Beberapa waktu yang lalu, saya sempat berbagi tentang skincare routine yang saya gunakan. Di post tersebut, saya menganjurkan bahwa kalau punya teman/saudara yang berjenis kulit sama, kita bisa share skincare supaya lebih hemat. Nah, karena sejak bulan Maret kemarin saya pindah ke rumah baru dan tidak lagi tinggal bersama kakak, saya tidak bisa lagi share essence dan serum favorit. Akhirnya sayapun memutuskan untuk membeli 1 set skincare routine baru menggantikan beberapa produk yang memang sudah habis. Kali ini, saya mencoba merek Cosrx.
Category: Words
I always find words intriguing! It can meant so much, also meant less. It drives you mad, also feels love. I like stories and I’d always love to hear or write one.
Lenyap Ditelan Warna
Ketika masih duduk di bangku SMP, saya terobsesi dengan segala hal tentang Jepang. Mulai dari anime, manga, dan kebudayaan Jepang. Biaya penggunaan internet masih sangat mahal saat itu. Ada suatu ketika di mana saya melambungkan tagihan telepon rumah sehingga orang tua saya melarang saya menggunakan komputer. Tapi di antara puluhan manga scan dan fanfiction, di antara berita-berita absurd seputar Jepang, untuk pertama kalinya saya melihat sebuah ruangan putih yang lenyap ditelan warna.
The Obliteration Room yang merupakan karya Yayoi Kusama dipamerkan pertama kali di Queensland Art Gallery pada tahun 2002. Saya bahkan tidak ingat siapa seniman yang sedang dibicarakan, tapi saya merasakan sesuatu yang baru. Melihat bagaimana manusia bereaksi pada sesuatu merupakan hal yang menarik bagi saya sejak kecil. Sehingga melihat ruangan dimana barang-barang rumah tangga dicat serupa untuk kemudian ‘dilenyapkan’ dalam timbunan bulatan warna-warni adalah suatu hal yang merangsang rasa keingintahuan saya.
Pengetahuan saya tentang Kusama maupun karya-karyanya tumbuh seiring waktu. Labu raksasa, bintik-bintik kuning, bola-bola perak, ruangan gelap yang bersinar warna-warni. Dan suatu ketika, karya Kusama terus menerus muncul di halaman muka media sosial yang saya miliki. Saya melihat antrian panjang dan bagaimana orang-orang berfoto di depan karya Kusama. Mereka menempelkan bulatan warna-warni di wajahnya, di depan ruangan putih dan barang-barang rumah tangga yang dicat putih. Ruangan yang sama dengan ruangan yang pernah saya lihat di depan layar tabung di suatu kamar gelap di suatu sore. Ruangan putih yang lenyap ditelan warna.
The Budget Game
Akhir-akhir ini, nggak terhitung berapa kali saya berkunjung ke IKEA. Walaupun jaraknya lumayan jauh dari rumah, tapi tetap saja saya rela melintasi provinsi untuk datang ke Tangerang :)) Tampaknya sudah bukan rahasia lagi kalau penduduk dunia pada umumnya suka menghabiskan waktu berkeliling IKEA. Terbukti dengan tokonya yang nggak pernah sepi, haha. Mungkin banyak yang sekedar mencari inspirasi, memenuhi keperluan furnitur rumah tangga ataupun menganggapnya sebagai rekreasi dan numpang makan.
Sekarang ini, IKEA sudah memiliki layanan pengantaran online. Pengirimannya memang lebih mahal dari ekspedisi biasa tetapi menurut saya, lebih hemat dibanding jastip (untuk barang-barang ringan) kalau pembelian barang lebih dari 5. Sila dihitung-hitung sendiri sesuai kebutuhan yaa. Sedangkan kalau barang yang dibeli banyak ataupun berat dan jarak rumah ke IKEA lumayan jauh, menurut saya sih ongkos pengirimannya masih sepadan dibanding effort untuk datang langsung ke IKEA.
Saya sendiri memang banyak menggunakan furnitur IKEA untuk mengisi rumah. Design barang-barang IKEA yang minimalis dan ukurannya yang compact, sangat pas dengan kebutuhan saya yang memiliki space rumah yang terbatas. Untuk hitungan harga di Indonesia, menurut saya harga barang-barang di IKEA ada yang bisa sangat bersaing dengan barang lokal. Kita memang bisa mendapatkan harga miring dengan membawa katalog IKEA ke pengrajin lokal untuk dibuatkan duplikatnya tetapi kadang, ada juga warga biasa yang terlanjur malas dan nggak tahu pengrajin mana yang punya kapabilitas baik dan harga yang bersaing.
Kalau menurut saya, penetapan harga barang-barang IKEA cukup fair berdasar kualitas. Dengan ukuran barang yang hampir sama, kita bisa menemukan meja senilai 79.000 dengan material serbuk kayu dan meja yang bernilai 599.000 dengan material pinus. Istilahnya, ada harga ada barang. Nah, karena akhir-akhir ini saya lumayan sering mengecek website IKEA, kali ini saya membuat beberapa perbandingan barang yang fungsi dan designnya kurang lebih mirip tetapi memiliki harga dan kualitas yang agak berbeda.
Lampu meja IKEA PS 2017 (IDR 499.000) vs Lampu kerja TERTIAL (IDR 179.000)
Untuk sebagian orang, design modern identik dengan warna yang minimalis. Putih, hitam, ataupun warna kayu alami seperti yang sering kita lihat di rumah-rumah Jepang. Walaupun suka segala hal yang berwarna, saya sendiri nggak punya banyak baju ataupun furnitur yang berwarna-warni. Kebanyakan lemari dan rak di rumah saya warnanya coklat tua (karena kompromi dengan suami, cih). Lampu berwarna kuning ini menurut saya pas sekali untuk menambahkan a hint of personality. Ukurannya yang kecil tetapi dengan warna yang mencolok membuatnya nggak berlebihan, tetapi bisa menjadi center of attention.
Hot Brewed
Words.
Melodies.
Dance.
Scream.
Movement.
How to express a human being in limited form?
Could you transform feelings in the air?
But, let’s try first.
Here’s a soul in a cup.
I hope you’re having a warm drink.
A Series of What Ifs
It is almost 2 months from the last time I wrote here. I’m glad and sometimes wonder if you’re still visiting this blog. Either by random Google search or through the link somewhere on the internet. Nonetheless, I always hope my writings can help you find something interesting, or maybe satisfy your curiosity on something.
A few months ago, I finished watching Netflix’s 13 Reasons Why with my sister. A series based on Jay Asher’s novel with the same title, telling the story of why a high school student named Hannah Baker killed herself. Hannah recorded her own voice through tapes, detailing every single person, including herself, who is responsible for her suicide. The series has been received a lot of criticism toward its depressing tones and mental health concern, but I bear myself to watch it until the end. Though I don’t recommend you to watch the 2nd season because its disappointing storyline, the series has been a topic of discussion for myself.
I realized that as a human, our existence has always links to each other. We might not realize that our tiny bit of action can matter a lot to others or result in almost nothing. Our simple comment can hurt someone, or maybe don’t even worth to remember for others. The complexity of human action and its impact can be a matter of life for someone else. In the series, there is a moment where some of Hannah’s friends contemplated whether they have given enough attention or care to Hannah. If they had been done something different, would Hannah still be alive? Asking ‘what if’ is always an easy way out.