Lari dan Bermain

//May 14, 2010//

Saya ingin melihat sungai, dan memancing di siang bolong.
Saya ingin berlari di hutan bambu, dan membawanya untuk dipilin.
Saya ingin menangkap bebek, dan dimasak dengan sayuran.
Saya ingin memerah sapi, dan berteriak sambil tertawa.
Saya ingin menyelam, dan mengambil bintang laut untuk direbus.
Saya ingin berlari di lumpur, dan basah becek tidak akan jadi masalah.
Memilin jerami, dan menggali gingseng.
Tidak ingin bersentuhan dengan kabel atau alkohol 70%, tisu atau cotton bud.
Saya ingin berpergian dan bermain!

* Efek samping dari menonton Family Outing, I’ll tell you guys about this hilarious show some other time.

 

Mendengarkan Suara

//May 10, 2010//

Ada, lalu mengabur dan menghilang.
Pelan-pelan, lalu tak bisa hilang.
Kanan dan kiri tak pernah sama, makanya diciptakan berpasangan.
Ketika dentingan itu menembus koklea, kita tahu bahwa kita sedang mendengar.
Frekuensi dan lebar pita, semuanya adalah hitungan. Membuktikan dan membuatnya nyata.
Tetapi rasa mengalahkan semuanya, dan kita tahu bahwa kita sedang mendengar.
Kenalkan saya dan tugas akhir saya.
Bersalaman dengan rasa dan frekuensi.

Seperti Mereka

//May 09, 2010//

Saya ingin mendongeng seperti mereka.
Berkata dengan spidol biru atau keyboard abu-abu.
Berlagu dengan kertas notes atau layar digital.
Mencipta, untuk yang pertama kali atau kesekian kali.
Toh, keriaannya masih sama.
Banyak orang menemukan tariannya masing-masing. Ada yang menari dalam satu kalimat atau 100 kata.
Mereka mendongeng dan mencipta.
Oh, mereka keren sekali!

Anak-Anak dari Teman-Teman

//May 06, 2010//

 

Semua anak suka petualangan. Tapi kadang, hanya sedikit yang beruntung mendapatkan petualangan yang diinginkannya. Bagi mereka yang kurang beruntung, merekapun berkhayal. Khayalan itu serupa nyata, karena mereka memikirkan setiap detail akan petualangan khayalan mereka. Bagaimana bentuk jalan yang dilalui, seberapa deras sungai yang dilewati, atau seperti apa warna monster yang akhirnya dikalahkan. Khayalan itu indah, karena mereka bisa membayangkan apapun yang ada, ataupun yang tak pernah ada. Tentang monster, tentang para peri, tentang negeri di suatu tempat yang entah di mana.Untuk yang tidak pernah berkhayal, merugilah mereka. Karena semua itu adalah kenikmatan yang paling murni sebelum mereka mengenal dunia nyata dan semua yang mengharuskan mereka mengubur dalam-dalam indahnya khayalan itu. Tapi apa itu dunia nyata? Apa indahnya dunia tanpa khayalan? Semua barang di dunia diciptakan dengan khayalan. Kedua bersaudara penemu pesawat itu pasti lebih dulu berkhayal tentang bagaimana indahnya langit biru jika kita bisa terbang. Ataupun bagaimana si pemuda penemu lampu yang berkhayal bagaimana jika kita bisa menyimpan indahnya kerlipan bintang yang ada di bumi bila malam hari tiba.

Dan kali ini, kisahnya juga terjadi di dunia nyata. Dengan khayalan-khayalan yang telah terwujud dan khayalan-khayalan yang menunggu diwujudkan.

Tulisan di atas adalah paragraf awal dari novel yang saya tulis mungkin 2 tahun yang lalu. Kisahnya tak pernah selesai, tapi saya tak pernah menulis novel baru. Saya suka memulai sesuatu tanpa menyelesaikan yang lama. Memangnya siapa yang tidak? Tapi suatu saat nanti, di kaki pelangi, saya akan menyelesaikan novel ini. Mungkin, Anda akan memberikannya bagi anak-anak Anda karena cerita ini untuk anak-anak.

Memangnya sudah berapa kali saya bilang bahwa saya akan menulis novel untuk anak-anak? Ya, lebih dari lima kali. Kalau suatu saat cerita ini menutup katanya, saya ingin tulisan ini ada di awal buku:

“Untuk semua yang bermimpi pernah menulis cerita untuk anak-anak dari teman-temannya.”

Berkenalan dengan Hujan

//May 05, 2010//

Siang ini…

Siang ini, langit berubah mendung dan hujan mulai turun. Pakaian yang lupa diangkat dan kepala yang berlarian terlihat dari kamar saya di lantai 2. Saya justru berkemas, bergegas pergi, dengan senyum dan payung terkembang. Saya tidak ingin membuang waktu.

Saya suka hujan.

Saya memilih jalan kaki. Naik angkutan umum akan mempersempit waktu saya berkenalan dengan hujan. Kubangan air dan tanah becek. Cipratan lumpur dan rintik dari atap. Sepatu saya menghitam, basah bercampur lumpur.

Saya masih suka hujan.

Di tengah jalan, hujan berhenti. Senyum saya habis. Saya menutup payung dan memberhentikan angkutan umum. Saya berhenti menyukai.

Siang ini, hujan turun terlalu cepat.

Sore itu…

Sore itu, teman saya mengajak menemani. Pengukuran demi Tugas Akhirnya, saya mengangguk antusias. Hujan turun, katanya. Anggukan saya makin keras. Memang kenapa, jawab saya. Kamipun menyeberang kota Bandung, untuk menikmati hujan sore itu. Saya, akhirnya berkenalan dengan hujan.

Hujan, senang berkenalan hari ini. Mungkin besok, saya akan berkenalan dengan hujan yang lain.