Mary and Max

//December 05, 2009//

Mary and Max

Ketika memutuskan untuk membeli Mary and Max, saya tidak tahu asal usul film ini. Saya tidak tahu bahwa fillm ini adalah film festival yang telah membuka Sundance Film Festival, telah mendapatkan penghargaan Crystal Bear – Special Mention di Berlin International Film Festival, dan mememenangkan Grand Prize di Ottawa International Animation Festival. Saya tidak tahu kalau ratingnya 95% di Rotten Tomatoes dan 82% di imdb. Saya hanya merasa film ini memanggil-manggil saya untuk ditonton.


Ternyata, Mary and Max bukan saja menyentuh hati, tetapi juga membawanya terbang. Ke pelosok kota New York yang selalu sibuk dan daratan Australia yang (katanya) membosankan. Melintasi ribuan mil, menyebrangi ribuan jiwa, untuk menghantarkan sebuah permata seindah bintang, sebuah perasaan tulus seluas samudra, dan surat-surat penuh pengharapan. Film ini membuat kita menyaksikan banyak, melihat dua manusia, memandangnya dari berbagai sudut, memperhatikannya dengan seluruh hati kita.


Terkisahlah Mary, anak biasa saja yang punya tanda lahir di dahi yang dikatakan berwarna seperti dog’s poo. Keluarganya tidak terlalu bahagia, dan kehidupannya tampak pathetic karena ia menjadi bahan bully-an teman2nya juga jatuh cinta kepada tetangganya yang gagap bernama Damian. Jauh dari tempat itu, hiduplah Max yang punya keterbelakangan mental dan mengalami obesitas. Tanpa sengaja, mereka menjadi sahabat pena, dan menjadi teman bercerita yang telah lama diidamkan keduanya.

Ketika saya menonton sebuah film yang luar biasa indah, saya berharap akan dapat menulis banyak. Tapi ternyata semua harapan saya salah. Tidak ada lagi yang bisa diceritakan darinya kecuali hati saya yang tercuil pergi dan terbang besama indahnya film ini. See it for yourself, and be prepared for a trip to a unique visualization, an inspiring dialogue, an extraordinary thought, and a beautiful experience throughout the movie.

Recommended Consensus: Jika Anda merasa PIXAR’s UP berhasil menyentuh hati dan membuat Anda menangis, YOU HAVEN’T SEEN THIS ONE! Take your breath away until its last minute.

 

This is It review

//November 26, 2009//

It’s maybe too late to celebrate the movie, but I want to write about this movie so bad. It is the best package of a documentary movie that I’ve seen so far. It is also because Kenny Ortega is the director of High School Musical, which I’m so rooting for now and then. So… here it is.

This is It, this is where the Magic happens.

Saya bukan penggemar Michael Jackson. Mungkin itu salah saya karena saya besar dengan mendengarkan lagu-lagu Blink 182 atau Green Day daripada lagu-lagu Michael Jackson. Tapi setelah menonton film ini, saya meninggalkan bioskop dengan menyesal bahwa saya bukan penggemar Michael Jackson.

Kenny Ortega memberikan sebuah sajian luar biasa di mana kita melihat ribuan semangat yang terbakar di bawah naungan sang maha bintang pop Michael Jackson. Di mana ribuan mimpi berkumpul dan tercurah dalam film dokumenter yang bercerita tentang pembuatan konser terakhir Michael Jackson yang akan bertitel sama—This is It. Yang bisa saya bilang, film ini penuh passion dan perjuangan, di mana sebuah encore tidak akan tercipta tanpa penari latar, backing vocal, guitarist, penata lighting, dll. Film ini memperlihatkan sisi manusiawi dan musikalitas luar biasa Michael di atas panggung.

Saya kembali menyesal, bagaimana mungkin saya sampai tidak mengidolakan Michael Jackson. Dialah dewa dari musik, ia adalah segalanya yang pernah terbayang dari seorang bintang.

This is it.

This is the tale of a man who becomes a king, and changed the world.

 

We take a bow to UP

//August 05, 2009//

 

Every people sail out to the ocean of life in search of their own adventure. Some followed their destiny, live prosper enough to finally reach their desired goals. Some found an intersection, turned the other direction and continued on a different adventure. And some, found himself stuck on a journey, he looked around and realize that it is too late to accept that he no longer had life-along partner to share the adventure.

 

Up, up, and away, Carl Fredericksen flies, to reach the dream. To get the adventure he always waits for.

Pixar’s UP brought up the new height standard to every animated movie, it is called SIMPLICITY. At the first 10 minutes, I already cried. The 4 ½ minutes of silent moment portrayed the Carl and Ellie’s live was an Oscar material and what people called a picture perfect of life. I cried, a lot (as every PIXAR film I watched, I always cried on the first place). Two simple dreams have just made an adventure way more exciting and beautiful than every PIXAR films. I didn’t say that this is the best PIXAR film (I still say it is Toy Story), but it is the most heartwarming and heart melting so far. The idea of house that fly doesn’t quietly original, but what made it so beautiful is that, they made the most simple story on PIXAR history and still able to deliver an amazing film. Another great thing about the movie is they may not have Randy Newman anymore, but Michael Giacchino is one hell of a great musician. He just made the saddest scoring of this decade. I just have to rose up once again, and giving a standing applause, for ten films in a row. I just wonder when I can cope out with all of you, but believe me, someday I will.

Recommended Consensus: Everyone who reviewed this movie must be lost of words to describe the adventure they had at the cinema and what they can take home afterwards. Too beautiful to be missed.

The Most Magical Film of The Saga (Yet)

//July 24, 2009//

David Yates and the gang of Harry Potter is back again on the 6th installment of the series. Oke, kalimat pendapat pertama, saya suka.

Banyak early review tentang seri ini bilang bahwa film ini adalah Oscar material. Tapi beberapa teman saya malah memperingatkan bahwa filmnya gk bagus-bagus amat. Tapi kalau kamu suka film drama, pasti suka film ini. Soalnya, terbukti memang porsi action yang seharusnya ditampilkan oleh para Death Eaters yang nyelonong masuk Hogwarts itu malahan hanya ditampilkan sedikit sekali.

Saya bukan penggemar film drama. Saya juga bukan penggemar film action. Sejak awal saya menggemari film, saya tidak pernah mengkategorikan film-film kesukaan saya dengan genre. Jadi, sayapun menonton Harry Potter tanpa banyak perkiraan. Dan hey, It’s the first time I said that this Harry Potter film is magical! Entah mengapa, tipe penggarapannya mendadak serius, sinematografinya bagus dan filmnya mengalir wajar.

Walaupun banyak hal-hal di filmnya yang tidak jelas bagi para penonton filmnya yang bukan pembaca bukunya. Seperti kehadiran Fenrir Greyback yang cuma muncul di poster pinggiran jalan padahal wajahnya nampang di sepanjang film tidak dijelaskan sama sekali. Hubungan Tonks dan yang tiba-tiba sudah menikah saja. Ataupun betapa misteriusnya The Half Blood Prince yang ternyata di filmnya malah ‘hanya’ berakhir dengan kalimat Snape, “Yes, I am the Half Blood Prince.”. Toh di akhir film saya merasa filmnya lebih dari sekedar menghibur.

Emma Watson also, still looking gorgeous and above expectation, deliver a great role being Won Won’s best friend who’s getting jealous because her best friend is actually snogging other people. Tapi saya menganggap Ginny masih kurang cantik buat jadi pacar seorang Harry Potter. Tokoh Lavender Brown justru mencuri perhatian saya, muka genit dan kelakuan gk banget itu justru membuat saya mengingatnya sampai akhir film. Dan Luna Lovegood, wow! I just actually fall in love with her. Pujian saya alamatkan kepada Draco Malfoy yang diperankan baik-baik saja oleh Tom Felton. Yang menarik adalah, dia bahkan pake jas waktu bangun tidur. Scene favorit saya, tentu saja, adegan di toko Fred & George Weasley.

Hal yang membuat saya suka seri kali ini adalah di film ini, entah mengapa saya merasa Yates sedikit melupakan unsur komersial seri Harry Potter ini yang membuat pemotongan-pemotongan dari bukunya justru terlihat rapi dan tidak mengganggu. Hal ini juga dibuktikan dengan penggambaran yang tadi saya sebutkan, di mana tampaknya si penonton harus sedikit banyak membaca bukunya untuk tahu lebih jelas tentang banyak hal. After all, I do love this film. Walaupun pada akhir filmnya, saya menyesal pernah membaca buku ketujuhnya. Karena kalau saya tidak tahu lanjutan ceritanya, pasti saya berteriak-teriak sumpah mati ingin menonton lanjutan filmnya ketika si Snape dan geng Death Eaters berlalu meninggalkan Hogwarts.

Well, don’t just dying to know what will Yates bring in the latest installment? Tapi tentu saja harus menunggu setahun lagi.

Decepticon Tampak Seperti Baja Rongsok dan Megan Fox Terus-Terusan Dipaksa Berlari

//June 27, 2009//

 

Transformers 2.
Hmm, where should I need to start? Explosion, the creepy Decepticons, Megan Fox, explosion, the great great Optimus Prime, a lot of explosions.

Menonton Transformers 2 sama dengan pengalaman menghancurkan (atau lebih tepatnya meledakkan) BANYAK kaleng rongsok. Transformers 2 mungkin bisa disebut the most anticipated movie di tahun ini. Tetapi tampaknya, kita berharap terlalu banyak.

Untuk penggemar lamanya, menonton seri kartun ini menjadi nyata adalah impian yang telah lama terpendam. Itulah mengapa Transformers menuai kesuksesan. Di sekuelnya ini, Sam Witwicky kembali berperang menyelamatkan bumi bersama Optimus Prime dan geng Autobot lain. Ekspektasi berlebihan mungkin adalah kata yang tepat untuk Transformers 2. People getting bored with a metal who can turn into robot, and then into a car, and into robot again. We’ve seen it already. No need to bring another (or much more other) metal.

Yah, mungkin itulah perasaan saya. Di Transformers pertama mungkin saya sedikit memaafkan ceritanya yang biasa-biasa saja itu, karena ada bagian hebat lain yaitu disebut animasi dan actionnya. Semua orang pasti terpukau dengan animasinya (yang bahkan berhasil mendapat Oscar itu). Saya aja sampe pengen koprol sehabis nonton film itu sangking serunya. Tapi, tampaknya, Michael Bay mengartikan lain Transformers 2. Mungkin karena menganggap itulah daya tarik terbesarnya (selain Megan Fox tentunya), ia menambah (banyak) Autobot dan lebih banyak action di film ini. Seru memang, tapi membosankan.

Seperti adegan pertarungannya misalnya, kadang Bay membuat banyak slow motion untuk memperjelas beberapa bagian actionnya. Tetapi, kadang kita bahkan tidak tahu siapa yang sedang menghajar siapa, dan apa yang sedang terjadi. Banyaknya karakter baru yang ditambahkan juga membuat saya bingung, sampai akhir filmpun saya gk inget siapa nama-nama Autobot baru itu (kecuali Iron Head mungkin). Yah, setidaknya terima kasih atas trailernya yang ‘mengundang’ itu. Constructicon (or whatever the name is) memang keren, sesuai harapan yang ada di trailernya. Tapi kok gampang kalahnya? Begitu juga dengan adegan pertarungan Optimus dan The Fallen. Orang-orang tentu menunggu saat2 di mana mereka berdua akan bertemu, tetapi justru adegannya terlampau cepat. Cuma kurang dari 1 menit, The Fallennya udah KO. Tetapi salut buat Optimus Prime sih, luar biasa. Saya langsung jatuh cinta sama karakter ini. I guess people also loves the robots more than the human character (kecuali Megan Fox mungkin) .

Dan hmm.. Megan Fox. She just turns the movie into Victoria Secret show. Gila ya, kayaknya emang banyak adegan yang disengaja-sengajain supaya si Megan Fox itu lari-lari. Well yeah, she ranked #2 on sexiest woman on Maxim. Ya udahlah ya, no need to worries, boys. Kecuali rumor kalo dia cowok, ya. Sepanjang film, Mangasiterus2an geleng2 kepala sambil ngomong, “ Sayang ya, dia cowok.” Hiburan terbesar saya justru ada di tokoh Jetfire, dan kedua orang tua Sam. Karakter mereka lebih menarik daripada Sam dan Mikaela yang tampaknya susah sekali mengucapkan kata cinta (eeuwwh, too lame).

Recommended Consensus: Transformers 2, lumayanlah. Another great entertainment popcorn for people who loves explosions and metal crancking sound.