Lewat

Lewat gelap dan dingin pagi yang menyapa hari.

Lewat antrian kendaraan yang siap menunggu.

Lewat peluh yang tercurah karena terik panas.

Lewat segelas air setelah curahan peluh tersebut.

Lewat meja kerja dengan tumpukan kertas.

Lewat surat-surat yang menunggu untuk dicap.

Lewat suara sumbang para pengamen di bus.

Lewat tanah becek dan air yang terciprat.

Lewat hal-hal sederhana yang tercecer di sepanjang hari.

Lewat hal-hal kecil yang terkadang membuat kita mengumpat kesal atau tersenyum kecil.

Lewat semua itu, Tuhan sedang berbicara dengan kita :)

Busway

Setelah kembali ke ibukota, saya jujurnya buta dengan jalanan pusat kota. Untungnya, Jakarta punya busway dan saya cukup bisa mengandalkan ketangguhan si busway ini untuk mengarungi bahtera kehidupan di kota Jakarta. Walaupun bisa menjadi lebih parah dari Metro atau Kopaja, ketika penuh sesak, busway masih menjadi sarana transportasi dalam kota kesayangan saya sampai sekarang. Jadi, untuk kali ini, izinkan saya berbagi pengalaman dan sedikit informasi tentang si busway ini.

Antara Trans Jakarta – Jogja – Solo


Sejak pertama kali beroperasi di Januari 2004, tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan TransJakarta atau lebih dikenal dengan busway ini telah menjadi alternatif moda transportasi yang cukup nyaman di Jakarta. Ide pembangunan awal dari sarana transportasi ini adalah dibangunnya suatu jaringan sistem angkutan umum massal yang menggunakan jalur khusus. Kelebihan TransJakarta juga terdapat pada harga yang terjangkau oleh semua golongan (Rp 2000 – Rp 3500, tergantung jam operasi) yang sebanding dengan kenyamanan yang diberikan (penggunaan AC).

Meningkat drastis dari pengadaannya di tahun pertama, yang hanya melayani penumpang 40.000 perhari dengarn 1 koridor yang beroperasi (Blok M – Kota), laporan tahun 2009 menunjukkan bahwa TransJakarta telah melayani lebih dari 250.000 penumpang per hari, per koridornya. Angka ini tentunya akan melonjak lebih tinggi lagi dengan dibukanya koridor 9, jurusan Pinang Ranti – Pluit, dan koridor 10, jurusan Cililitan – Tanjung Priok sejak Januari 2011 kemarin. Rute koridor terpanjang ini boleh dibilang, langsung diminati penumpang walaupun memiliki armada yang kurang memadai. Rute ini juga merupakan satu-satunya rute yang menggunakan bus gandeng (yang menyatukan dua bus), sehingga jumlah penumpang yang terangkut lebih banyak dengan jumlah armada yang terbatas.

Pengadaan TransJakarta ini sempat menuai banyak pro dan kontra. Mulai dari penggunaan jalur busway oleh kendaraan-kendaraan nakal yang ingin jalur pintas ataupun jumlah kecelakaan yang melibatkan busway. Berdasarkan data dari Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, kecelakaan yang melibatkan busway di tahun 2010 mencapai 461 kasus. Dari angka tersebut, 16 orang tewas, 22 orang luka berat dan 104 lainnya mengalami luka ringan (detikNews). Pemberitaan tentang TransJakarta kembali mencuat ketika belum lama ini terjadi kecelakaan yang menewaskan seorang bocah SD di sekitar Mampang Prapatan yang mengakibatkan koridor Ragunan – Dukuh Atas ditutup selama beberapa hari.

Kesuksesan TransJakarta sebagai sarana transportasi ini mendukung beberapa kota besar lainnya mengembangkan moda transportasi serupa. Jogjakarta di bulan Maret 2008 memulai proyek TransJogja-nya. TransJogja memiliki 8 rute jalur yang dinomori dengan huruf dan angka (1A, 1B, 2A, 2B, dst.) yang mencakup sebagian besar tempat wisata yang tersebar di seluruh Jogja. Para pencinta bus di kawasan tersebut bahkan membuat situs non-resmi untuk TransJogja (TransJogja.com dan TransJogja.net) untuk menginformasikan berita-berita terbaru seputar alat transportasi ini. Sebagai salah satu penumpang yang pernah mempergunakan sarana transportasi ini, saya salut dengan keramahan para petugasnya. Sayangnya, jeda waktu antara rute bus yang diinginkan terlalu lama dan luas halte yang menurut saya, kurang memadai. Sangat disayangkan bahwa halte malioboro yang seharusnya paling diminati penumpang, hanya berupa halte seukuran (kira-kira) 3 m x 1.5 m, jauh berbeda dengan halte Harmoni yang sanggup menampung lebih dari seratus orang lebih di dalamnya.

Kota berikutnya yang menerapkan alternatif bus sebagai moda transportasinya adalah Solo. Kota ini mengusung nama Batik TransSolo (BTS). Busnya nampak apik, berwarna biru lengkap dengan aksen batik tergambar manis di badan bus. TransSolo ini baru saja beroperasi di bulan September 2010 dan masih membutuhkan banyak perbaikan dalam sistem pengoperasiannya. Terlihat dari baru tersedianya dua rute, Rute Timur (berangkat) dan Rute Barat (balik) yang menghubungkan Palur dan Kleco. Yang lucu dari TransSolo ini, beberapa halte hanya berupa sebuah podium kecil plus tangga setinggi pintu masuk bus. Karena masih baru beroperasi, beberapa petugas masih memperbolehkan para penumpangnya untuk turun di tengah jalan. Biasanya, petugas akan mempersilahkan si penumpang turun lewat pintu depan (yang dibuka manual), bukan menggunakan pintu pneumatik yang berada tengah. Sistem ticketing yang dipergunakan juga masih rancu. Dimana pembayaran tiket masih berlangsung di dalam bus. Petugas akan menukar uang anda dengan sebuah kartu dan memasukkannya ke dalam alat yang tertera di samping pintu. Pada nantinya, para penumpang diharapkan akan memasukkan sendiri kartu tersebut ketika pertama kali masuk ke dalam bus dengan sistem smart card.

Perbedaan kedua moda transportasi ini (TransJogja dan TransSolo) dengan TransJakarta adalah penggunaan bus yang berukuran medium yang besarnya lebih kecil dari TransJakarta. Selain itu, berbeda dengan TransJakarta yang memang dirancang memiliki jalur khusus, TransJogja dan TransSolo beroperasi dengan menggunakan jalur umum yang sama dengan yang dipergunakan oleh kendaraan lain. Hal ini disebabkan oleh sempitnya jalanan kota Jogja yang tidak memungkinkan dibangunnya jalur khusus untuk TransJogja. Jadi kadang, tidak adanya perbedaan signifikan terhadap waktu tempuh penggunaan TransJogja dengan moda transportasi lain. Satu lagi tentang TransSolo dan TransJogja, kabarnya pengemudi bus ini berasal dari para pengemudi truk antar kota, sehingga kadang, pengendalian bus ini menjadi ‘cukup seru’ dengan beberapa aksi Too Fast, Too Furious terlibat di dalamnya :P.

Fun Facts:

* Tempat favorit saya untuk berdiri di busway (TransJakarta) adalah di belakang supir, yang akhirnya membuat saya mengenali tombol-tombol yang dipergunakan untuk mengendalikan si TransJakarta ini. Tombol pengendali pintu pneumatic biasanya terletak di kiri pak supir, warnanya hijau (membuka pintu) dan merah (menutup pintu) biasanya akan dibuka sesuai arahan dari petugas pintu. Tetapi, ada juga tombol pengendali pintu yang terletak di kanan, berbeda dengan tombol yang cukup ditekan saja. Tombol yang berada di kiri, umumnya beruapa switch yang digerakkan maju mundur.

* Pak supir mengendalikan suara mbak-mbak yang biasanya memperingatkan kita tentang tujuan dan halte mana yang sebentar lagi akan kita lewati (itu loh yang biasanya bilang : “… watch your belonging and step carefully“). Beberapa supir yang kelupaan memanfaatkan fitur ini, hanya akan mengandalkan teriakan petugas pintu untuk mengingatkan penumpang.

* Ada dua kondisi di mana si petugas pintu tidak akan menaikkan penumpang ke dalam bus, dan merupakan mimpi buruk bagi para penumpang:

  1. Bus penuh sesak sehingga tidak mungkin lagi memuat penumpang.
  2. AC bus mati sehingga penumpang hanya bisa berharap mendapat sesuap angin dari jendela kecil yang terletak di samping supir.

Dari Kampus Gajah, Untuk Indonesia

//December 02, 2010//

I’ve made this post some while ago in the beginning of my 4th year as a college student. I think, I just rambling at a lot of things. Some materials was already published before in this blog, I think.

Kota Bandung. Kampus Gajah. Kebanyakan orang mengaitkan Bandung dengan kampus ini, kampus gajah, Ganesha, Institut Teknologi Bandung. Para orang tua berlomba menyuruh anaknya ikut bimbingan belajar agar bisa menginjakkan kakinya di kampus ini. Untuk merasakan duduk di salah satu bangkunya, di kampus yang katanya bertitel World Class University. Para orang tua itu akan membanggakan anak-anak mereka di jamuan makan, atau di kala senda gurau bersama teman sekantor. Kehadiran anak-anak itu di kampus gajah mungkin bukan keinginan mereka semata, keinginan orang tua, kerabat, atau tuntutan zaman. Tetapi nyatanya, mereka telah duduk di sana, di salah satu bangku kampus paling prestigus di Indonesia.

Sama seperti sebutan World Class University. Kelas dunia (mungkin) adalah impian semua orang. Tapi berapa orang yang berpikir untuk benar-benar mencapai kelas dunia? Pada kenyataannya, kebanyakan dari kita memilih diri kita sendiri dibanding orang lain. Lulus kuliah, kerja di perusahaan minyak, membangun keluarga sejahtera, membahagiakan orang tua, jika ada uang lebih—(mungkin) beramal kepada korban gempa. Hidup memang seakan ditujukan kepada diri sendiri, dan hanya dirinya sendirilah pusat di mana bumi berputar. Yang penting adalah diri kita, dan (mungkin) teman-teman kita. World Class University mungkin hanya ambisi para “petinggi” kampus yang bergelar Rektor dan perangkatnya, Wakil Rektor dan staf-stafnya, ataupun Wali amanat dan senat akademik.

Ambisi ini memaksa kita semua untuk berpacu dalam kesemuan sebuah titel, menggoda para orang tua pada kebanggaan yang tak berujung, dan membuat para mahasiswa berteriak lebih kencang, “Untuk kebebasan, untuk Indonesia yang lebih baik!”.

Sebuah bangsa dibangun oleh para pemudanya. Presiden Sukarno pernah berkata, “Beri aku sepuluh pemuda, akan aku guncang dunia”. Mungkin inilah yang menyebabkan para mahasiswa berteriak kepada semua tindakan pemerintah, mengomentari semua peraturan atasan atau rektorat, menyebut diri aktivis kampus, beberapa menulis di blog mereka tentang perubahan, dengan kata-kata sulit yang hanya dimengerti aktivis kampus lain. Tapi apakah mereka mengerti dengan semua isi teriakan itu? Akankah mereka melakukan hal yang sama dengan isi semua teriakan itu, atau justru akan melakukan hal yang serupa dengan para “petinggi” ketika mereka telah mendapatkan posisi yang sama? Orang bilang, jadilah ideal selama kamu bisa menjadi ideal. Tapi akankah ke-ideal-an itu menipis seiring bertambahnya usia dan meningkatnya gaji yang dibayar ke rekening bank kita?

Kita mengharapkan seseorang yang ada di atas untuk bisa menginspirasi. Ketika celaan-celaan dialamatkan kepada para “petinggi”, mungkin kita hanya melihat dalam satu dimensi. Kita tidak berdiri di belakang para “petinggi” itu, untuk melihat keseharian mereka. Mereka tidak tahu, seberapa besar kerja keras dan peluh yang dikeluarkan untuk orang-orang yang benar-benar berjuang untuk memajukan bangsa. Banyak orang berlomba untuk menjadi pemimpin, menjadi pemenang di sebuah pertarungan. Sebutan Rektor hanyalah sebuah posisi, kata rektor terpilih hanyalah embel-embel. Puluhan paper dimasukkan, menyerukan sinergisasi, membangun bangsa melalui riset dan teknopreneurship, lalu tentu saja (lagi-lagi)World Class University. Kata-kata diketik, berbagai pidato diserukan, interaksi publik dilakukan. Apa yang berubah? Para mahasiswa masih asyik dengan kesibukan mereka, masih stress karena UTS dan tugas. Tidak ada pencerdasan masyarakat yang terjadi.

Kita mungkin tidak secerdas dan tidak berkapasitas otak sebesar mereka yang berani menjadi calon Rektor. Kita mungkin tidak pernah bisa berpikir sejauh itu, karena ketika kita mendapat pertanyaan, “Apa yang akan kamu lakukan jika kamu jadi Rektor?”. Jawaban yang keluar hanya pikiran dangkal yang lagi ‘in’, “Saya akan adakan arak-arakan di setiap wisuda”, “Saya akan perbanyak hari libur”. Beberapa yang lumayan ber-IP tinggi akan menjawab, “Saya akan membuat banyak paten di bidang teknologi”, “Saya akan memperbanyak riset di bidang teknologi”. Bagi kita yang tidak punya visi misi sehebat itu, sederhanakan semua pikiran itu. Tidak ada “petinggi” tanpa “bawahan”, begitupun sebaliknya. Tidak ada ITB tanpa rektorat dan mahasiswa. Kedua elemen inilah yang akan memajukan bangsa. Tanpa keduanya, perubahan tak akan terwujud. Persetan dengan keidealismean mahasiswa, toh kita tak bisa ada tanpa rektorat. Jadi, ketika ada yang bertanya lagi, “Apa yang akan kamu lakukan jika kamu jadi Rektor?” Mungkin kita akan menjawab, “Saya akan berkaca, memperbaiki diri dan memperbaiki mahasiswa. Bersamanya, saya akan membangun bangsa.

Pernahkan kita membayangkan, ketika umur kita mencapai setengah abad (umur mayoritas para calon rektor), apa yang akan kita serukan saat itu? Saya mungkin bisa berharap, isi teriakan kita boleh berubah, tapi ada satu hal yang harus kita bakar di dalam hati. Sebuah nama. Indonesia.

Dalam salah satu debat Capres 2009-2014, dibahas tentang jumlah pengangguran terdidik Indonesia yang mencapai 50.3 % sedangkan jumlah wirausahawan hanya ada di tingkat 2 %. Hal inilah yang harusnya membuat kita bertanya kepada diri sendiri.

Apa yang bisa kita lakukan?

Klise. Semua orang pasti (atau harusnya) pernah memikirkan kalimat ini. Kita tidak harus jadi ekstrimis nasionalis yang biasa berteriak-teriak membela rakyat dan membawa bendera merah putih di segala kesempatan untuk bisa disebut bangsa Indonesia. Kita mungkin hanya warga biasa yang suka menonton bulutangkis dan ikut berteriak “Go Taufik. Go Indonesia!”. Yang mengutuk kebiasaan pemukulan wasit dan kemacetan sehabis pertandingan Persib. Ataupun meludah kepada warga Malaysia, tanpa tahu alasannya. Tapi, semua itu tidak pernah menjadi sangkalan bahwa kita semua adalah bangsa Indonesia.

Apa yang bisa saya lakukan untuk Indonesia?

‘Potensial’ adalah semangat yang harus dijunjung dan ‘kaya’ adalah kata untuk bangsa kita. Cukup butuh kesadaran, untuk tahu bahwa kita harusnya punya BANYAK untuk maju. Cukup butuh kesadaran, untuk yakin bahwa kita harusnya BISA untuk membuat segalanya lebih baik. Jangan menutup diri untuk sekedar mengutuki keadaan tanpa berbuat apa-apa. Rumput tetangga memang selalu lebih hijau. Tetapi, apakah yang lebih hijau adalah yang lebih baik?

Apa itu Indonesia? Hanya sekedar tempat berpijak? Ataukah tanah ini merupakan alasan dan inspirasi untuk terus berjuang? Jika kita berteriak, “Go Taufik. Go Indonesia.”, apa yang ada di benak kita? Untuk apa kita berteriak sekuatnya untuk membela Taufik Hidayat? Ia hanyalah salah seorang manusia yang kebetulan tinggal di Indonesia, dan kebetulan punya bakat bulutangkis, dia bukan saudara atau famili. Apa untungnya kita berbondong-bondong datang ke Istora Senayan hanya untuk berteriak sampai tenggorokan kering dan suara perlahan hilang. Mungkinkah semua suara dan semangat kita ditujukan untuk tanah ini? Untuk rasa bangga yang tak pernah hilang. Untuk bendera merah putih yang tidak pernah kita bawa, tapi kita kibarkan di hati. Kemenangan Taufik berarti kemenangan Indonesia. Ya, cukup butuh kesadaran untuk merasa yakin bahwa kalau satu dari kita bisa berbuat banyak, kenapa kita tidak?

Semua di antara kita ada seseorang, dan kita patut bangga berpijak di tanah ini. Inspirasi. Yang kita butuhkan adalah inspirasi untuk menyadarkan kita semua. Nasionalisme adalah bahan pokok untuk memajukan bangsa kita. Mari, wahai para mahasiswa, para orang-orang yang menganggap diri ideal, sadarilah! Dunia tidak akan berubah dengan teriakan sok tahu, atau data-data kesalahan. Buatlah solusi, tanpa tuntutan omong kosong dan kontrak politik. Kita akan memulai dari tangan kecil ini. Kita akan meraih gemerlap kemenangan, bukan atas nama kita—yang mungkin hanya akan berakhir di batu nisan yang kemudian memudar. Tapi untuk tanah tercinta, satu-satunya tempat untuk menumpahkan darah dan keringat. Satu nama. Indonesia.

 

The Idea of Being Single and How It Shattered

//November 11, 2010//

“Wanita dijajah pria, sejak dulu.”

The line is a bastard.

Despite how many times we cursed at the song, it is still represented the life that we stepped into everyday. Kartini once made the difference, burning the spirit of independent woman to take a fight. Her struggles paid off. The book “Habis Gelap Terbitlah Terang” was still printed back to back, her birthday decorated the calendar, reminiscent of a constant fight that she brought that time. But the discrimination to woman is still continued to this time. It is not a complete annihilation of the discrimination. It is a lie when people said there is none because some were just a formality, and some were just an understanding. Some job vacancy required male and male only. It is resulted some other perspectives about not giving the same chances to both gender. On my real perspective, there’s thing that belongs to a man. Carry heavy things, cleaning the ceiling, fixing the TV antenna and plumbing. It doesn’t mean woman can’t do that, but the society prefers man to do that. But those things the man had to do are nothing closer comparing to what we have to go through. We don’t need to proof that we are stronger, because in fact, we already are. Woman overcome PMS, get pregnant, and give birth. What else you need to proof? While the most painful thing man has to get through is getting circumcision besides, they’re getting paid by doing it.

Some while ago, I read this amazing, mind-blowing idea about marriage and relationship on the edition of Weekender.

“Soulmate, life partner, spouse, our better half: Call it what you will, but except for the misanthropes among us, most of us are looking for that special someone who will, in the sap of romantic novelists the world over, completed us.”

Editor’s note of Weekender August 2009 edition, Bruce Emond

Some people called themselves solitary, but in fact there’s no one could be called by the words itself. You watch TV, you read the newspaper, you eat at the nearby shop, and suddenly you’re not a solitary. For our lonely soul, there’s always a place for those significant other. The place is open, on the right time and for the right one. The frequently asked question is, when and who?

Every little girl dreamt for a wedding, at least once. Like all the fairytale lied to us, for living happily ever after. We grow up by those fairytales that we found later on, were too good to be true. We saw Lady Di and Prince Charles walked down the aisle, with long magnificent white dress that we still admired until this day. But fortunately, I grew up by the books of prophets and Indonesian fairytales, where Nabi Muhammad was married to a widow and Sangkuriang fell in love with his mother. I didn’t grow up by the idea of having fairy godparents and a kiss from a prince. I didn’t believe in love or whatsoever it is called. I know my parents are in love, that I was being born after my big sister and later on, my little sister. But, I’m always a stubborn one, I wouldn’t believing things I didn’t experience myself. So, I grew the idea of being single. For forever more.

I listed my soon-to-be-journey I would get to. Living on VW Combi and travelling around the world. Going to Japan and seeing Pokémon Centre. Being an astronaut. Volunteering to India and Africa, on a camp refugee playing with the children. I was proud to be called a feminist and I believe the idea of strong independent woman that still rocks on when they hit 30s, 40s or even 50s. The one who prior to career and decided to give up everything. I believed that when women get married, it is the end of everything. The skyrocketed dreams we build up would collapse, and we trapped to a sad life called household. Besides, I have an aunty living in Canada. She’s 40s, she’s going abroad, and she seems happy. So, I started to plan the life like she has. The sad truth is I’ve never becoming an astronaut, and I haven’t got my driving license. And the saddest truth is, I fell in love.

I’ve never asked the question of when and who. I just knew I fell in love, and yes, it is blinded. I fell hard and when the relationship didn’t work out, I fell harder, literally. The fact is deep inside, people always want those happily ever after. I’ve never been on a relationship that based on something I don’t want to last. So when I fell in love for the second time, I want it to last forever. It all changed down my perspective of living alone. Living on the riverside of a jungle in the middle of nowhere is going to be a last year dream. I list new dreams that involved someone besides me. The dreams are never going to change who I am. I still love punk rock, dreaming about United Nation, wanting to write children book stories and longing to go to Pokémon Centre. I’m just thankful to have a person who visions the same thing as I do. Visioning things we would get later, together. Yes, it is sappy when people said, ‘I’ and ‘you’ changed to ‘us’. Uh-oh, it’s just crappy whether it is the reality checked.

I’ve never called my dreams to be a career or a job. I don’t believe the quote that said“Your job isn’t your career”, despite many people have told me the line. So, the dreams will always be on top of my priority list, I don’t see anyone distracted it with their existence. Besides, someone who ruins your dreams might not be a right person for you. I mean, if he/she tries to forbid you to achieve things, he/she might just be an obstacle you get to go through. Now, I’m not single and I’m happy. I don’t oppose the choices of being single. If it is the only way to make you happy, then don’t ever try to back up. But as the previous statement I wrote, accepting someone to enter your life is not the end of the successful dreams you’re once dreamt of.

Despite any previous statement I wrote, the line of “Wanita dijajah pria, sejak dulu.” is still a bastard until now. Although the song is followed by the line

“Namun adakala pria tak berdaya. Tekuk lutut di sudut kerling wanita.”,

we still have to fight about it.

 

The Series of Fortunate Choices

//November 09, 2010//

One question often appears on some beauty pageant contest, “If you could change one thing from your life, what would it be?”. The repeated question appears couple of times on the following events, with the same dictate answer. “Nothing”, so they said. The truth is, people rarely satisfied with their present life, the past, or the so called future they will had. The “what-if” aren’t an easy popped-up thoughts to deal with. Followed by regrets and remorse. The sad truth is time machine doesn’t exist. Nor the time traveler, and the time paradox, or whatever it’s called out. Back to the Future is just only classic movies, packed in racks. Every time, the clock is ticking and the earth is still rotating. Oh, time is such a bastard.

Flew back in time as a child, what do you do when you don’t have any direction to go? When you still couldn’t even think what choices really are. You followed orders, that your parents guided you to. You chose the choices that made for you. The choices are vary. Universities, majors, careers, working places, girlfriend/boyfriend, hobbies, etc. Some were choices you admit what a brilliant idea later on, and some were just ambitious choices that didn’t click with any veins inside of you. A child is a young and fragile soul. The wanderer who travels through constant maze, hope to find a right path, and somewhat destiny to be found later. The truth is, are you really a product of choices made by yourself? Or are you just some marionette with strings from home?

Every one of us is a child, with biological parents or physical godparents. Every child has basic instinct to two things. One, go to heaven and two, making your parents proud/happy. Refers to the first sentence, obviously all of us want to make others proud, especially our parents. So, we seek chances, references, experiences, and all things they haven’t done before. In a serial of way, we’re still trying to fulfill the same goal. Some child is using the traditional path. Followed their role-model, they become a miniature of their parents. Lawyer will have the son that will become a lawyer, doctor will have a son that will become a doctor, same almamater, same career, etc. The drama is repeated, maybe for some next generations. Some child is using the alternative ways, they aim higher. Life for them is like a talent contest, achieving something is what they called a winner. Scholarship aboard, highest GPA, olympic science competition, oil and gas company, the obvious targets. Some other child is just stubborn, and they tend to use the rebellious ways. After a series of unexpected unsatisfied choices their parents have made to them, they started to stop using the choices. Some were going nowhere, abusive drug use, detention from school, failed grades, others bad choices. Some were good enough, started playing in bands/soccer teams/clothing line/magazines, get famous, going on tours, others serial of good choices.

But the worst of all is the child using the silent ways, the most suffering ways. They were good enough to use the traditional ways, followed orders and stuff. They were great enough to use the alternatives ways, achieving things beyond beliefs. So, what’s the deal? They remain silent when it comes to choices, because deep down inside, they’re longing for the rebellious ways. In the world when silence isn’t golden anymore, they keep doing what the proverb said. Suffering, wanting other choices, their own choices.

On the parents perspective is all the same. They want us, the child, to be better than they already were. Admit it, they live longer than we do. They might cursed time more than we were, they might dealt with series of remorse much more than we had. All that they want is simply, be better, make them happy, and make you happy. When the definition of happiness for both sides is started to blur, are the choices is still matter?

Silence isn’t golden anymore. I’m not better than any of you but I know words are sharp, it can cuts and make others bleed. Advise is might be not what you seek, but let’s do the talking. Sit down face to face, without breaking things or burning down the house. Action speaks louder than talks they said, but this time, the talk is the action. So, speaks louder. Regretting and complaining will get you nowhere. Because after this time, you’ll do the choices by yourself. Marriage, finance, another child, and those reality things you have to deal with. Be prepare, young and fragile one.

PS:
Yes, I’m not better than any of you, nor my parents, or sisters. I’m started walking either in the alternatives and rebellious ways. But the last time I reality checked myself, I talked to my parents about things, and started crying and threw things. After some time, I know they’re just longing for my happiness. Here I am, making friends with those choices. Still confused, still wandered around. So, what have you done to yourself?