Setidaknya Hargailah

//May 27, 2010//

Memang saya cuma orang bodoh dengan IP yang baru sampai 3 setelah 4 tahun. Saya pernah mengulang pelajaran 2 kali dan ikut semester pendek 2 tahun berturut-turut. Bukan karena sok pintar, tapi karena mengulang.

Saya tidak pernah apply beasiswa, karena ada satu poin yang tidak akan pernah bisa saya penuhi walaupun mengambil 160 sks sekalipun. Tapi toh saya terima karena itu nasib bagi orang-orang yang bodoh. Saya punya waktu belajar yang sama dengan teman-teman saya, dengan kesibukannya masing-masing. Tapi walaupun saya sudah berusaha lebih keras, ada tembok yang tidak bisa saya loncati.

“Bakat itu ada batasnya, tapi usahalah yang tidak pernah punya batas.” Hanya karena satu kalimat ini saja saya masih mau bertahan.

Iya, memang bantuan saya sepele. Tidak pantas disebut bantuan malah. Saya tidak pernah memberi saran atau meringankan penderitaan orang lain (malah menambah derita nampaknya). Mungkin saya tidak berbakat menolong, yang saya bisa cuma membuat kesal orang.

Mungkin memang lebih enak tidak kenal siapa-siapa. Tidak perlu ditinggal pergi cuma karena salah bicara.

We

//May 20, 2010//

Sidang Komisi Disiplin ITB tanggal 18 Mei 2010 memutuskan Dzulfikri Imadul Bilad (Zul), mahasiswa jurusan Kimia ITB 2007, diskorsing 3 semester, diharuskan menjalankan kerja keprofesian & kerja sosial, dan mengikuti bimbingan konseling karena tindakan rasisnya beberapa waktu lalu.

Saya belum pernah lihat wajah Zul, saya tidak kenal dia. Tindakan rasis memang salah. But somehow, I think we share a common thing. We have trouble with emotion and the way we express it. We were too foolish to think of anything. We messed up. Badly. We lost (almost) everything. The worst thing about it, we won’t get anything back. All we can do now is stand up, and face it. Yeah, it is our little consequences.

 

Teriakan

//May 16, 2010//

Jam 1 kurang, dan jalanan sudah sepi. Saya segera pulang dari kampus. Jalan Cisitu Lama macet (seperti biasa). Sayapun turun dari angkutan umum dan bergegas pergi. Pengendara motor terburu-buru, supir angkutan umum memutar balik, dan jalanan penuh sekali. Saya mampir di Mini Market dan membeli cemilan. Di TV, game pertama sudah dimulai. Hujan tiba-tiba turun. Kata orang hujan pertanda keberuntungan. Tapi kali ini, lawannya China, mungkin keberuntungannya sudah terserap oleh mereka. Saya duduk di depan TV, iklan Esia Ganas berkali-kali diputar. 3 game dan kita kalah, tapi saya paling suka saat-saat seperti ini. Semua orang berteriak satu kata, dan kita tidak peduli siapa di sebelah kita. Apa warna kulitnya atau dialek yang mereka teriakkan. Makian atau dukungan, semua tertelan oleh waktu. Karena pada akhirnya, hanya satu kata yang terdengar, “En-do-ne-sia!”

Indonesia,
dan kita teriakkan lagi kata itu.

Final Piala Thomas 2010, 16 Mei 2010 13.00. China vs Indonesia : 3 – 0.