Dunia dalam Kata – Akhir-Akhir Ini

//December 12, 2010//

Ketika semua hal telah berubah menjadi tulisan di memori surreal, menjadi mudah untuk membuat orang lain percaya. Cukup menuliskan 140 karakter tentang sakit hati, dan seketika semua orang akan bertanya ada apa. Hanya dengan mengubah sebaris informasi tentang kondisi hidup, maka semua orang akan percaya ada yang berubah. Seketika, kata-kata menjadi lebih tajam dari maknanya yang sebenarnya. Lebih dari sekedar tajam.

Si kata-kata menjadi penjelmaan dari seluruh kesehariaan si penulis. Kita menilai si kata-kata. Menjadikannya dasar untuk mengukur kepribadiaan seseorang. Intelektual, sifat, emosi, segalanya. Sehingga banyak yang berhati-hati dalam menuang huruf. Takut akan kebebasan yang kembali pada hakikatnya—menjadi bebas, takut dicaci maki karena menyinggung.

Sekarang, menjadi mudah membuat orang lain percaya, akan kepribadian yang diciptakan di balik layar. Si pendiam berubah menjadi sosialita. Si berisik berubah menjadi pemikir politik. Beberapa benar-benar menulis dari hati. Tentang sakit hati atau fanatisme.

Tetapi apapun itu, saya akan tetap menjadi yang salah.

 

Silahkan

//December 11, 2010//

Di satu sisi saya ingin sekali marah. Beberapa menyarankan begitu, tapi membenci diri sendiri tampaknya lebih mudah dilakukan. Dan saya sering melakukannya, harusnya semuanya menjadi mudah. Tapi di sisi lain, saya ingin memaafkan diri sendiri dan menerimanya dengan lapang dada.

Silahkan saja. Ini yang terakhir dan saya hanya ingin minta maaf.

 

We’re Just Different From One Another, Don’t Bother to Find One Damn Heck of Similarity

//December 08, 2010//

Glee lost its charm, but the characters is shinning more than ever!

Entah kenapa saya ingin membahas Glee di blog ini dibanding di blog review saya yellowandredatcinema. Mungkin karena isi post kali ini bukan plek-plekan review tapi sesuatu yang kadang menggumpal di otak saya. Menurut saya, season kedua dari Glee kalah jauh dibanding season pertamanya. Entah dari segi cerita maupun pemilihan lagu-lagunya. Mungkin ada efek dari budaya tukar menukar pacar yang dilakukannya di season ini terlalu Gossip Girl (yak, Anda boleh cek lapak sebelah. Serena dan teman-temannya itu sudah melakukan trik tukar menukar pacar ini dari zaman kuda mungkin). Saya juga merindukan lagu-lagu Rolling Stones dan Queen di season 1 yang tergantikan dengan lagu Bruno Mars yang notabene lebih ‘in’ di season 2. Terlepas dari semua itu, toh setiap Rabu pagi saya sudah nongkrong diindowebster dan addic7ed.com untuk mencari link download maupun subtitle-nya.

Yang saya sadari dari season ini adalah hancurnya dominasi Rachell dan Finn yang sedikit demi sedikit mulai berimbang dengan Queen dan Sam ataupun Santana dan Mercedes. Sebuah langkah yang luar biasa ditunjukkan dengan memberikan sebuah episode tribute kepada Britney Spears di mana Brittany mendapatkan kesempatan bersinar sebagai bintang utama di episode itu. Saya berani jamin seketika para pemirsa akan segera jatuh cinta kepada cheerleader yang karakternya bego ini, she’s so damn great in dancing and err… singing. Keputusan yang baik pula untuk memberikan sebuah number kepada Mike Chang yang jago banget nari ini dengan lagu Sing!, yang menurut saya sangat menggambarkan keberadaannya di serial ini. Harry Shum Jr. hanya perlu menari, toh kita semua sudah sangat suka dengan kehadirannya. Karakter yang memang belum cukup bersinar di sini cuma Tina dan Puck, mungkin Ryan Murphy menyuruh keduanya untuk bersabar karena scriptgiliran mereka sedang ditulis. Tetapi, pesan dari season kedua ini tidak lagi hanya sekedar “Being a part in something special, makes you feel special” , tapi bagaimana menjadi spesial dengan kelebihan dan kekurangan yang kita punya.

Sudah menebak apa inti dua paragraf pembuka di atas? Pernyataan pertama saya berbunyi semua orang pada dasarnya diciptakan berbeda, tidak perlu berharap untuk menjadi sama dengan orang lain. Masa depan, lagu kesukaan, kelebihan-kekurangan, merek sepatu, rekening bank, tidak ada yang penting dari semua itu. Yang penting adalah bagaimana menjadi ‘hebat’ dengan diri sendiri, dengan segala kelebihan dan kekurangan itu. Pada akhirnya, we born single, and die alone. Saya tidak mau jadi patetik karena tidak cumlaude and tidak kerja di perusahaan minyak (oh, dan tidak bisa beli mobil setelah kerja 2 tahun). Saya bahagia dengan 23 tahun hidup saya dan semua pilihan yang saya telah (dan akan) saya lakukan.

Jumping Back Flash

//December 07, 2010//

“Change your facebook profile picture to a cartoon character from your childhood and invite your friends to do the same. Until Monday, Dec 6th of 2010, there should be no human faces on facebook, but an invasion of memories! This is for a campaign against violence on children.”

Rupanya, tren baru ini sudah berjalan lumayan lama dan mungkin kita yang ada di Indonesia sudah ketinggalan jaman.

Cartoon Characters as Facebook Profile Pictures – ABCNews

Tapi aah, biarlah disebut latah kartun. Gerakan ini sungguh memikat (saya tidak bisa mencari kata lain). Kenapa banyak orang yang melakukannya? Menurut saya, hal ini bukan semata hanya latah atau ikut-ikutan, ada emosi yang kuat ketika semua orang kembali mengingat-ingat, mencari di deretan sel abu abu mereka, memori indah yang sempat terukir. Bagaimana dengan setianya kita menunggu tayangan-tayangan tersebut, dan memilah-milah mana yang paling kita favoritkan. Sungguhnya saya sangat menanti-nanti, profile picture apa yang akan dipasang oleh teman-teman saya. Pilihannya beragam, mulai dari superstar papan atas (Doraemon dan Dragon Ball) sampai para pendamping yang terlupa (Dash Yankuro dan Candy Candy). Saya malah mencari-cari, siapa yang akan memasang foto dari Yoichi Ajiyoshi si Anak Cita Rasa (Born to Cook, ada yang ingat, anyone?) atau trio Rantaro-Kirimaru-Shinbe (Ninja Boy). Saya pakar di bidang ini, dan saya tidak pernah malu untuk mengakuinya. Sampai saat inipun rasanya saya bisa menyebutkan semua tayangan kartun di masa itu.

Saya sendiri memilih untuk memasang gambar Bart Simpson dan catch phrase-nya yang terkenal, “Eat my short, man!”. Saya ingat sekali menonton kartun ini sampai malam hari (jam tayangnya dipindah ke malam hari karena ratingnya yang memang bukan untuk anak-anak). Walaupun dulu saya tidak mengerti kelucuan dari film yang cenderung sadis ini, anehnya saya tetap tertarik untuk menontonnya.

(*) Jumping Jack Flash is a well-known-slash-famous-song by Rolling Stones. Yeah, fyi :P