The Running Man

The Running Man spent all his life by running. He did sight seeing a little bit, but mostly by running. He never rested his muscular by walking, and he didn’t admit the word ‘stop’ or ‘halt’ to exist in the world.

One day, The Running Man saw a bird and a bee.

Then he found himself alone. Contemplating. What was all this running all about? Where did the finish line?

The next moment, he did magic.

He stopped, right across the intersection of happiness.

The Running Man smiled. He knew he would find it.

All the reason why he kept on running this whole time. He realized, that he rushed too much time. He always wanted to skip things, so he could come to the place where he wanted to be. Not where he needed to be. He came to a conclusion, there’s thing that consume all the time in life, but worth the world.

Like her. The finish line.

He walks toward the intersection, slowly. Winds blew, delivered a nice sweet fragrance he would always remembered. He smiled again when the beautiful figure glimpsed him. She smiled back.

The time stopped.

Yes, it is worth the world.

Kasta Negeri

Sekelebat kabut warna warni, disajikan khusus bagi para petinggi kerajaan. Para terhormat yang mulia, yang hidup selalu berkecukupan.

Terasinglah para pengembara, yang (merasa) telah melihat banyak hal dari gurun ke gurun. Menyesap dinginnya tanah dan angin badai. Kabut yang mereka lihat hanyalah putih pekat, terkadang keabuan dan tak pernah pergi. Merudungi hidup para pengembara, yang entah kapan menyicip bahagia.

Tersebutlah juga para perompak, para bandit di ujung bukit. Melihat aurora kehijauan ataupun jingga, menegak darah dan gelimang kemasyuran. Senyum tersungging di setiap wajah, dan ditawarkannya segelas emas. Para pengembara kadang tergoda dan seketika mengubah derajat, kain abu-abu berubah keemasan. Para pengembara pun mengganti namanya menjadi perompak.

Bagi para terhormat yang mulia, tidak ada pendapat ataupun komentar. Selama masih terlihat kabut warna warni, sedikit kerikil tidak menjadi masalah. Kadang tersandung dan kadang disanjung, tak membuat mereka  melirik ke bawah.

Bagi ketiga kasta di Negeri ini, tidak ada yang mampu menebak akhir cerita masing-masing. Si petinggi akan selamanya kelebihan, walaupun dihujat ribuan massa dan disodorkan racun atau belati. Si perompak akan terus mengipas, dan menawarkan segelas emas. Terkadang mereka tergeletak, tetapi hanya sebagian kecil yang merasa begitu. Hidup sang pengembara terlampau paling tidak tertebak. Akankan ia meminum segelas emas dan menjadi perompak, atau meniti karir untuk menjadi petinggi kerjaan. Akankah ia tetap memakai kain abu-abu, bersikap acuh terhadap terik panas dan butir hujan. Bangga menyandang nama pengembara, kemudian menetap di suatu negeri, teringat akan definisi pengembaraan yang sesungguhnya. Akankah ia kembali mengembara, menyisakan semilir angin di kejauhan. Tidak tersentuh oleh keremangan malam, dan habis ditelan jingganya sore.

Hei, halo. Dari sana terlihat apa?

Lewat

Lewat gelap dan dingin pagi yang menyapa hari.

Lewat antrian kendaraan yang siap menunggu.

Lewat peluh yang tercurah karena terik panas.

Lewat segelas air setelah curahan peluh tersebut.

Lewat meja kerja dengan tumpukan kertas.

Lewat surat-surat yang menunggu untuk dicap.

Lewat suara sumbang para pengamen di bus.

Lewat tanah becek dan air yang terciprat.

Lewat hal-hal sederhana yang tercecer di sepanjang hari.

Lewat hal-hal kecil yang terkadang membuat kita mengumpat kesal atau tersenyum kecil.

Lewat semua itu, Tuhan sedang berbicara dengan kita :)

Busway

Setelah kembali ke ibukota, saya jujurnya buta dengan jalanan pusat kota. Untungnya, Jakarta punya busway dan saya cukup bisa mengandalkan ketangguhan si busway ini untuk mengarungi bahtera kehidupan di kota Jakarta. Walaupun bisa menjadi lebih parah dari Metro atau Kopaja, ketika penuh sesak, busway masih menjadi sarana transportasi dalam kota kesayangan saya sampai sekarang. Jadi, untuk kali ini, izinkan saya berbagi pengalaman dan sedikit informasi tentang si busway ini.

Antara Trans Jakarta – Jogja – Solo


Sejak pertama kali beroperasi di Januari 2004, tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan TransJakarta atau lebih dikenal dengan busway ini telah menjadi alternatif moda transportasi yang cukup nyaman di Jakarta. Ide pembangunan awal dari sarana transportasi ini adalah dibangunnya suatu jaringan sistem angkutan umum massal yang menggunakan jalur khusus. Kelebihan TransJakarta juga terdapat pada harga yang terjangkau oleh semua golongan (Rp 2000 – Rp 3500, tergantung jam operasi) yang sebanding dengan kenyamanan yang diberikan (penggunaan AC).

Meningkat drastis dari pengadaannya di tahun pertama, yang hanya melayani penumpang 40.000 perhari dengarn 1 koridor yang beroperasi (Blok M – Kota), laporan tahun 2009 menunjukkan bahwa TransJakarta telah melayani lebih dari 250.000 penumpang per hari, per koridornya. Angka ini tentunya akan melonjak lebih tinggi lagi dengan dibukanya koridor 9, jurusan Pinang Ranti – Pluit, dan koridor 10, jurusan Cililitan – Tanjung Priok sejak Januari 2011 kemarin. Rute koridor terpanjang ini boleh dibilang, langsung diminati penumpang walaupun memiliki armada yang kurang memadai. Rute ini juga merupakan satu-satunya rute yang menggunakan bus gandeng (yang menyatukan dua bus), sehingga jumlah penumpang yang terangkut lebih banyak dengan jumlah armada yang terbatas.

Pengadaan TransJakarta ini sempat menuai banyak pro dan kontra. Mulai dari penggunaan jalur busway oleh kendaraan-kendaraan nakal yang ingin jalur pintas ataupun jumlah kecelakaan yang melibatkan busway. Berdasarkan data dari Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, kecelakaan yang melibatkan busway di tahun 2010 mencapai 461 kasus. Dari angka tersebut, 16 orang tewas, 22 orang luka berat dan 104 lainnya mengalami luka ringan (detikNews). Pemberitaan tentang TransJakarta kembali mencuat ketika belum lama ini terjadi kecelakaan yang menewaskan seorang bocah SD di sekitar Mampang Prapatan yang mengakibatkan koridor Ragunan – Dukuh Atas ditutup selama beberapa hari.

Kesuksesan TransJakarta sebagai sarana transportasi ini mendukung beberapa kota besar lainnya mengembangkan moda transportasi serupa. Jogjakarta di bulan Maret 2008 memulai proyek TransJogja-nya. TransJogja memiliki 8 rute jalur yang dinomori dengan huruf dan angka (1A, 1B, 2A, 2B, dst.) yang mencakup sebagian besar tempat wisata yang tersebar di seluruh Jogja. Para pencinta bus di kawasan tersebut bahkan membuat situs non-resmi untuk TransJogja (TransJogja.com dan TransJogja.net) untuk menginformasikan berita-berita terbaru seputar alat transportasi ini. Sebagai salah satu penumpang yang pernah mempergunakan sarana transportasi ini, saya salut dengan keramahan para petugasnya. Sayangnya, jeda waktu antara rute bus yang diinginkan terlalu lama dan luas halte yang menurut saya, kurang memadai. Sangat disayangkan bahwa halte malioboro yang seharusnya paling diminati penumpang, hanya berupa halte seukuran (kira-kira) 3 m x 1.5 m, jauh berbeda dengan halte Harmoni yang sanggup menampung lebih dari seratus orang lebih di dalamnya.

Kota berikutnya yang menerapkan alternatif bus sebagai moda transportasinya adalah Solo. Kota ini mengusung nama Batik TransSolo (BTS). Busnya nampak apik, berwarna biru lengkap dengan aksen batik tergambar manis di badan bus. TransSolo ini baru saja beroperasi di bulan September 2010 dan masih membutuhkan banyak perbaikan dalam sistem pengoperasiannya. Terlihat dari baru tersedianya dua rute, Rute Timur (berangkat) dan Rute Barat (balik) yang menghubungkan Palur dan Kleco. Yang lucu dari TransSolo ini, beberapa halte hanya berupa sebuah podium kecil plus tangga setinggi pintu masuk bus. Karena masih baru beroperasi, beberapa petugas masih memperbolehkan para penumpangnya untuk turun di tengah jalan. Biasanya, petugas akan mempersilahkan si penumpang turun lewat pintu depan (yang dibuka manual), bukan menggunakan pintu pneumatik yang berada tengah. Sistem ticketing yang dipergunakan juga masih rancu. Dimana pembayaran tiket masih berlangsung di dalam bus. Petugas akan menukar uang anda dengan sebuah kartu dan memasukkannya ke dalam alat yang tertera di samping pintu. Pada nantinya, para penumpang diharapkan akan memasukkan sendiri kartu tersebut ketika pertama kali masuk ke dalam bus dengan sistem smart card.

Perbedaan kedua moda transportasi ini (TransJogja dan TransSolo) dengan TransJakarta adalah penggunaan bus yang berukuran medium yang besarnya lebih kecil dari TransJakarta. Selain itu, berbeda dengan TransJakarta yang memang dirancang memiliki jalur khusus, TransJogja dan TransSolo beroperasi dengan menggunakan jalur umum yang sama dengan yang dipergunakan oleh kendaraan lain. Hal ini disebabkan oleh sempitnya jalanan kota Jogja yang tidak memungkinkan dibangunnya jalur khusus untuk TransJogja. Jadi kadang, tidak adanya perbedaan signifikan terhadap waktu tempuh penggunaan TransJogja dengan moda transportasi lain. Satu lagi tentang TransSolo dan TransJogja, kabarnya pengemudi bus ini berasal dari para pengemudi truk antar kota, sehingga kadang, pengendalian bus ini menjadi ‘cukup seru’ dengan beberapa aksi Too Fast, Too Furious terlibat di dalamnya :P.

Fun Facts:

* Tempat favorit saya untuk berdiri di busway (TransJakarta) adalah di belakang supir, yang akhirnya membuat saya mengenali tombol-tombol yang dipergunakan untuk mengendalikan si TransJakarta ini. Tombol pengendali pintu pneumatic biasanya terletak di kiri pak supir, warnanya hijau (membuka pintu) dan merah (menutup pintu) biasanya akan dibuka sesuai arahan dari petugas pintu. Tetapi, ada juga tombol pengendali pintu yang terletak di kanan, berbeda dengan tombol yang cukup ditekan saja. Tombol yang berada di kiri, umumnya beruapa switch yang digerakkan maju mundur.

* Pak supir mengendalikan suara mbak-mbak yang biasanya memperingatkan kita tentang tujuan dan halte mana yang sebentar lagi akan kita lewati (itu loh yang biasanya bilang : “… watch your belonging and step carefully“). Beberapa supir yang kelupaan memanfaatkan fitur ini, hanya akan mengandalkan teriakan petugas pintu untuk mengingatkan penumpang.

* Ada dua kondisi di mana si petugas pintu tidak akan menaikkan penumpang ke dalam bus, dan merupakan mimpi buruk bagi para penumpang:

  1. Bus penuh sesak sehingga tidak mungkin lagi memuat penumpang.
  2. AC bus mati sehingga penumpang hanya bisa berharap mendapat sesuap angin dari jendela kecil yang terletak di samping supir.

Dari Kampus Gajah, Untuk Indonesia

//December 02, 2010//

I’ve made this post some while ago in the beginning of my 4th year as a college student. I think, I just rambling at a lot of things. Some materials was already published before in this blog, I think.

Kota Bandung. Kampus Gajah. Kebanyakan orang mengaitkan Bandung dengan kampus ini, kampus gajah, Ganesha, Institut Teknologi Bandung. Para orang tua berlomba menyuruh anaknya ikut bimbingan belajar agar bisa menginjakkan kakinya di kampus ini. Untuk merasakan duduk di salah satu bangkunya, di kampus yang katanya bertitel World Class University. Para orang tua itu akan membanggakan anak-anak mereka di jamuan makan, atau di kala senda gurau bersama teman sekantor. Kehadiran anak-anak itu di kampus gajah mungkin bukan keinginan mereka semata, keinginan orang tua, kerabat, atau tuntutan zaman. Tetapi nyatanya, mereka telah duduk di sana, di salah satu bangku kampus paling prestigus di Indonesia.

Sama seperti sebutan World Class University. Kelas dunia (mungkin) adalah impian semua orang. Tapi berapa orang yang berpikir untuk benar-benar mencapai kelas dunia? Pada kenyataannya, kebanyakan dari kita memilih diri kita sendiri dibanding orang lain. Lulus kuliah, kerja di perusahaan minyak, membangun keluarga sejahtera, membahagiakan orang tua, jika ada uang lebih—(mungkin) beramal kepada korban gempa. Hidup memang seakan ditujukan kepada diri sendiri, dan hanya dirinya sendirilah pusat di mana bumi berputar. Yang penting adalah diri kita, dan (mungkin) teman-teman kita. World Class University mungkin hanya ambisi para “petinggi” kampus yang bergelar Rektor dan perangkatnya, Wakil Rektor dan staf-stafnya, ataupun Wali amanat dan senat akademik.

Ambisi ini memaksa kita semua untuk berpacu dalam kesemuan sebuah titel, menggoda para orang tua pada kebanggaan yang tak berujung, dan membuat para mahasiswa berteriak lebih kencang, “Untuk kebebasan, untuk Indonesia yang lebih baik!”.

Sebuah bangsa dibangun oleh para pemudanya. Presiden Sukarno pernah berkata, “Beri aku sepuluh pemuda, akan aku guncang dunia”. Mungkin inilah yang menyebabkan para mahasiswa berteriak kepada semua tindakan pemerintah, mengomentari semua peraturan atasan atau rektorat, menyebut diri aktivis kampus, beberapa menulis di blog mereka tentang perubahan, dengan kata-kata sulit yang hanya dimengerti aktivis kampus lain. Tapi apakah mereka mengerti dengan semua isi teriakan itu? Akankah mereka melakukan hal yang sama dengan isi semua teriakan itu, atau justru akan melakukan hal yang serupa dengan para “petinggi” ketika mereka telah mendapatkan posisi yang sama? Orang bilang, jadilah ideal selama kamu bisa menjadi ideal. Tapi akankah ke-ideal-an itu menipis seiring bertambahnya usia dan meningkatnya gaji yang dibayar ke rekening bank kita?

Kita mengharapkan seseorang yang ada di atas untuk bisa menginspirasi. Ketika celaan-celaan dialamatkan kepada para “petinggi”, mungkin kita hanya melihat dalam satu dimensi. Kita tidak berdiri di belakang para “petinggi” itu, untuk melihat keseharian mereka. Mereka tidak tahu, seberapa besar kerja keras dan peluh yang dikeluarkan untuk orang-orang yang benar-benar berjuang untuk memajukan bangsa. Banyak orang berlomba untuk menjadi pemimpin, menjadi pemenang di sebuah pertarungan. Sebutan Rektor hanyalah sebuah posisi, kata rektor terpilih hanyalah embel-embel. Puluhan paper dimasukkan, menyerukan sinergisasi, membangun bangsa melalui riset dan teknopreneurship, lalu tentu saja (lagi-lagi)World Class University. Kata-kata diketik, berbagai pidato diserukan, interaksi publik dilakukan. Apa yang berubah? Para mahasiswa masih asyik dengan kesibukan mereka, masih stress karena UTS dan tugas. Tidak ada pencerdasan masyarakat yang terjadi.

Kita mungkin tidak secerdas dan tidak berkapasitas otak sebesar mereka yang berani menjadi calon Rektor. Kita mungkin tidak pernah bisa berpikir sejauh itu, karena ketika kita mendapat pertanyaan, “Apa yang akan kamu lakukan jika kamu jadi Rektor?”. Jawaban yang keluar hanya pikiran dangkal yang lagi ‘in’, “Saya akan adakan arak-arakan di setiap wisuda”, “Saya akan perbanyak hari libur”. Beberapa yang lumayan ber-IP tinggi akan menjawab, “Saya akan membuat banyak paten di bidang teknologi”, “Saya akan memperbanyak riset di bidang teknologi”. Bagi kita yang tidak punya visi misi sehebat itu, sederhanakan semua pikiran itu. Tidak ada “petinggi” tanpa “bawahan”, begitupun sebaliknya. Tidak ada ITB tanpa rektorat dan mahasiswa. Kedua elemen inilah yang akan memajukan bangsa. Tanpa keduanya, perubahan tak akan terwujud. Persetan dengan keidealismean mahasiswa, toh kita tak bisa ada tanpa rektorat. Jadi, ketika ada yang bertanya lagi, “Apa yang akan kamu lakukan jika kamu jadi Rektor?” Mungkin kita akan menjawab, “Saya akan berkaca, memperbaiki diri dan memperbaiki mahasiswa. Bersamanya, saya akan membangun bangsa.

Pernahkan kita membayangkan, ketika umur kita mencapai setengah abad (umur mayoritas para calon rektor), apa yang akan kita serukan saat itu? Saya mungkin bisa berharap, isi teriakan kita boleh berubah, tapi ada satu hal yang harus kita bakar di dalam hati. Sebuah nama. Indonesia.

Dalam salah satu debat Capres 2009-2014, dibahas tentang jumlah pengangguran terdidik Indonesia yang mencapai 50.3 % sedangkan jumlah wirausahawan hanya ada di tingkat 2 %. Hal inilah yang harusnya membuat kita bertanya kepada diri sendiri.

Apa yang bisa kita lakukan?

Klise. Semua orang pasti (atau harusnya) pernah memikirkan kalimat ini. Kita tidak harus jadi ekstrimis nasionalis yang biasa berteriak-teriak membela rakyat dan membawa bendera merah putih di segala kesempatan untuk bisa disebut bangsa Indonesia. Kita mungkin hanya warga biasa yang suka menonton bulutangkis dan ikut berteriak “Go Taufik. Go Indonesia!”. Yang mengutuk kebiasaan pemukulan wasit dan kemacetan sehabis pertandingan Persib. Ataupun meludah kepada warga Malaysia, tanpa tahu alasannya. Tapi, semua itu tidak pernah menjadi sangkalan bahwa kita semua adalah bangsa Indonesia.

Apa yang bisa saya lakukan untuk Indonesia?

‘Potensial’ adalah semangat yang harus dijunjung dan ‘kaya’ adalah kata untuk bangsa kita. Cukup butuh kesadaran, untuk tahu bahwa kita harusnya punya BANYAK untuk maju. Cukup butuh kesadaran, untuk yakin bahwa kita harusnya BISA untuk membuat segalanya lebih baik. Jangan menutup diri untuk sekedar mengutuki keadaan tanpa berbuat apa-apa. Rumput tetangga memang selalu lebih hijau. Tetapi, apakah yang lebih hijau adalah yang lebih baik?

Apa itu Indonesia? Hanya sekedar tempat berpijak? Ataukah tanah ini merupakan alasan dan inspirasi untuk terus berjuang? Jika kita berteriak, “Go Taufik. Go Indonesia.”, apa yang ada di benak kita? Untuk apa kita berteriak sekuatnya untuk membela Taufik Hidayat? Ia hanyalah salah seorang manusia yang kebetulan tinggal di Indonesia, dan kebetulan punya bakat bulutangkis, dia bukan saudara atau famili. Apa untungnya kita berbondong-bondong datang ke Istora Senayan hanya untuk berteriak sampai tenggorokan kering dan suara perlahan hilang. Mungkinkah semua suara dan semangat kita ditujukan untuk tanah ini? Untuk rasa bangga yang tak pernah hilang. Untuk bendera merah putih yang tidak pernah kita bawa, tapi kita kibarkan di hati. Kemenangan Taufik berarti kemenangan Indonesia. Ya, cukup butuh kesadaran untuk merasa yakin bahwa kalau satu dari kita bisa berbuat banyak, kenapa kita tidak?

Semua di antara kita ada seseorang, dan kita patut bangga berpijak di tanah ini. Inspirasi. Yang kita butuhkan adalah inspirasi untuk menyadarkan kita semua. Nasionalisme adalah bahan pokok untuk memajukan bangsa kita. Mari, wahai para mahasiswa, para orang-orang yang menganggap diri ideal, sadarilah! Dunia tidak akan berubah dengan teriakan sok tahu, atau data-data kesalahan. Buatlah solusi, tanpa tuntutan omong kosong dan kontrak politik. Kita akan memulai dari tangan kecil ini. Kita akan meraih gemerlap kemenangan, bukan atas nama kita—yang mungkin hanya akan berakhir di batu nisan yang kemudian memudar. Tapi untuk tanah tercinta, satu-satunya tempat untuk menumpahkan darah dan keringat. Satu nama. Indonesia.