I Don’t Want You to Get The Wrong Idea

I ordered the cheapest coffee on the menu.
Although I don’t drink coffee and don’t know what to expect.
I don’t understand the temperature degree nor thinking the leaves on the cup look nice.
I just thought I need to order something to avoid the awkwardness and nothingness in the air.
You look nice, with the ponytail and the mustard sweater.
Someone must be pulling you off from a fashion magazine.
Although I don’t read that either.

I don’t want you to get the wrong idea.
Although I will pay for your overpriced apple pie and whatever latte you choose before.

I don’t want you to get the wrong idea.
You have that look since we got here and my heart, kind of, flutters.

I don’t want you to get the wrong idea.
But I need to empty this cup hurriedly.
I need to get your friend’s number and I’m afraid that I’m going to fall for you the more seconds I sit in front of you.
Intriguingly looking at your freckles and how you bite your nails.

I don’t want you to get the wrong idea.
Although you do look so nice today.
Intriguingly attractive.
Curiously interesting.

That’s it, I really need to go now.

The Excessive (and Expensive) Information

Jum’at kemarin adalah hari terakhir saya bekerja freelance kantoran selama sebulan ke belakang. Karena pembangunan beberapa ruas jalan yang dilakukan bersamaan, sudah nggak aneh kalau waktu tempuh perjalanan jadi agak lebih lama dari biasanya. Nggak jarang saya mencari bacaan di internet saat waktu macet di bis. Tirto.id adalah salah satu alternatif bacaan saya. Awal perkenalan saya dengan Tirto adalah karena Zen RS menjadi salah satu editor di sana, haha. Tirto sendiri banyak mengulas isu berita terkini yang dikaitkan dengan kejadian serupa dalam sejarah dan kultur di masyarakat. Salah satunya tentang isu curhat mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan mantan presiden lain di seluruh dunia yang pernah menjabat.

Di zaman serba cepat seperti sekarang, batas antara berita dan informasi yang layak atau tidak layak dikonsumsi semakin sulit ditemukan. Pemerintah dan media, digawangi Kementerian Komunikasi dan Informasi sampai menyelenggarakan Kampanye Anti Hoax di awal tahun ini. Koran Republika mencetak berita hoax di antara kolom-kolom berita aslinya dan hanya menuliskan keterangan bahwa berita tersebut tidak benar di akhir artikel.

Beberapa waktu yang lalu, sempat beredar pemberitaan tentang remaja Macedonia yang mendapat hampir $16.000 dari pembuatan berita palsu selama Pemilu US.  Ketika pertama kali membaca beritanya saya beranggapan bahwa kalau kita sudah tidak lagi mengingat Tuhan sepertinya pekerjaan ini sungguh menjanjikan. Dream comes true, bulan lalu kelompok bernama Saracen terungkap sebagai salah satu jaringan penghasil konten berita hoax. So, be careful the next time you want to click something, maybe you just made someone really really richer.

Tapi, apakah masalah kita hanya berhenti di berita palsu saja?

Read more

Keberagaman, Cinta, dan Tribun Selatan

Indonesia adalah negara yang selalu menarik untuk dibahas. Di saat keberagaman menjadi daya tarik yang besar bagi Indonesia, di saat yang sama, keberagamaan acap kali menjadi akar penyulut pertikaian. Mengambil contoh Pilkada DKI 2017 yang sarat dengan isu pertikaian antar agama, tampaknya masyarakat Indonesia masih harus banyak belajar soal toleransi antar sesama. Hal ini terlihat dari mudahnya menyulut berbagai hal hanya karena perbedaan pendapat yang kemudian meluas menjadi perbedaan ras dan agama. Ketika masyarakat Indonesia tampak mulai lelah karena harus kembali menghadapi derasnya arus putaran kedua pilkada, data Komisi Pemilihan Umum (KPU) justru menunjukkan peningkatan partisipasi pemilih DKI Jakarta yang mencapai 78%, dibandingkan putaran pertama yang hanya mencapai 75,75%. Para pemilik KTP Jakarta yang tinggal di luar kota maupun luar negeri berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk sekedar memilih kandidat yang didukungnya. #OneVoteCounts begitu seru tagar yang beredar di Twitter pada tanggal 15 Februari 2017 kemarin. Hal ini juga menarik perhatian media luar negeri yang ternyata menaruh perhatian yang cukup besar tentang dampak isu SARA dalam politik Indonesia.

New York Times dan CNN menuliskan bagaimana Pilkada DKI kemarin akan dilhat sebagai titik balik toleransi beragama di Indonesia. Indonesia sendiri masih punya banyak catatan hitam yang belum terselesaikan tentang toleransi antar umat beragama dan rasisme yang melibatkan HAM. Walaupun sama-sama mengusung Bhinneka Tunggal Ika dan sudah memasuki zaman digital yang penuh informasi dan keterbukaan, tetapi nyatanya masyarakat kita masih judgemental dan belum terbuka terhadap ras atau agama tertentu.

***

Di balik semua narasi miris di atas kalau ada hal-hal yang bisa mempersatukan Indonesia saat ini, salah satunya mungkin adalah kompetisi olahraga. Perdebatan tentang siapa yang pantas menjadi pemimpin atau tidak akan terlihat usang di tengah teriakan dukungan di lapangan.

Tidak sedikit yang merinding dan menangis ketika Lilyana Natsir dan Tontowi Ahmad membawa pulang medali emas di Olimpiade Rio 2016, tepat di hari kemerdekaan setahun silam. Atau bagaimana bersatunya warga Indonesia ketika bendera kita dihadirkan terbalik di beberapa media cetak Malaysia di ASEAN Games 2017 kemarin. Tidak ada caci maki atau sindiran, hanya teriakan yang sama.

***

Untuk penonton bola karbitan yang cuma menyaksikan sepakbola lewat layar televisi di momen-momen populer saja, menemukan diri saya berdiri di antara puluhan ribu penonton di stadion sepakbola di luar kota adalah suatu kejanggalan.

Read more

Though I don’t know you, it’s alright. I will hold you.

You walk high with the sparkles.
Red lips, high bun.
Yet, you breathe differently.
Hating tears, hiding in the black dress.

Waiting passionately,
until the light turns off,
until the sound fades away.

Tonight,
though I don’t know you, it’s alright. I will hold you.
Tonight,
between the neon lights and the drinks.
Tonight,
in the sea of standing people.
Tonight,
take the microphone.
Tonight,
you have the right to cry.
Why do we care what people say anyway.

The Hardship of Happiness

Kadang, ada waktu di mana kita mempertanyakan keberadaan diri untuk kemudian memilih untuk berhenti dan kembali menjalani hari seperti biasa. Entah karena memang ingin melupakan sejengkal kegelisahan, atau memang ingin mengambil aksi dari semua kesimpulan. Saya nggak suka berpikir terlalu panjang dan saya lebih suka mencari jawaban lewat hal-hal kecil dalam keseharian, jadi ketika pertama kali mengalami depresi saya nggak tau harus berbuat apa. Saya beruntung nggak punya keinginan sedikitpun untuk mengakhiri hidup ataupun mencari jawaban lewat ketergantungan, tapi nggak sedikit orang yang seberuntung saya.

Beberapa waktu yang lalu, sempat beredar berita-berita seputar bunuh diri. Mulai dari vokalis band rock favorit sampai orang asing yang tidak saya kenal. Saya beberapa kali berkata bahwa yang namanya berita sensasional dan kemalangan pasti lebih cepat beredar di masyarakat. Saya kembali menyayangkan banyaknya lembaga berita yang terlalu mengekspos hal semacam ini secara berlebihan. Imbasnya, pusat solusi dan lembaga masyarakat sibuk menginformasikan nomer hotline yang dirasa bisa membantu orang-orang yang memang mengalami depresi yang amat sangat dan memikirkan mengakhiri hidup. Kata depresipun kemudian mengalami penurunan arti dari istilah medis menjadi kata kerja sehari-hari.

Read more