Kakek Tetangga di sebelah rumah adalah mantan ksatria istana.
Ia selalu bercerita tentang rencana pengepungan pada Perang Kutub yang tersohor itu. Kemenangan kerajaan kami di Perang Kutub tidak hanya mempersatukan Desa Barat dan Desa Timur yang sudah lama berseteru tetapi juga memenangkan tambang mineral di Bukit Selatan. Salah satu harta terbesar yang menopang perekonomian negeri kami sekarang ini.
Kakek tetangga mungkin hanya salah satu dari 150.000 ksatria yang membentuk formasi perang paling terkenal di seantero negeri, tapi kehadirannya di desa kecil ini selalu berhasil menghibur kami para bocah. Kakek tetangga selalu bangga akan kisah-kisah perjuangannya dan menceritakannya saat sore tiba. Mendengar cerita-ceritanya terkadang seperti mendengar mimpi buruk, atau khayalan mistis yang mengerikan. Tetapi kami para bocah hanya mampu termangu melingkari kursi roda Kakek Tetangga. Bagai terkait, kami tak mampu melepaskan diri dari setiap kata yang dikeluarkan Kakek Tetangga dalam ceritanya. Entah karena kekelaman yang ada di cerita itu, atau kami memang telah lama menantikan petualangan yang mendebarkan di luar desa kecil ini.
Suatu hari, ia bercerita tentang seekor kelelawar yang dapat mencuri jiwa. Kelelawar pencuri jiwa, hanya terlihat seperti kelelawar biasa. Mereka bersembunyi di kegelapan, mencari mangsa ketika matahari terbenam. Mengepakkan sayapnya meraup jiwa-jiwa yang kesepian, yang tertinggal, yang patah hati. Kelelawar pencari jiwa hanya punya satu pengenal fisik, di belakang telinganya terdapat bercak putih. Semakin banyak bercak putih yang ada di sana, semakin banyak pula jiwa yang sudah dilahapnya. Ketika mencapai batas tertentu, jiwa-jiwa yang telah dicurinya akan menyiksa Sang Kelelawar sampai mati.
Salah satu dari kami bertanya kenapa kelelawar itu tetap mencuri jiwa, padahal melahap banyak jiwa akan membunuhnya. Kakek tetangga berkata, di kegelapan banyak yang menemukan sisi yang tak pernah terlihat. Kesepian dalam kesendirian, terlupakan dalam keramaian. Mereka hanya ingin ditemukan di kegelapan.
PS: Foto di atas diambil dari artikel Ksatria Malam Penyambat Nyawa yang bisa dibaca di sini atau di edisi cetak National Geographic Indonesia Juli 2012.