For a color to be a judgement, I agree it might be a little harsh. But your act resembles carelessness and immaturity. For your life might be short, like mine, let’s see how long that fragrance will last.
Category: Words
I always find words intriguing! It can meant so much, also meant less. It drives you mad, also feels love. I like stories and I’d always love to hear or write one.
Para Pencuri Jiwa
Kakek Tetangga di sebelah rumah adalah mantan ksatria istana.
Ia selalu bercerita tentang rencana pengepungan pada Perang Kutub yang tersohor itu. Kemenangan kerajaan kami di Perang Kutub tidak hanya mempersatukan Desa Barat dan Desa Timur yang sudah lama berseteru tetapi juga memenangkan tambang mineral di Bukit Selatan. Salah satu harta terbesar yang menopang perekonomian negeri kami sekarang ini.
Kakek tetangga mungkin hanya salah satu dari 150.000 ksatria yang membentuk formasi perang paling terkenal di seantero negeri, tapi kehadirannya di desa kecil ini selalu berhasil menghibur kami para bocah. Kakek tetangga selalu bangga akan kisah-kisah perjuangannya dan menceritakannya saat sore tiba. Mendengar cerita-ceritanya terkadang seperti mendengar mimpi buruk, atau khayalan mistis yang mengerikan. Tetapi kami para bocah hanya mampu termangu melingkari kursi roda Kakek Tetangga. Bagai terkait, kami tak mampu melepaskan diri dari setiap kata yang dikeluarkan Kakek Tetangga dalam ceritanya. Entah karena kekelaman yang ada di cerita itu, atau kami memang telah lama menantikan petualangan yang mendebarkan di luar desa kecil ini.
Suatu hari, ia bercerita tentang seekor kelelawar yang dapat mencuri jiwa. Kelelawar pencuri jiwa, hanya terlihat seperti kelelawar biasa. Mereka bersembunyi di kegelapan, mencari mangsa ketika matahari terbenam. Mengepakkan sayapnya meraup jiwa-jiwa yang kesepian, yang tertinggal, yang patah hati. Kelelawar pencari jiwa hanya punya satu pengenal fisik, di belakang telinganya terdapat bercak putih. Semakin banyak bercak putih yang ada di sana, semakin banyak pula jiwa yang sudah dilahapnya. Ketika mencapai batas tertentu, jiwa-jiwa yang telah dicurinya akan menyiksa Sang Kelelawar sampai mati.
Salah satu dari kami bertanya kenapa kelelawar itu tetap mencuri jiwa, padahal melahap banyak jiwa akan membunuhnya. Kakek tetangga berkata, di kegelapan banyak yang menemukan sisi yang tak pernah terlihat. Kesepian dalam kesendirian, terlupakan dalam keramaian. Mereka hanya ingin ditemukan di kegelapan.
PS: Foto di atas diambil dari artikel Ksatria Malam Penyambat Nyawa yang bisa dibaca di sini atau di edisi cetak National Geographic Indonesia Juli 2012.
Sway
There is a thin line between you and me. Acceptance as I recall. Acknowledgment. We both know each other desire so well that I daresay: You deserve better.
There is no need to say anything further.
Kamu, Kata Kerja
Dunia kerja (dan wawancara kerja) itu banyak faktor X-nya. Attitude dan skill jadi takaran yang bobotnya tidak pernah jelas. Yah, semacam suka tidak suka.
Turnover di dunia oil&gas pada umumnya dan EPC pada khususnya sangat tinggi. Tenaga kerja hilir mudik, resign–apply, secepat cahaya. Karena kerjaannya cenderung sama di setiap perusahaan, kultur dunia kerja EPC itu “the highest bidder win“. Pernah denger dong kata-kata “If you want loyalty, go hire a dog“? Hal itu terbukti benar adanya, para buruh yang sudah experienced kebanyakan ngikut ke yang tawarannya paling menjanjikan. Loyalty-nya ada di profesi, bukan perusahaan. Walaupun ada yang bilang, beberapa faktor semacam lokasi kerja, project yang menantang, ataupun suasana kerja juga penting, ujung-ujungnya semua bermuara ke uang. Sedikit sekali yang nggak memegang prinsip ini, dan kebanyakan, orang yang masuk golongan ini:
1. Nggak terlalu serius ataupun nggak butuh-butuh amat untuk berkarir di bidang ini.
2. Visi karirnya pengen ke management, bukan profesional.
3. Orang hebat, mungkin.
Ya lagi-lagi, semacam suka tidak suka tapi itu kenyataannya.
Perusahaan EPC pada dasarnya adalah perusahaan yang terbangun oleh tim multi disiplin. Core keilmuan disiplin tersebut pastinya beda-beda, dengan bobot pekerjaan dan tingkat kesulitan yang berbeda-beda antar satu project dan project lainnya. Hal semacam ini, kadang bikin rasis. Semuanya pengen dianggap bobotnya paling besar, semuanya pengen pekerjaannya dianggap paling rumit. Padahal kalau salah satu aja nggak berfungsi, ya bubar project-nya. Dan kalau dipikir lagi, karena latar belakangnya beda-beda ya susah bandinginnya. Walau ada yang bilang kesulitan suatu disiplin bisa dilihat dari besar rata-rata gaji yang dibawa pulang disiplin tersebut (yang katanya sih, salary rata-rata terbesar masih dipegang oleh para Process Engineer dan Piping Engineer).
Dunia kerja itu kotor. Industri oil & gas itu kotor. Permainan uang dan kepentingan (sekelompok orang) itu masih terlalu sulit untuk dipahami.
Semua yang ada di artikel ini (sayangnya) banyak benarnya :P
Saya masih karyawan remahan yang belum berhak diberi kesempatan untuk menilai baik/buruk dan benar/salah, jadi saya cuma ingin bilang jangan terlalu mudah mengatakan ‘keluar’. Keluar dalam artian apapun. Di usia yang masih muda ini dan lingkup industri yang itu itu saja, kita harus menjaga sikap dan kata-kata kita. Dan yang paling penting, menjaga pikiran dan visi, jangan terlalu gampang bilang benci ini benci itu, berhenti saja, cari yang lain saja. Harus ada alasan yang kuat dan tanggung jawab yang besar dibalik semua kata. We still have to live with the responsibility, whatever your definition of responsibility is.
PS: Random dan menurut saya.
Kamu, dan Gelar-Gelar Hebat
Kalau dua tahun yang lalu ditanya: “Habis kuliah mau apa?”, saya pasti jawab: “Sekolah lagi”. Nyatanya, hidup nggak segampang menulis motivation letter, dapat beasiswa keluar negeri, dan posting foto jalan-jalan seantero negara Eropa setiap minggunya.
Ketika wawancara untuk masuk S2 di ITB, teman saya pernah ditanya kenapa dia ingin melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi, yang berakhir dengan ceramah singkat berintikan: jangan ambil kuliah S2 sebagai alasan untuk tidak bekerja/ketika kita tidak dapat pekerjaan. Ada juga yang melihat peluang S2 sebagai ajang ‘cuci nilai’. Ketika ijazah S1 kita tidak punya embel-embel cumlaude, atau IPK di transkrip, ataupun cuma mentok di angka 2.xx/3.0x, ada urgensi untuk memperbaiki diri. Alasannya mungkin karena kita tidak lagi harus berhadapan dengan mata kuliah Kalkulus Dasar 1A atau karena kita sudah tahu ‘rahasianya’ dalam berkuliah. Intinya dimana ada kemauan, di sanalah ada jalan.
Setelah dipikir, meneruskan kuliah lagi bukan perihal mudah. Memang sih, segampang itu dengar kisah sukses teman-teman dengan beasiswa hebatnya, “Si ini dapet beasiswa ke sini lho”, “Si itu sebentar lagi mau berangkat ke sana, lho”. Tapi kita juga harus tahu bahwa ada orang-orang yang tidak sehoki itu dengan urusan beasiswa (walaupun ada yang bilang asal surat-surat diurus dengan benar, besar kemungkinannya aplikasi beasiswa kita diterima). Kuliah S2 pun membutuhkan biaya yang tidak sedikit (jika pada akhirnya kita memutuskan untuk kuliah dengan biaya sendiri). Di ITB sendiri, kuliah S2 per semesternya sekitar + 8 juta rupiah (yang katanya dibilang murah). Bagi saya, walaupun tanpa uang masuk, jumlah itu adalah 4x lipat dari uang semester S1 saya. Belum lagi dengan biaya bulanan semacam kost atau uang makan. Yang artinya, kalau saya tidak berusaha mencari beasiswa atau mencari kerja untuk menunjang keuangan saya, orang tua/penanggung biaya kita harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk setidaknya 1-2 tahun. Beban lagi? Tentu.
Buat kamu yang mau melanjutkan kuliah di luar, ada juga yang bilang, “Cari tambahan saja, gaji pencuci piring di luar negeri sudah lumayan besar, kok.” Oh ya, silahkan. Kalau tidak pernah kerja keras dengan pekerjaan ‘semacam itu’, nanti tidak ada yang bisa diceritakan ke anak cucu, kan? Tapi ingat juga, kuliah itu intinya belajar, saya sudah cukup melihat orang-orang dengan kondisi macam ini yang akhirnya menyerah di tengah jalan karena tidak bisa membagi konsentrasi. Mau magang ke organisasi sosial yang lebih established? Sejauh yang saya tahu intern di organisasi sosial di luar negeri itu kebanyakan tidak digaji. Organisasi sosial lho, tau kan kenapa namanya sosial? Tapi memang kesempatan, pengalaman dan network yang kamu dapat pasti akan setimpal dengan resiko yang harus dihadapi.
Belum lagi ketika kita harus bertarung dengan anggapan, “Is it worthed?” Untuk beberapa perusahaan, ada yang melihat gelar S2 sebagai jaminan untuk lonjakan karir di masa depan. Bahkan katanya, kalau punya gelar S2 jabatan manajer sudah pasti ada di depan mata. Walaupun, pendapat saya ini masih berkisar di ‘katanya’. Organisasi idaman saya United Nation masih menggaris bawahi kriteria second degree university sebagai salah satu pertimbangan rekruitmen. Bahkan hanya untuk program internship, yang notabene tidak digaji. Artinya, pendidikan tinggi masih dianggap jaminan untuk memperoleh pekerjaan baik (yang sama artinya dengan gaji yang melambung). Tapi ada juga perusahaan yang tidak memperhatikan tambahan kata Master di belakang nama kita dan menetapkan bahwa kita sama saja dengan fresh graduate yang tidak punya pengalaman apa-apa (dalam kasus kalau kita langsung melanjutkan pendidikan setelah lulus). Yang berujung pada, buat apa dong lanjut kuliah kalau hasilnya sama saja.
Sama halnya juga seperti offering kerja, kalau ada hal yang belum sreg dengan keinginan kita, misalnya ingin kuliah di negara tertentu tapi biayanya kurang memadai, ataupun dapat beasiswa di jurusan yang belum tepat, sebaiknya jangan cepat-cepat memutuskan. Yang namanya salah jurusan, cukup menjadi kosa kata jenjang Sarjana saja. Kalau bilang “Tapi kan sayang, sudah dapat di luar nih!”, saya cukup percaya kesempatan pasti akan datang jika kita mau mengusahakannya. Lebih sayang lagi bukan jika nantinya hal itu malah jadi penghambat kita untuk meneruskan pendidikan.
Saya tidak semata-mata nyinyir. Saya masih punya keinginan untuk punya gelar Master. Saya selalu bangga dan kagum dengan teman-teman yang mampu meraih beasiswa ke luar negeri, terlebih lagi yang MAU melanjutkan sekolah dan berkutat lagi dengan buku diktat dan ujian. Tapi menurut saya, S2 bukan ajang keren-kerenan. Bukan ajang bangga-banggaan. Tapi keinginan keras untuk mau menambah pengetahuan dengan tujuan jelas, yaitu memanfaatkan ilmu yang didapat sebaik-baiknya. Menurut saya, sayang jika jauh-jauh S2 di bidang perminyakan misalnya, tapi kita berakhir menjadi bankir. Ataupun sayang jika mahal-mahal kuliah lagi di bidang entrepreneurship tapi ketika pulang langsung dipinang dan menjadi ibu rumah tangga tanpa punya usaha apa-apa. Ilmu-ilmu yang lebih berharga dari uang sebesar apapun juga itu malah menguap tanpa dimanfaatkan dengan benar.
Kalaupun sayang, tapi tenang saja, kita masih dapat pengalamannya kok (plus ratusan foto facebook berlatar alam luar negeri) :P
Intinya, setelah melewati fase iri-liat-yang-lain-sekolah-lagi-dan-bisa-jalan-jalan-ke-luar-negeri, saya justru menyarankan melanjutkan kuliah S2 yang amat sangat kepada:
- Semua yang punya dana lebih, baik itu dari orang tua maupun hasil mendulang emas setelah beberapa tahun bekerja.
- Semua yang masih penasaran dengan suatu bidang kejuruan/ilmu dan ingin menerapkannya dengan baik di masyarakat.
Batas kabur antara penting/tidaknya S2 itu memang bergantung kepada masing-masing individu (ugh, klise). Apapun alasan kita menginginkan kuliah lagi, pastikan memang ini yang benar-benar kamu inginkan. Pikirkan juga, “Setelah ini apa?”. Ingatlah kata-kata Uncle Ben, “With great power, come great responsibility”. Ilmu itu kekuatan yang sangat besar, lho.
Jangan lupa juga masih ada juga yang namanya sekolah kehidupan. Sekolah dimana hal-hal yang ada di buku tidak sepenuhnya terpakai. Sekolah dimana ada hal-hal kotor yang ingin kita jauhkan dalam kehidupan berkeliaran di setiap langkah. Saya doakan yang terbaik untuk semua orang hebat yang tidak pernah berhenti belajar. Berjanjilah untuk bisa membangun hal-hal besar di kemudian hari :)
Selamat berpuasa bagi yang menjalankan.
PS: Akhir bulan ini, kakak saya akan melanjutkan kuliah di jurusan yang super keren di seberang sana—International Construction Management FTW.