Bioskop Kampus, Riwayatmu Kini…
Prisanti Putri / 13306013
(ditulis untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Akustik semester II / 2008-2009, Dosen : IGN Komang Merthayasa)
Film adalah gambaran kehidupan. Siapa yang tidak setuju bahwa menonton film seperti melihat secuil kehidupan dengan bumbu imajinasi. Bioskop telah mempertemukan film dan penonton, antara hasil rekaman kenyataan masyarakat dengan masyarakat yang direkamnya, dalam sebuah ruang. Itulah mengapa menonton film di bioskop merupakan sebuah pengalaman magis. Sensasi yang berbeda dihadirkan ketika ketika lampu bioskop dimatikan. Rangkaian gambar disajikan satu persatu, kitapun diajak memasuki sebuah dunia baru, meninggalkan semua rutinitas yang terjadi di luar ruang bioskop itu, dan melangkah ke sebuah ruang tanpa batas. Setidaknya, Itulah perasaan saya setiap kali menonton film di bioskop.
ITB beruntung mempunyai sebuah tempat untuk memutarkan film. Itulah mengapa Ruang 9009 yang ada di depan Aula Timur kemudian dinamakan Bioskop Kampus. Di tahun 1960-an, Bioskop Kampus menjadi tujuan utama masyarakat Bandung yang menginginkan hiburan berupa film. Karena saat itu, Bioskop Kampus memutarkan film yang sama dengan yang sedang diputar di bioskop-bioskop besar Bandung namun dengan harga sangat murah atau bahkan gratis. Kala itu, romantisme menonton film di Bioskop Kampus mungkin tidak akan dapat ditemukan di tempat lain. Bunyi gebrakan meja oleh penonton akan terdengar riuh ketika rol film berikutnya telat diputar. Suasanapun semakin ricuh ketika layar bioskop penuh dengan tulisan “Maaf, tunggu film”.
Tetapi, seiring berkembangnya zaman, bioskop-bioskop besarpun mulai dijadikan pilihan utama. Harga tiketnya semakin terjangkau dan penonton memilih untuk memperoleh kenyamanan menonton yang lebih baik. Tengok saja jaringan Bioskop 21 yang kemudian merambah pasar dengan Cineplex XXI dan The Premiere-nya. Ataupun kemunculan jaringan bioskop baru Blitz Megaplex yang hanya dalam kurun waktu 3 tahun berhasil menyaingi pasar pemutaran film di Indonesia. Kenyamanan yang dihadirkan oleh kedua jaringan raksasa ini tidak saja dari sisi komersil, tetapi juga dari segi kenikmatan menonton film itu seutuhnya.
Bioskop Kampus 9009
Ruangan 9009 berfungsi ganda. Biasanya ruangan ini digunakan sebagai ruang kelas dengan papan tulis besar yang ada di depan. Jika ingin digunakan sebagai bioskop, maka tinggal menggeser papan tulisnya dan di belakangnya telah terbentang layar putih besar. Yang paling mengkhawatirkan dan alasan utama mengapa bioskop ini mulai ditinggalkan orang adalah dari segi akustik dan kenyamanan menontonnya. Bandingkan dengan studio bioskop besar yang punya kursi merah empuk, Bioskop Kampus hanya punya kursi kayu panjang yang berderit ketika kita ingin pindah tempat. Dari segi tata suaranyapun, hanya ada speaker besar yang ditempatkan di depan, dengan kualitas yang sangat terpuruk. Tirai yang dipasang sekedarnya digunakan untuk menutupi cahaya yang masuk dari luar, tetapi malah sering sekali adanya bocor cahaya.
Tetapi, sisi historis ruangan ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan. Usaha pemugaran Bioskop Kampus baru saja diinisiasi. Dan mungkin, saya bisa berangan-angan, seperti apa hebatnya ruangan ini jika pemugaran itu selesai dilakukan. Sebelum semuanya terjadi, mari menilik dapur suara bioskop dan dari mana suara-suara menggelegar di studio bioskop bisa terjadi.
Tata suara dan akustik pada Bioskop
“Nothing is more beautiful than silence except the sounds of nature and music”
Film adalah media audio-visual, maka suara atau audio haruslah mendapat porsi 50% dari film tersebut. Sejak ditetapkannya standar sound untuk film pada tahun 1930 oleh The Academy of Motion Picture Arts and Sciences, film seperti mendapat nafas baru. Para pembuat filmpun mulai memikirkan bagaimana instalasi suara pada bioskop. Mereka tidak hanya berkutat pada bagimana merekam suara pada filmnya, tetapi juga bagaimana suara pada film itu akan terdengar oleh penonton di dalam bioskop.
Setelah itu, berturut-turut teknologi suara untuk bioskop semakin berkembang. Dari 4 channel, bertambah menjadi 6 channel. Tidak berhenti di 6 channel, tahun 1970, lahirlah teknologi suara Dolby’s A Type yang pertama kali dipraktekkan pada film ‘Clockwork Orange’.
Teknologi Dolby yang digunakan sekarang ini adalah teknologi Dolby Digital di mana suara surround sudah bisa dinikmati dengan total di sekeliling bioskop. Dolby Digital 5.1 Channel Surround adalah yang paling umum digunakan. Terdapat 5 speaker dan 1 subwoofer yang dipasang. .1 channel menandakan subwoofer yang digunakan untuk menghasilkan low-frequency Effect (LFE).
Pemasangangannya kurang lebih seperti di bawah ini, 2 channel dipasang di kiri kanan depan, 1 channel di tengah depan, 2 channel surround di kanan dan kiri, juga 1 channel LFE. Standardnya, speaker kanan dan kiri depan bersudut 30° dari speaker depan, dan speaker surround yang ada di kanan kiri membentuk sudut 120°.
Prinsip dasar peletakan speaker yang digunakan untuk menghasilkan aliran suara yang konsisten di semua tempat dalam bioskop kurang lebih seperti di bawah ini. Speaker yang ada di belakang layar diletakkan mengarah ke bagian ruangan yang terletak 2/3 kedalaman ruangan. Sedangkan tinggi speaker berada di 1/3 dari tinggi ruangan. Speaker surround terdekat dari layar, minimal berjarak 1/3 dari kedalaman ruangan.
tampak atas |
tampak samping |
Gedung konser pada umumnya tidak memiliki surround sound, karena suara dari arah yang berbeda dengan panggung akan menimbulkan gangguan dalam menikmati bunyi. Oleh karena itu, penonton konser lebih suka tempat duduk yang dekat dengan panggung. Berbeda dengan gedung bioskop, surround sound justru merupakan elemen penting untuk membuat susasana spasial dalam ruangan yang tentunya tidak bertabrakan dengan suara dari speaker yang ada di depan. Dikatakan bahwa total energi yang berasal dari surround speaker haruslah mengimbangi speaker yang ada di depan. Posisi speaker harus diarahkan ke arah yang berlawanan dari tempat speaker berasal sehingga speaker dapat menghasilkan minimum perbedaan kekuatan antara dinding dan kursi penonton sebesar -3 dB.
Suara yang dihasilkan dari surround speaker tidak boleh terdengar sama dengan suara yang berasal dari speaker depan. Maka dari itu, waktu delay dari speaker surround terhadap speaker yang ada di depan biasanya adalah 1 ms untuk jarak 340 mm. Berarti, suatu ruangan bioskop dengan panjang 34 m akan mempunyai waktu delay sebesar 100 ms atau 1/10 s.
Selain teknologi suara, baik tidaknya akustik ruangan bioskop sangat mempengaruhi terdengarnya suara dari film.
George Augspurger seorang ahli akustik mengatakan bahwa dalam akustik ada 3R yang harus diperhatikan
1.Room resonance (resonansi ruang)
2.Early reflections (refleksi)
3.Reverberation time (waktu dengung)
Absorpsi merupakan hal terpenting dalam objektif perancangan sebuah bioskop. Berbeda dengan gedung konser di mana suara harus dipantulkan sebanyak mungkin, maka pada gedung bioskop suara justru harus diserap sebanyak mungkin. Pada gedung bioskop, pantulan suara harus diminimalisasi. Penyerapan suara biasanya disiasati dengan pemasangan kain tirai pada dinding samping kiri dan kanan, serta dinding pada bagian belakang. Selain itu bahan jok dan sandaran kursi harus dipilih yang tidak menyerap suara, tetapi tetap membuat penonton nyaman. Prinsipnya, dalam keadaan kosong atau diduduki, diusahakan agar tingkat penyerapan suara sama. Waktu dengung adalah rentang waktu antara saat bunyi terdengar hingga melenyap. Gedung bioskop dianggap baik ketika memiliki waktu dengung sekitar 1,1 detik.
Kebanyakan pemasangan tirai pada dinding berhasil mengabsorpsi suara dengan frekuensi tinggi, tetapi kurang memperhatikan frekuensi rendah. Oleh Karena itu, diberlakukan prinsip 1/4 λ. Bahan penyerap suara yang digunakan harus diletakkan sejauh 1/4 λ dari frekuensi terendah yang diserap. Pada contoh di bawah ini, jika frekuensi terendahnya adalah 42 Hz, maka bahan penyerap suara sebaiknya diletakkan pada jarak 2 meter dari dinding. Untuk materialnya, dapat digunakan rock wool (fibreglass) yang dikatakan merupakan material dengan kemampuan absorpsi yang cukup tinggi. Material ini dikatakan dapat membuat sebuah ruangan hampir mendekati ruangan anechoic, dengan harga yang cukup murah.
Hal yang harus diperhatikan lainnya adalah penghitungan Critical Distance atau Jarak kritis. Jarak kritis merupakan batas jarak di mana suara langsung yang berasal dari speaker dan suara pantul memiliki energi yang sama. Jarak kritis ini berbeda-beda di segala frekuensi. Semakin tinggi tingkat absorpsi suara di ruangan tersebut, maka semakin jauh pulalah jarak kritisnya. Desain ruangan akustik yang baik diusahakan memiliki Critical Distance sejauh mungkin dari sumber suara.
Selain itu, ada standard kenyamanan sistem audio yang disebut THX. Speakernya sistem satelit, artinya speakernya tersebar di seluruh ruang bioskop itu. Untuk mendapatkan efek suara optimal sistem akustiknya juga harus mendukung. Jadi aliran suara bagi penonton yang duduk di depan maupun di belakang bisa merata. Selain itu Di Indonesia sendiri, bioskop yang sudah mendapat akreditasi THX adalah Blitz Megaplex dan The Premiere. THX pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Holman dari LucasFIlm. Eksperimen ini dibuat dikarenakan George Lucas yang menginginkan Star Wars (1983) ditayangkan di bioskop-bioskop dengan standar kenyaman menonton yang cukup baik. THX menyatakan standar kualitas bangku penonton, jumlah air-conditioning, sistem teknologi (surround) dan tata letak (akustik) speaker. Sekarang ini, Holman yang juga merupakan pengajar di University of Southern California sedang mengembangkan teknologi 10.2 channel surround sound. Sistem 10.2 ini menggunakan 12 speaker di 10 lokasi pemasangan dan 2 subwoofers untuk menciptakan kualitas suara yang dikatakan ada di luar batas imajinasi kita.
Bioskop Kampus tidak akan mencapai standar THX tentu saja, hal ini disebabkan oleh fungsi gandanya sebagai ruang kelas itu. Harapan saya, justru dengan pemugaran yang nanti akan dilakukan, fungsi gandanya tidak berubah. Dengan melihat contoh Gedung Konser Usmar Ismail rancangan Prof. Soegijanto, justru dualisme fungsinyalah yang menjadi keunggulan gedung tersebut. Sama halnya dengan ruangan ini, fungsi ganda inilah yang membuat ruangan ini menjadi unik. Untuk efek absorpsi yang lebih diperlukan oleh bioskop ketimbang ruang kelas, mungkin tirai di kiri kanan ruangan dapat dimanfaatkan. Tirainya dipanjangkan sampai ke bawah dan dipasang sesuai kebutuhan. Jika akan digunakan untuk ruang kelas, tirainya dibuka. Dan jika ingin dipakai untuk ruang pemutaran, maka tirainya dipasang. Bangkunya mungkin digunakan bangku kelas yang mejanya bisa dilipat, mirip dengan bangku di ruang auditorium Sabuga. Sehingga penonton masih mendapat kenyamanan ketika menonton dan ruangan masih dapat digunakan sebagai ruang kelas. Sistem pencahayaan buatannya ada dua, di mana tingkat keterangan lampunya dapat dibuat sesuai kebutuhan. Di mana ruang kelas yang membutuhkan tingkat pencahayaan lebih terang, diimbangi dengan beberapa lampu downlight yang lebih redup untuk kepentingan pemutaran dan diskusi film. Tata akustiknya disesuaikan, dilengkapi dengan speaker surround seperti studio bioskop pada umumnya. Tidak usah berlebihan, 5.1 sudah sangat mewah. Karena jika dipasang dengan jumlah speaker 6 atau 7, kemungkinan untuk ketidakmaksimalan penggunaan tata suaranya sangat besar.
Sayapun berangan-angan memasuki ruang 9009, tanpa membawa soft drink dan pop corn di tangan. Saya kemudian duduk di salah satu bangkunya. Menikmati sebuah perjalanan ke dunia baru di ruang tersebut. Romantisme menonton di Bioskop Kampus mungkin hanya tinggal kenangan. Tapi saya boleh berharap, mungkin suatu saat, Bioskop Kampus akan kembali penuh dengan deretan orang yang mengantri masuk, tiket-tiket yang disobek, dan riuh tawa ketika film dimulai.
Sumber:
– Lenard Audio Institute, Blitz Megaplex, Liga Film Mahasiswa, Los Angeles Film School,Forum Kompas, Wikipedia