These Words

The power of internet had brought me to read Neil Gaiman’s essays long before I read one of his books. In an essay called All Books Have Genders, Gaiman wrote an interesting take on how to see and perceive a story. I wonder if my writings have one.

I wrote a lot of fictional stories before, in short passages, or a pretty much longer one. But do they even have common threads, other than written by the same person?

They rarely take a female’s perspective. They talk romance in a non-romantic way. Do they even have feelings?

Do I even have feelings?

Read more of these here.

Apakah Belum Cukup?

Saya memandangi wajah tidur Ibu saya malam ini.

Saya membaca banyak sindiran untuk Andien ketika beliau baru melahirkan dan kemudian merawat anaknya. Saya tidak mengerti mengapa saya merasakan sedih ketika melihat banyak Ibu lainnya merasa hidup dan caption foto Andien sangat “menggelikan”, “terlalu sempurna” dan “tidak mencerminkan kesulitan Ibu pada umumnya”. Saya sama sekali tidak mengerti bagaimana sulitnya menjadi ibu dan saya tidak akan berani untuk menduga-menduga.

Tapi, apakah kita harus menjatuhkan orang lain terlebih dahulu untuk merasa menang?

Di lain kesempatan, salah satu teman laki-laki saya bertanya apakah memang persaingan di kalangan Ibu nyata adanya di era modern ini. Satu paham dengan paham lainnya. Pilihan yang satu dengan yang lainnya. Bekerja atau tinggal di rumah. Beberapa teman menuliskan kata working mom ataupun SAHM/WAHM (yang baru saya pahami artinya baru-baru ini) di dalam identitas digitalnya. Saya ingin sekali bertanya. Apakah belum cukup hanya untuk menjadi Ibu saja? Tanpa tambahan lainnya.

Bukankah menjadi Ibu saja sudah sesuatu yang sangat indah?

Mendengar dalam Hangat

Mendengar adalah sebuah kegiatan sehari-hari yang kalau dirasakan mendalam sangat sulit dilakukan. Saya beberapa kali menuliskan pentingnya “mendengar” sebagai salah satu cara melatih kepekaan maupun cara kita bereaksi terhadap sesuatu (baca di sini dan di sini). Weekend kemarin, saya datang ke salah satu event Cerita Perempuan dan ingin berbagi sedikit pengalaman tentang apa yang saya dapatkan kemarin.

Cerita Perempuan sendiri sejatinya ingin menjadi wadah untuk berbagi cerita. Saya pernah menulis salah satu post di sana dan tidak pernah ketinggalan update-nya setiap minggu (post terbaru selalu tayang setiap hari Senin & Kamis). Buat saya sendiri yang senang mendengarkan cerita dan memahami sudut-sudut pandang baru, Cerita Perempuan menghadirkan sesuatu yang dekat dengan keseharian tanpa terkesan menggurui. Mungkin karena gaya berceritanya yang memang mengambil titik balik masing-masing penulis dan apa yang bisa diambil di sana. Selain berbagi cerita di blog setiap minggunya, Cerita Perempuan sudah beberapa kali mengadakan event di Bandung dan Jakarta. Saya pernah sekali datang ke event-nya yang waktu itu membahas tentang Perempuan di Dunia Karir. Event-nya sendiri lebih kepada sharing pengalaman maupun kegelisahan seputar tema yang dibahas.

Weekend kemarin, tema yang dibahas adalah tentang Self Esteem. Topik yang menurut saya kompleks, sensitif, dan kadang sulit diterawang apakah kita sebenarnya sudah memilikinya atau tidak. Seperti event sebelumnya, sudah ada beberapa teman dari Cerita Perempuan yang menjadi narasumber sharing di hari itu dan kita juga diberi kesempatan untuk menceritakan pengalaman kita sendiri tentang topik tersebut. Saya pribadi suka banget dengan format sharing seperti ini, mendengarkan banyak cerita baru dan membawa pulang secuil jiwa di dalam hati.

Read more

The Wordsmith

It’s hard to pick the best amongst Alex Turner’s explosive lyrics. So far, Turner’s repertoire does not only consist of Arctic Monkeys’ albums but also The Last Shadow Puppet’s and an OST for a movie titled Submarine. Turner’s lyrics capture moments pretty sincerely in different wavelengths. It jabs right to heart with unthinkable metaphors and word choices. Often inspired by his girlfriend at the time, it’s always interesting to see how Turner’s lyrics evolve through the year. He wrote a lot of lyrics inspired by Alexa Chung (She’s Thunderstorms, Knee Socks), Arielle Vandenberg (Arabella), and Taylor Bagley (Sweet Dreams, TN). One thing that connects them all, it’s always left us with a lot of awes and ‘how come’.

In an interview with NME back in 2013, Turner was asked what song he’s most proud of lyrically, after questioning it for a while (asking, “Does anyone even wanna know what I think about it?“), he’s throwing Arabella and Cornerstone as an answer. I need to agree wholeheartedly because Arabella displays Turner’s poetic approach really well and Cornerstone puts up his storytelling forefront.

It’s funny that I think, the weakest album from Arctic Monkeys (Suck It and See, 2011) is the best one in terms of lyrical choices. And if you’re wondering which album you should start listening if you’re not a big fan of Rock, I’d recommend you the Submarine OST. All the songs feel light but meaningful, it’s easy listening kind of album with simple instruments often found in indie songs. It’s a good album to listen to in the midst of rainy seasons.

While I think in terms of storytelling, Red Light Indicates Doors Are Secured (2006), Bigger Boys and Stolen Sweethearts (2005), and Cornerstone (2009) are still at the top, I want to highlight some songs that display Turner’s songwriting talent really well.

Read more

Berhati-Hati Dalam Memilih Vendor Bisnis

Dalam berbisnis, pasti ada kalanya kita mengalami pasang surut dan good day or bad day. Hari ini, saya mau share sedikit tentang pengalaman dengan salah satu vendor printing kain ketika menjalankan Kawung Living. Saya dan Liza sudah pernah mencoba menggunakan jasa beberapa vendor printing kain selama beberapa tahun ini. Dari mulai pilihan vendornya terbatas, sampai sekarang mulai menjamur. Mulai dari pilihan kainnya masih sedikit banget, sampai sekarang macam-macam jenisnya. Ada yang memang mengecewakan, tapi ada juga yang sampai saat ini selalu menjadi partner yang bisa diandalkan (kami bahkan selalu dapat diskon loyalty setiap pesan di sana).

Tahun 2017 ini, kami mencoba menggunakan kain organik sebagai tambahan dari kain polyester yang biasa kami gunakan. Alasannya karena kami kurang puas dengan hasil jadi kain polyester seperti satin silk polyester untuk bahan Scarf karena terlalu licin dan kurang merepresentasikan bahan kerudung yang biasa kami gunakan. Selain itu, menggunakan kain organik juga bisa membuat kami lebih lega dan tidak was-was untuk mengeluarkan produk-produk lain untuk bayi karena ada beberapa customer yang mengaku bahwa anaknya alergi dengan beberapa kain polyester. Sebelumnya, kami pernah menggunakan kain bersetifikasi organik merek Cloud9, tapi sayangnya kain-kain tersebut harus kami impor (kami punya supplier di Singapura) dan makin lama, makin sulit didapatkan di Indonesia.

Kamipun memutuskan untuk mencari vendor lokal yang bisa memproduksi kain organik sesuai keinginan sehingga nantinya kami bisa memberikan harga yang lebih kompetitif dan tidak memberatkan customer. Pencarian ini sebenarnya masih tergolong sulit karena tidak banyak vendor yang mampu memenuhi permintaan tersebut. Kebanyakan vendor kain organik yang ada hanya mau memenuhi order partai besar yang biasanya dimulai dari printing minimal 500 meter. Untuk retail kecil seperti kami, jumlah minimal tersebut masih tergolong sangat besar dan membutuhkan modal yang belum bisa kami penuhi.

Read more