Wah, Indonesia punya presiden baru bulan Oktober nanti. Lucu kalau mengenang beberapa bulan belakangan di mana setidaknya semua orang pernah beradu “fakta” (yang kebenarannya dinilai dari sudut pandang mana kita melihatnya) ataupun menuai amarah dan kebencian terhadap satu sama lain. Beberapa membuat meme menarik, beberapa mengibaratkan Pemilu sebagai medan perang. Dan kesalnya, mereka mengibaratkan sebagai perang Baratayudha. Fffuuu, sebagai penggemar kisah Mahabarata, saya awalnya kesal (ini beneran saya kesal bukan main). Tapi toh mungkin pingin lucu-lucuan aja, lumayan gambarnya di-share orang di grup Whatsapp seantero Indonesia Raya. Ada yang benci dengan rakyat, benci dengan “orang-orang di belakangnya” (ffuuu, seriously?), benci dengan para pendukung-pendukungnya, dan mungkin benci dengan diri sendiri. Oh, ‘-nya’ yang dimaksud merujuk ke dua belah pihak, yaa. Saya sih memilih untuk tidak share ataupun komentar apapun di akun-akun sosial (too much drama). Saya memilih diskusi-diskusi di grup Whatsapp ataupun diskusi-diskusi personal. Saya sama seperti yang lain kok, share artikel ataupun membahas si “fakta-fakta”, kadang malah marah-marah sendiri, kadang nyinyir sendiri. Tapi bumbunya selalu bumbu bercanda, senang punya teman-teman yang selalu ringan menghadapi sindiran, senang punya teman-teman yang malah tertawa ketika ada yang terhina dan mencak-mencak, senang karena punya teman-teman diskusi yang membuat kaya dalam pandangan. Dan salah satu bacaan yang paling saya sukai, tentu saja yang ini. Betul sekali, mari kita jalin hubungan bilateral yang solid dengan Eiichiro Oda!
Saya akui, saya banyak belajar dari Pemilu kali ini. Tentang kenapa Indonesia selalu disebut ‘The Sleeping Giant‘, atau mungkin negeri si pemalas. Kita kaya dan miskin di saat yang bersamaan. Kita ramah dan mencibir di saat yang bersamaan. Lumayan kan, kita bisa lihat tingkat mental dan kecerdasan masing-masing teman kita selama Pilpres (oh yes, you. I’m talking about you :3). Manusia memang tidak luput dari kesalahan, kita makhluk-makhluk lemah yang mudah terseret angin dan terhanyut badai. Tapi seperti kata raja kerajaan Arabasta setelah pemberontakan, “Tidak ada orang yang bisa menghapuskan masa lalu. Kita akan bangkit dari sini, dan menjadi bangsa yang besar!”. Indonesia bukan hanya tentang pemimpin, saya, kamu, kita, dan mereka. Rakyat.
“Rakyat itu ada sepanjang zaman. Sementara raja itu tidaklah abadi. Ia bertakhta hanya dalam masa tertentu. Ketika masa itu lewat, ia harus turun atau binasa. Sementara rakyat terus ada. Buktinya, saya ini ada di sepanjang zaman. Menjadi punakawan, hamba yang menemani penguasa dari masa ke masa, sampai hari ini. Kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates (rakyat itu ada tanpa batas, sedangkan raja ada secara terbatas).”
Read more