Dari Kampus Gajah, Untuk Indonesia

//December 02, 2010//

I’ve made this post some while ago in the beginning of my 4th year as a college student. I think, I just rambling at a lot of things. Some materials was already published before in this blog, I think.

Kota Bandung. Kampus Gajah. Kebanyakan orang mengaitkan Bandung dengan kampus ini, kampus gajah, Ganesha, Institut Teknologi Bandung. Para orang tua berlomba menyuruh anaknya ikut bimbingan belajar agar bisa menginjakkan kakinya di kampus ini. Untuk merasakan duduk di salah satu bangkunya, di kampus yang katanya bertitel World Class University. Para orang tua itu akan membanggakan anak-anak mereka di jamuan makan, atau di kala senda gurau bersama teman sekantor. Kehadiran anak-anak itu di kampus gajah mungkin bukan keinginan mereka semata, keinginan orang tua, kerabat, atau tuntutan zaman. Tetapi nyatanya, mereka telah duduk di sana, di salah satu bangku kampus paling prestigus di Indonesia.

Sama seperti sebutan World Class University. Kelas dunia (mungkin) adalah impian semua orang. Tapi berapa orang yang berpikir untuk benar-benar mencapai kelas dunia? Pada kenyataannya, kebanyakan dari kita memilih diri kita sendiri dibanding orang lain. Lulus kuliah, kerja di perusahaan minyak, membangun keluarga sejahtera, membahagiakan orang tua, jika ada uang lebih—(mungkin) beramal kepada korban gempa. Hidup memang seakan ditujukan kepada diri sendiri, dan hanya dirinya sendirilah pusat di mana bumi berputar. Yang penting adalah diri kita, dan (mungkin) teman-teman kita. World Class University mungkin hanya ambisi para “petinggi” kampus yang bergelar Rektor dan perangkatnya, Wakil Rektor dan staf-stafnya, ataupun Wali amanat dan senat akademik.

Ambisi ini memaksa kita semua untuk berpacu dalam kesemuan sebuah titel, menggoda para orang tua pada kebanggaan yang tak berujung, dan membuat para mahasiswa berteriak lebih kencang, “Untuk kebebasan, untuk Indonesia yang lebih baik!”.

Sebuah bangsa dibangun oleh para pemudanya. Presiden Sukarno pernah berkata, “Beri aku sepuluh pemuda, akan aku guncang dunia”. Mungkin inilah yang menyebabkan para mahasiswa berteriak kepada semua tindakan pemerintah, mengomentari semua peraturan atasan atau rektorat, menyebut diri aktivis kampus, beberapa menulis di blog mereka tentang perubahan, dengan kata-kata sulit yang hanya dimengerti aktivis kampus lain. Tapi apakah mereka mengerti dengan semua isi teriakan itu? Akankah mereka melakukan hal yang sama dengan isi semua teriakan itu, atau justru akan melakukan hal yang serupa dengan para “petinggi” ketika mereka telah mendapatkan posisi yang sama? Orang bilang, jadilah ideal selama kamu bisa menjadi ideal. Tapi akankah ke-ideal-an itu menipis seiring bertambahnya usia dan meningkatnya gaji yang dibayar ke rekening bank kita?

Kita mengharapkan seseorang yang ada di atas untuk bisa menginspirasi. Ketika celaan-celaan dialamatkan kepada para “petinggi”, mungkin kita hanya melihat dalam satu dimensi. Kita tidak berdiri di belakang para “petinggi” itu, untuk melihat keseharian mereka. Mereka tidak tahu, seberapa besar kerja keras dan peluh yang dikeluarkan untuk orang-orang yang benar-benar berjuang untuk memajukan bangsa. Banyak orang berlomba untuk menjadi pemimpin, menjadi pemenang di sebuah pertarungan. Sebutan Rektor hanyalah sebuah posisi, kata rektor terpilih hanyalah embel-embel. Puluhan paper dimasukkan, menyerukan sinergisasi, membangun bangsa melalui riset dan teknopreneurship, lalu tentu saja (lagi-lagi)World Class University. Kata-kata diketik, berbagai pidato diserukan, interaksi publik dilakukan. Apa yang berubah? Para mahasiswa masih asyik dengan kesibukan mereka, masih stress karena UTS dan tugas. Tidak ada pencerdasan masyarakat yang terjadi.

Kita mungkin tidak secerdas dan tidak berkapasitas otak sebesar mereka yang berani menjadi calon Rektor. Kita mungkin tidak pernah bisa berpikir sejauh itu, karena ketika kita mendapat pertanyaan, “Apa yang akan kamu lakukan jika kamu jadi Rektor?”. Jawaban yang keluar hanya pikiran dangkal yang lagi ‘in’, “Saya akan adakan arak-arakan di setiap wisuda”, “Saya akan perbanyak hari libur”. Beberapa yang lumayan ber-IP tinggi akan menjawab, “Saya akan membuat banyak paten di bidang teknologi”, “Saya akan memperbanyak riset di bidang teknologi”. Bagi kita yang tidak punya visi misi sehebat itu, sederhanakan semua pikiran itu. Tidak ada “petinggi” tanpa “bawahan”, begitupun sebaliknya. Tidak ada ITB tanpa rektorat dan mahasiswa. Kedua elemen inilah yang akan memajukan bangsa. Tanpa keduanya, perubahan tak akan terwujud. Persetan dengan keidealismean mahasiswa, toh kita tak bisa ada tanpa rektorat. Jadi, ketika ada yang bertanya lagi, “Apa yang akan kamu lakukan jika kamu jadi Rektor?” Mungkin kita akan menjawab, “Saya akan berkaca, memperbaiki diri dan memperbaiki mahasiswa. Bersamanya, saya akan membangun bangsa.

Pernahkan kita membayangkan, ketika umur kita mencapai setengah abad (umur mayoritas para calon rektor), apa yang akan kita serukan saat itu? Saya mungkin bisa berharap, isi teriakan kita boleh berubah, tapi ada satu hal yang harus kita bakar di dalam hati. Sebuah nama. Indonesia.

Dalam salah satu debat Capres 2009-2014, dibahas tentang jumlah pengangguran terdidik Indonesia yang mencapai 50.3 % sedangkan jumlah wirausahawan hanya ada di tingkat 2 %. Hal inilah yang harusnya membuat kita bertanya kepada diri sendiri.

Apa yang bisa kita lakukan?

Klise. Semua orang pasti (atau harusnya) pernah memikirkan kalimat ini. Kita tidak harus jadi ekstrimis nasionalis yang biasa berteriak-teriak membela rakyat dan membawa bendera merah putih di segala kesempatan untuk bisa disebut bangsa Indonesia. Kita mungkin hanya warga biasa yang suka menonton bulutangkis dan ikut berteriak “Go Taufik. Go Indonesia!”. Yang mengutuk kebiasaan pemukulan wasit dan kemacetan sehabis pertandingan Persib. Ataupun meludah kepada warga Malaysia, tanpa tahu alasannya. Tapi, semua itu tidak pernah menjadi sangkalan bahwa kita semua adalah bangsa Indonesia.

Apa yang bisa saya lakukan untuk Indonesia?

‘Potensial’ adalah semangat yang harus dijunjung dan ‘kaya’ adalah kata untuk bangsa kita. Cukup butuh kesadaran, untuk tahu bahwa kita harusnya punya BANYAK untuk maju. Cukup butuh kesadaran, untuk yakin bahwa kita harusnya BISA untuk membuat segalanya lebih baik. Jangan menutup diri untuk sekedar mengutuki keadaan tanpa berbuat apa-apa. Rumput tetangga memang selalu lebih hijau. Tetapi, apakah yang lebih hijau adalah yang lebih baik?

Apa itu Indonesia? Hanya sekedar tempat berpijak? Ataukah tanah ini merupakan alasan dan inspirasi untuk terus berjuang? Jika kita berteriak, “Go Taufik. Go Indonesia.”, apa yang ada di benak kita? Untuk apa kita berteriak sekuatnya untuk membela Taufik Hidayat? Ia hanyalah salah seorang manusia yang kebetulan tinggal di Indonesia, dan kebetulan punya bakat bulutangkis, dia bukan saudara atau famili. Apa untungnya kita berbondong-bondong datang ke Istora Senayan hanya untuk berteriak sampai tenggorokan kering dan suara perlahan hilang. Mungkinkah semua suara dan semangat kita ditujukan untuk tanah ini? Untuk rasa bangga yang tak pernah hilang. Untuk bendera merah putih yang tidak pernah kita bawa, tapi kita kibarkan di hati. Kemenangan Taufik berarti kemenangan Indonesia. Ya, cukup butuh kesadaran untuk merasa yakin bahwa kalau satu dari kita bisa berbuat banyak, kenapa kita tidak?

Semua di antara kita ada seseorang, dan kita patut bangga berpijak di tanah ini. Inspirasi. Yang kita butuhkan adalah inspirasi untuk menyadarkan kita semua. Nasionalisme adalah bahan pokok untuk memajukan bangsa kita. Mari, wahai para mahasiswa, para orang-orang yang menganggap diri ideal, sadarilah! Dunia tidak akan berubah dengan teriakan sok tahu, atau data-data kesalahan. Buatlah solusi, tanpa tuntutan omong kosong dan kontrak politik. Kita akan memulai dari tangan kecil ini. Kita akan meraih gemerlap kemenangan, bukan atas nama kita—yang mungkin hanya akan berakhir di batu nisan yang kemudian memudar. Tapi untuk tanah tercinta, satu-satunya tempat untuk menumpahkan darah dan keringat. Satu nama. Indonesia.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.