika Andy bercerita tentang satu persatu mainannya kepada Bonnie, saya seperti tidak rela melepas mereka semua. Aneh memang punya perasaan seperti ini, sesuatu yang tidak pernah bisa diungkapkan dengan kata-kata. Banyak yang mereview Toy Story 3 dengan rating 100%, menyebutnya dengan kata nostalgic, legacy, beautiful. Mereka bilang plotnya hebat, idenya segar, apalah itu semua. Buat saya, tidak akan ada pernah ada kata yang sanggup menggambarkan Toy Story 3, dan biarkan saja begitu.

Ya, pertunjukannya sudah habis. Mungkin saya akan menonton Toy Story 3 lagi untuk yang kesekian kalinya dan membeli DVD originalnya. Satu yang akan tetap sama, semangat saya tidak akan pernah habis, sama seperti saya yang tidak akan pernah bosan menonton film ini.

Aaah, masih jauh ya? Mimpi-mimpi itu masih banyak. Ayo, mari berlari lagi. Mari bermimpi lagi.