…dan saya mendapat gaji saya kemarin, menandakan sudah genap 5 bulan saya bekerja. Saya mencoba mengingat-ingat apa yang berubah dari saya, lewat kata, lewat tulisan saya. Dan ternyata… banyak.
Saya membuka-buka archive blog saya dan menemukan, saya sudah lama tidak bercerita. Tentang kota warna, tentang ksatria dan putri yang pergi ke medan perang, tentang tukang roti dan kata-kata yang diselipkannya di depan oven ketika pagi datang, tentang para pemabuk mimpi di kota yang tidak pernah tidur, menempa besi hanya untuk menyaksikan senjata mereka dipergunakan untuk membantai sanak saudaranya di negeri seberang, tentang para peri. Para peri yang entah mengapa selalu saya gambarkan sebagai makhluk yang dikutuk menjadi bisu ketika siang hari dan baru bisa berbicara ketika malam tiba, ketika tidak ada seorangpun yang mendengarkan.
Mengizinkan saya bercerita seperti ini sama saja membiarkan saya mengoceh soal ratusan halaman yang tidak pernah dibaca siapapun (selain adik saya), yang kemudian menguap teriring sempitnya harddisk komputer dan termakan virus kurang ajar. Menjadikannya abadi dan sayangnya, bisu. Tidakkah kamu rindu waktu dimana semua hal hanya tentang kamu dan para kunang-kunang pemberi harapan? Masihkah kamu ingin bertemu dengan para peramal di hutan Selatan, yang bahkan tidak pernah meramalkan apapun selain bahwa akan ada genangan hujan setelah hujan? Biarkanlah dua paragraf ini menari di bawah senja seperti ini, saya sudah lama menyimpan kata-kata ini di ujung hati (dan jari).
Jika saya dibiarkan kembali ke ide awal post ini, saya merasakannya banyaknya perubahan yang nyata terjadi. Yang pertama tentu saja waktu. Seperti yang saya jelaskan di awal, waktu untuk saya sendiri berkurang hebat dan terasa sialan. Waktu saya berubah menjadi waktu mereka, dan hasil karya saya berubah menjadi hasil karya mereka. Ketika coretan kecil adalah nista dan revisi adalah kemutlakan. Saya harus tidur di jam 9 untuk bangun di setengah 5 (yang mustahil saya lakukan karena secepat apapun saya berusaha tidur, saya terlelap di jam 10). Saya harus berangkat dan pulang di jam yang tepat, karena 5 menit adalah imbang dengan 1 jam. Logis? Dan saya hanya bisa tertawa tentang semua itu.
Ya, perubahan terbesarnya adalah waktu. Repetisi. Yang kemudian merembet menjadi ketidakpuasan dan kejenuhan. Mesin.Di awal kejenuhan saya, saya berusaha mengabaikan semua itu. Berusaha menerima banyak hal dengan bahagia, dan berusaha mencari kegiatan lain. Saya mengumpulkan beberapa teman dan membuat program beasiswa, sehingga saya punya cukup waktu untuk kegiatan saya sendiri di luar (selain bermain City of Wonder). Di waktu saya yang lain saya membeli 5 tumpuk komik dan memuaskan semua keinginan yang tertunda. Kembali terbenam di panel panel gambar dan sesekali terharu karena petualangan yang begitu luar biasa (yang saya tidak akan pernah bisa mengalaminya). Saya menulis ketika saya ingin menulis dan kadang membiarkan banyak hal tertinggal di meja makan.
Sayangnya, hidup masih akan terus berjalan seperti ini. Dan saya masih berhasil untuk multi tasking menuliskan post ini (di sela-sela kalkulasi valve yang data prosesnya selalu ngaco) walaupun dengan kadar otak yang (entah mengapa) terasa semakin mengecil. Artinya, saya mungkin hanya mengeluh sesaat (walaupun saya benci sekali keluhan). Dan besok, saya masih akan tersenyum untuk membagi kebahagiaan dan membungkus bekal makan siang. Pada akhirnya, saya bersyukur masih bisa mempunyai kesempatan meracau lewat kata :)
And when people said find a passion not just a job. Oh, I seriously thought you’re just being funny. It has never been in the same line anyway.