I Say Curry

Yesterday, I had my first curry experience. My big sister always proud about her trip across South Asia where she ate curry, like every day. So, I’m actually a bit excited to taste how magical the curry is.

GO!Curry opened their first outlet on Cilandak Town Square, and followed by the second one on Pacific Place. The place has a cozy dimmed atmosphere with different table style. The long table with high chair, the bar, and also the normal table for four. The restaurant gives you a 7-Eleven Slurpee style, where you got the power to customize your own curry, ala carte.First you got to choose your curry. There’s brown curry, green curry, red curry, yellow curry, and rogan-josh curry. Every curry has different taste regarding the ingredient or the original place of the curry. Like the brown curry which resembles Japanese curry or rogan-josh curry from India. Since I don’t like spicy food at all, I choose the yellow curry which has more sweetness from the tomato (and cashews maybe), while my sisters got the red spicy curry and the rogan-josh curry—the house special.

After that, you need to choose the spiciness level from mild (the one that I choose :D), medium, hot, very hot, and insanely hot. Then here comes the rice. There are three selections from the long grain rice, cilantro butter rice, to aromatic yellow rice. The three of us agreed to choose the cilantro butter rice though I think the yellow rice has more flavours on it.
The last step is to choose the topping, the most powerful choice. My sister ordered the Australian Oxtail and Lamb Cubes with Herbs, while I choose the Breaded Prawn. The other choices are included tandoor chicken tikka, zesty cheese chicken, breaded fish, mixed vegetables, chicken katsu, and New Zealand green shell mussels. Sadly, the sweetness of the prawn made my yellow curry tasted sweeter. But hey, it still tasted delicious. There’s so much things going on my mouth, I don’t know whether it is the herb or something else, so I just keep eating. The cilantro butter is the perfect choice, it must be the crowd favorite. And the most important thing, the portion is considered big (I warn you, the plate is really big~). So you’ll find yourself pleased enough to leave with big smile and full stomach :P

The restaurant carries the motto “Eat Curry. Be Happy.”, which I love. And some extra thing, they have cute paper lining featured their restaurant icons. You can ask for a pencil color and start colored it :)

My first curry experience turns out great. Though I hate spicy food, I’m surprised that I can still enjoy the curry (while curry is famous for its hot complex taste). And I think, it is such a smart thing to give the customer the power to play with their menu. It’s kinda give you the force to come back and try another mix, until you find the perfect taste that give you that ‘whoa’ factor.

GO!Curry (http://www.go-curry.com)

Cilandak Town Square

1st Floor C127

Patterns

pat·tern [pat-ern; Brit. pat-n] –noun 1. a decorative design, as for wallpaper, china, or textile fabrics, etc. 2. decoration or ornament having such a design. 3. a natural or chance marking, configuration, or design.

… and how it reminds you of certain emotions.

how precious moments are

how fast time passed you by

PS: Selamat tahun ajaran baru, Megarini Hersaputri dan Reva Astra Dipta. Semoga dilancarkan semua urusan S2-nya :)

celup

Halo, ini akhir bulan Juli dan saatnya membagi cerita tentang sekelumit kehidupan saya. Kemarin habis membaca posting blog-nya Tangkas (yang punya banyak blog ini :P), dan jadi ingin tulis-tulis sedikit tentang pekerjaan saya.

Mulai awal Mei kemarin, selama hampir 3 bulan, saya sudah bekerja di salah satu perusahaan EPC (Engineering, Procurement, Construction) Oil & Gas atau Project Service istilahnya (karena perusahaan macam ini hidup dari proyek ke proyek). Kalau ditanya kerja di mana sama keluarga besar (atau orang yang lebih tua), saya akan lebih singkat menjawab kontraktor minyak dan gas. Lebih mudah ditangkap nalar, case closed. Sebenarnya sih, ini bekerja seperti sekarang ini bukan salah satu hal yang pernah saya bayangkan sebelumnya (semua orang tahu cita-cita saya jadi Sekjen PBB :P). Di saat lulusan ITB lainnya berebutan masuk dunia oil & gas, justru saya menghindari dunia ini mati-matian. Tapi berhubung saya menganggap jadi engineer adalah salah satu pekerjaan paling keren sedunia, akhirnya sayapun nyelup-nyelupin kaki juga di dunia keilmuan ini (walaupun kadang masih berasa nggak bakat). Tujuannya sih nggak muluk, saya juga nggak bertujuan punya gaji besar (belajar aja baru sekarang, gimana minta gaji besar), saya juga nggak kepikiran untuk jadi ahli (lagi-lagi, belajar aja baru sekarang). Jujurnya saya cuma punya modal rasa keingintahuan yang besar dan sifat (lumayan) rajin, tujuannya apa sayapun belum tahu (ada sih sesuatu, tapi nanti deh saya ceritain, haha).

Nah, kalau ditanya lagi kerjanya ngapain, saya akan menjawab ‘jadi insinyur’ (sambil melengos pergi). Jawaban panjang pertanyaannya sih, posisi saya saat ini Jr. Instrument Engineer. Disebut junior karena belum punya pengalaman. Di dunia engineering (cieee bahasanya), sebutan junior atau fresh graduate dipakai untuk mendefinisikan pengalaman kerja seorang engineer dengan rentang waktu 0-2 tahun (middle engineer biasanya untuk pengalaman 2-5 tahun, dan senior untuk 5-10 tahun).

Instrument Engineer sendiri kerjanya yaaa ngurusin instrument :P Instrument yang dimaksud di sini adalah alat-alat pengukuran yang tersebar  pada suatu proses. Apa yang diukur? Besaran fisis seperti pressure, level, temperature, flow, dll. Prosesnya sendiri bermacam-macam, bisa berupa pengolahan minyak/gas, pendistribusiannya, atau yang lainnya. Ruang lingkup Instrument engineer biasanya nyerempet ke pengontrolan/otomasi proses dan telekomunikasi. Singkatnya lagi, Instrument Engineer kerjanya memastikan dan memudahkan suatu proses agar berjalan sebagaimana mestinya dengan memasang alat pengukuran, mengontrol proses di dalamnya, dan menghubungkannya satu sama lain. Tampak gak menjelaskan? Haha, berarti sayanya yang nggak jago nerangin.

Sebenarnya, saya juga masih takut-takut untuk menuliskan tentang pekerjaan saya ini. Takut salah dan agak minder. Karena walaupun basic kuliah saya memang Teknik Fisika dan anak emas bidang keilmuan jurusan saya adalah Instrumentasi dan Kontrol, yang tentu saja jalurnya jadi Instrument Engineer. Tapi saya justru jatuh cinta dengan Fisika Bangunan, topik TA saya saja jauh banget dari Instrumentasi (ehem, saya  mengukur gelombang otak ketika mendengarkan musik Gamelan Jawa). Saya jujurnya bingung ketika dipanggil wawancara direksi untuk masuk kantor saya yang sekarang (saya hampir gak jawab apa-apa ketika ditanya soal teknis). Dan kalau ngelihat anak2 Junior yang lain, saya jadi tambah minder. Yang keliatannya mabok, sering ikut lomba robot. Yang sering donlot gratisan di kantor, ternyata pinter banget. Yang suka jajan ke mall, ternyata cumlaude 3.5 tahun. Subhanallah. Saya, IP kok ya pas-pasan, baca P&ID baru bisa, aduuuh misteri bangetlah itu HRD bisa nelepon saya buat wawancara.

Tapi Tuhan pasti punya jawaban sendiri atas kebingungan saya, dan yang bisa saya lakukan sekarang adalah tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan olehNya. Doakan semuanya berjalan baik-baik saja, ya :)

Selamat malam, besok mari kembali bertarung dengan jalanan Jakarta.

 

kepada malam

Berbicara kepada malam adalah bicara tentang kesepian dan pengharapan. Kepada detik-detik yang berjalan lambat dan memohon kepada datangnya pagi. Ketika fajar tiba, jangan menyombong tentang indahnya terang dan mengaduh ketika senja datang. Karena sang malam tetap tinggal, tolong jangan melupakannya hanya karena sedikit cahaya.

pelajaran hari ini #3 – di perjalanan pulang hari ini

Saya senang punya teman-teman baik di ujung jari yang bisa diajak berdiskusi dan berbicara tentang hal sepele ataupun hal-hal yang menarik. Tentang tes psikotes, tentang emoticon sok imut (:3 atau :*), ataupun tentang artikel yang membanggakan Pertamina (which is totally meaningless).

Di angkutan umum yang membawa saya pulang sore ini, saya diajak berbincang tentang Indonesia.

Topik awalnya tentang artikel Anies Baswedan di Kompas hari ini, para pesohor dunia maya pasti sudah pernah membaca (atau mungkin skimming, atau meng-RT kutipan quote-nya di timeline mereka :P). Lalu berlanjut menjadi perbandingan zaman orde baru dan ‘saat ini’. Harga-harga memang naik drastis, tidak diimbangi dengan pendapatan per kapita yang tidak begitu berubah, tetapi teknologi dan kebebasan berpendapat maju pesat, perbandingan menjadi kian timpang, dan kerangka acuan menjadi semu. Walaupun harga pendidikan semakin mahal, setidaknya beberapa orang tahu bahwa ada yang salah dengan semua ini. Ada sesuatu yang harus diubah. Hal yang membuat saya sedikit lega, bukti nyata bahwa masyarakat semakin cerdas.

Di semua hujatan tentang dunia ‘saat ini’, menyala kembali sebuah lentera kecil. Lentera kecil yang berbisik pelan bahwa ia ingin menjadi besar tanpa perlu menyalahkan keadaan dan mengulang masa lalu. Ia ingin berteman dengan lentera-lentera lain dan tidak ingin membandingkan waktu. Malahan, ia ingin berteman dengan Sang Waktu. Karena kepadanyalah ia siap menanti. Suatu momen ketika perubahan dibutuhkan, ketika sang lentera siap menyalakan lentera-lentera lainnya.

Setelah turun dari angkutan umum, hujan turun perlahan. Saya memilih berjalan kaki dan menerobos hujan, meletakkan jaket merah saya di kepala. Hujan semakin deras, dan gelapnya malam telah menyapa. Di sepanjang jalan, saya melihat ke bawah, kepada derasnya aliran air yang melewati sela-sela kaki saya sesekali kepada gemerlapnya bulir hujan atau pendar lampu rumah-rumah sekitar. Ketika sampai di depan gerbang rumah, saya menengadah ke langit untuk kesekian kalinya di malam itu dan kembali menatap tanah.

Tanah ini masih terlihat indah walau dalam gelap.

Izinkan aku untuk tetap menjadi anakmu.

Selamat malam, tanah tercinta.